Sabtu, 12 November 2011

REFORMASI INSTITUSI PENEGAKAN HUKUM : PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Hukum pada dasarnya harus kita tempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress). Sebagai contoh, kita dapat memetik buah pengalaman sejarah terhadap pemaknaan “perbuatan melawan hukum”. Jika dulu perbuatan melawan hukum hanya dimaknai sebagai tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undanga, maka perkembangan masyarakat menuntut keberadaan landasan pikir baru yang harus mengadopsi perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat. Ini bisa kita lihat dalam “Arrest Hoge Raad”, atau putusan Mahkamah Agung Belanda pada bulan Januari 1919, atau sering juga diistilahkan dengan “Revolusi Bulan Januari”. Putusan tersebut tidak hanya mendefinisikan ulang terhadap makna perbuatan melawan hukum, tapi juga memberikan suatu lompatan besar dalam sejarah perkembangan hukum yang selalu mengalami progressifitas. Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 13 Januari 1919 membuat putusan yang mengatakan bahwa, “melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tapi juga bertentangan dengan tata susila dan kepatutan menurut masyarakat[1]. Ini adalah landasan kuat yang menegaskan bahwa hukum harus mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya masing-masing. Inilah salah satu makna dasar dari hukum progresif. Hukum bukanlah sebagai sebuah sistem yang stagnan dan status quois, namun mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan sosial masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa, “suatu karekteristik penting dari hukum progresif adalah wataknya yang menolak keadaan status quois, apabila keadaan tersebut menuimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat. Watak tersebut membawa hukum progresif kepada perlawanan dan pemberontakan yang akhirnya berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum”[2].
Jika dalam konsepsi hukum progeressif (yang mulai menjadi diskursus penting sejak awal tahun 2000-an), ditekankan pentingnya meninjau kembali posisi sistem hukum nasional kita, tentu tidaklah terasa cukup untuk membangun akses keadilan secara utuh kepada masyarakat. Hukum memang harus kita sepakati sebagai sesuatu yang harus berubah, baik dalam teks maupun konteks penerapannya.
Hukum di Indonesia lebih sering menuai kritik ketimbang pujian. Berbagai kritik diarahkan baik berkaitan dengan kualitas hukum, ketidak jelasan berbagai produk hukum yang berkaitan dengan proses legislasi dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia[3]. Menurut  Paulus  Lotulung,  langkah  awal  yang  harus dilakukan  adalah  perbaikan  sistem  melalui  perubahan  dan  penyempurnaan  peraturan-peraturan yang mendasari penegakan hukum. Dari sinilah titik tolak kebijakan dan politik penegakan  hukum  harus  dilakukan[4].  Salah  satu    acuan  reformasi  hukum  di  bidang penegakan  hukum  yang  signifikan  Ketetapan  MPR  Nomor  X/MPR/1998  tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Menyelamatkan dan Normalisasi Kehidupan  Nasional  sebagai  Haluan  Negara[5].  Atas  dasar  ini,  dilakukan  pengkajian kembali  mengenai  fungsi  eksekutif,  legislatif,  dan  yudikatif,  sesuai  dengan  peraturan perundang-undangan Indonesia.
Reformasi secara garamatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun dan mempersatukan kembali[6]. Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien dan berkeadilan sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat.
Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional[7]. Pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kearah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain itu, betapa beratnya tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam  menegakkan  aturan  hukum  selama  ini,  sebagaimana  yang  dinyatakan oleh Prof. J.E. Sahetapy yang menegaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, yaitu faktor aparat penegak hukum, kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat akan kesigapan, kejujuran dan profesionalisme para penegak hukum[8].
Berdasarkan  uraian  pada  latar  belakang  masalah tersebut maka dipandang perlu untuk melakukan sebuah kajian terkait Reformasi Institusi Penegakan Hukum : Perspektif Hukum Progresif dengan permasalahan “Reformasi dan Optimalisasi dalam Penegakan Hukum”?









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Reformasi Hukum
Tahap awal dalam reformasi hukum adalah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar utama bagi konstitusi Negara Republik Indonesia. Secara prinsipil, amandemen Undang-Undang Dasar merupakan sebuah keniscayaan,  karena  tidak  mungkin  melakukan  reformasi  politik  dan  ekonomi  tanpa melakukan reformasi hukum sedangkan reformasi hukum tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan  perubahan  konstitusi  (constitutional  reform)[9].  Dalam  pandangan    Abraham Amos,  proses  amandemen  konstitusi  bukan  sesuatu  yang  keramat  (tabu),  karena bertujuan untuk memperbaiki hal-hal substansial yang belum termuat dalam konstitusi[10]. Pada awal pembentukannya, Undang-Undang Dasar 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara, yang oleh Soekarno disebut sebagai Undang-Undang Dasar revolutiegrondwet[11].
Reformasi hukum dalam konteks ini menjadi salah satu bagian penting dari agenda penataan dan perombakan negeri ini. Reformasi hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat)[12]. Dalam sistem politik yang demokratis, hukum harus memberi kerangka struktur organisasi formal bagi bekerjanya lembaga-lembaga negara, menumbuhkan akuntabilitas normatif dan akuntabilitas publik dalam proses pengambilan keputusan politik, serta dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai sarana penyelesaian konflik politik[13].
Di Indonesia, tujuan hukum adalah untuk membentuk suatu pembentukan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jika hukum tidak lagi dapat bekerja sesuai tujuan dan sebagaimana fungsinya maka itu menandakan upaya-upaya reformasi hukum sudah waktunya dilakukan. Roscoe Pound misalnya, telah mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering), tetapi apabila dalam kenyataannya di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as tool of corruption engineering) maka jelas diperlukan reformasi terhadapnya. Reformasi hukum bukan saja diartikan sebagai penggantian atau pembaruan perundang-undangan akan tetapi juga perubahan asumsi dasar dari sebuah tata hukum yang berlandaskan ide-ide diskriminatif dan kesenjangan sosial menjadi ide-ide persamaan di depan hukum dan keadilan sosial[14].
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka (business as usual) tetapi tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan (business–like). Meski sudah serak bangsa ini meneriakkan supremasi hukum (supremacy of law), hasilnya tetap saja mengecewakan. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful)[15].
Reformasi institusional merupakan hal yang sulit dilakukan. Mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan pihak terkait dalam bidang  reformasi  hukum,  perlu  mengambil  langkah  yang berkelanjutan dan pasti dalam jangka panjang, atau setidaknya selama durasi masa kepresidenan yang baru. Namun, tantangan tersebut harus dilakukan. Kualitas dari sektor hukum mempengaruhi kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia, efektifitas kebijakan pemerintah, serta kesehatan ekonomi.
Reformasi sektor hukum telah dicoba sebelumnya. Pada masa kepresidenan Habibie dan Gus Dur, berbagai langkah mengesankan dari pihak legislatif dan eksekutif telah diambil sehubungan dengan persepsi akan lemahnya sektor hukum[16]. Undang-undang korupsi yang baru telah diberlakukan dan komisi anti korupsi telah diberi mandat untuk menjalankan fungsinya. Sebuah tim investigasi gabungan dibentuk berdasarkan keputusan presiden (Keppres), yang diberi tugas untuk menyelidiki berbagai tuduhan korupsi daalam badan peradilan. Hanya saja, sampai saat ini, tuduhan semacam itu masih diabaikan oleh pihak aparat, sehingga hal tersebut terlepas dari jerat hukum. Kantor Ombudsman dibentuk dan Komite Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara juga telah dibentuk. Komisi Hukum Nasional juga dibentuk dan diberi mandat untuk memberikan rekomendasi reformasi bidang hukum termasuk reformasi badan-badan peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk untuk mencoba dan membangun kapasitas ajudikasi yang kompeten selama krisis dunia usaha dan perbankan yang menimpa Indonesia di akhir decade 1990an. Kemudian, Jaksa Agung membuat kajian yang pertama kali mengenai institusi sektor hukum yang dipimpinnya. Berbagai inisiatif tersebut, terkecuali satu perngecualian, tidak berdampak seperti yang diharapkan. Masing-masing inisiatif jadi menyimpang dari tujuan dan tidak memenuhai aspirasi dari mereka yang benar-benar ingin melihat perubahan dalam berbagai insitusi hukum di Indonesia.
Saat Megawati berada di tampuk kepresidenan. Reformasi hukum belum paripurna meskipun harus diakui bahwa dimulainya agenda Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 merupakan proses reformasi. Ini sejalan dengan pendapat Thomson bahwa apabila dikaitkan dengan hukum, reformasi sebagai proses perubahan tatanan hukum, yakni konstitusi (constitutional reform)[17]. Hal ini harus dimaknai bahwa doktrin hukum Indonesia, tentang separation of powers dan check and balances among the branches of government sedang diteguhkan kembali. Pemulihan doktrin-doktrin ini adalah inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia, termasuk bidang hukum. Namun sejalan dengan itu mafia hukum dan peradilan malah bertambah bagaikan epidemi. Bahkan ada yang bilang, hukum diperkosa terang-terangan oleh uang dan kekuasaan.
Perjalanan reformasi hukum baru menjumpai titik terang manakala Pemilu 2004 menghasilkan pemerintahan yang legitimate dimana presiden dan wakil presiden untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Kehadiran komisi-komisi pembantu negara (state auxiliary agencies) memberi gambaran bahwa ada agenda kuat dalam mewujudkan reformasi hukum. Lahirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Penyiaran Independen (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS Anak) menunjukkan adanya pembaruan dalam praktek ketatanegaraan. Namun banyak kalangan mempertanyakan efektifitasnya khususnya dalam mendukung reformasi hukum. Eksistensi state auxiliary agencies tersebut belum memberikan dampak yang signifikan terhadap agenda reformasi di bidang hukum meski tidak boleh dikatakan tidak berperan. Inti keprihatinan belum berubah melihat realitas penegakan hukum yakni kepastian hukum masih ditegakkan melalui pendekatan peraturan atau undang-undang atau pendekatan legislatif, belum melalui penegakan hukum oleh pengadilan sebagai benteng terakhir masyarakat pencari keadilan atau pendekatan law enforcement dan an independent judiciary[18]. Hingga masa pemerintahan sekarang ini, reformasi hukum belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Terbukti, masih dilakukannya kebiasaan-kebiasaan lama melalui praktik judicial corruption, tidak tuntasnya masalah penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi.
Proses reformasi terhadap institusi penegak hukum merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda. Reformasi institusi dan reposisi personil di institusi penegak hukum jelas sudah tidak bisa ditunda lagi, agar proses penegakan hukum di Indonesia berjalan dinamis[19]. Tidak tuntasnya penanganan sejumlah kasus korupsi menunjukkan reformasi penegakan hukum yang diupayakan selama lima tahun terakhir gagal total. Era reformasi hanya disibukkan oleh kegiatan membuat beragam aturan perundang-undangan dan lembaga pendukungnya tanpa tindakan konkret aparat penegak hukum untuk menegakkan peraturan secara efektif. Pembangunan hukum nasional praktis hancur karenanya.
Kompromi politik lebih dominan mewarnai setiap proses penegakan hukum sehingga efek jera dan kepastian hukum tidak ada. Dari segi pembuatan berbagai aturan perundangan-undangan dan lembaga pendukungnya, reformasi memang terasa berjalan. "Tetapi, yang dibutuhkan adalah tindakan konkret dan berani untuk menegakkan aturan yang sudah ada melalui lembaga yang dibentuk. Tak adanya perubahan dalam tubuh institusi penegakan hukum di satu sisi dan dimilikinya kewenangan yang sangat luas di sisi lain, menurut mantan Menteri Kehakiman Muladi, menempatkan institusi ini cenderung menerapkan kelaliman yudisial (judicial despotism). Kelaliman yudisial inilah yang memorak-porandakan kepercayaan nasional dan internasional terhadap supremasi hukum di Indonesia. "Reformasi penegakan hukum dan program pembangunan hukum nasional hancur karenanya," papar Muladi yang dihubungi di The Habibie Center[20]. Pendekatan positivistik dengan pembuatan aturan perundang-undangan dan lembaga pendukungnya tak akan pernah berjalan efektif jika tak ada reformasi dalam tubuh institusi penegakan hukum di kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian. "Institusi penegakan hukum kita stagnan. Selama ini tidak ada perubahan perilaku dalam ketiga institusi itu. Lantaran institusi tak berubah yang terjadi selama ini bukanlah penegakan hukum, tetapi kompromi politik yang mengabaikan efek jera dari setiap proses hukum. Kompromi politik ini diperparah oleh rendahnya etika politik pejabat publik yang tersangkut kasus hukum.
Masyarakat memiliki andil dalam kegagalan reformasi penegakan hukum, khususnya kasus korupsi, meskipun kecil presentasenya. Masyarakat terkondisi menerima (permisif) perilaku korup para pejabat publik dalam sistem yang korup. Meskipun memiliki antipati tinggi, masyarakat tidak berdaya. Realitas saat ini menyedihkan. Dengan sistem yang korup, masyarakat dipaksa untuk korupsi atau mendukung perilaku-perilaku korup. Meskipun belakangan ini terlihat upaya serius penegakan hukum untuk kasus-kasus korupsi, komitmen pemerintah dan pemimpin politik sangat rendah. Setiap undang-undang tidak akan terhindar dari celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pencari keadilan. Namun, apabila setiap penegak hukum mematuhi kode etik profesi masing-masing, hal itu dapat diminimalkan.
Reformasi penegak hukum menjadi jawaban yang paling ideal dalam menjawab permasalahan tersebut. Namun sejauh perjalanannya, reformasi penegak hukum justru paling lamban dibanding dengan upaya reformasi di bidang lain seperti reformasi ekonomi. Hal tersebut diperparah dengan adanya praktek mafia hukum yang menyebabkan reformasi hukum di Indonesai jalan ditempat.
Penguatan institusi penegak hukum yang ada sekarang merupakan hal yang tak bisa dihindarkan lagi. Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantas Korupsi sebagai lembaga yang independen dengan tugas dan wewenangnya masing-masing telah dilengkapi kekuasaan serta memiliki diskresi penuh dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Sinergisasi antara ketiga lembaga tersebut setidaknya membutuhkan beberapa hal. Pertama, pimpinan penegak hukum di lembaga masing-masing harus memiliki kemauan dan tekad kuat dalam memberantas praktik mafia hukum di institusi yang dipimpinnya. Kedua, perlunya penguatan serta pengawasan baik dari internal maupun eksternal masing-masing institusi penegak hukum. Dan terakhir, ada kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja aparat penegak hukum. Tentunya, jika ingin membersihkan kotoran, sapunya harus bersih, kalau sapu itu sendiri kotor, mana mungkin dapat membersihkan[21].



Pelajaran utama dari tujuh tahun terakhir adalah bahwa reformasi sektor hukum memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Pemerintah perlu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa terdapat komitmen bagi terciptanya institusi penegakkan hukum yang dapat dipercaya oleh masyarakat Indonesia, dan juga oleh siapa saja yang berniat untuk melakukan bisnis dengan atau di Indonesia. Tantangan utama dalam mendapatkan kepercayaan meliputi; penanganan korupsi dan penyalah gunaan wewenang dalam berbagai institusi dan meningkatkan kompetensi aparat penegak hukum.

B.       Optimalisasi Penegakan Hukum
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidak hormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:
  1. Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
  2. Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan social
  3. Inkonsistensi dalam penegakan hukum
  4. Masih adanya intervensi terhadap hukum
  5. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
  6. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum
  7. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum
  8. Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy.
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan optimalisasi penegakan hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan optimalisasi penegakan hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain;
  1. Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
  2. Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
  3. Aparatur penegak hukum yang professional
  4. Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
  5. Pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia
  6. Partisipasi public
  7. Mekanisme control yang efektif.
Pada dasarnya harus menyentuh tiga komponen hukum yang disampaikan oleh Lawrence Friedman yang meliputi:
  1. Struktur hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
  2. Substansi hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
  3. Budaya hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Kiranya dalam rangka melakukan optimalisasi penegakan hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
  1. Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas;
  2. Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
  3. Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
  4. Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum;
  5. Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
  6. Penerapan konsep Good Governance.
Melihat kenyataan, bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang begitu pesat, tetapi kemajuan itu akan tetap ada. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk mewujudkan penegakkan hukum dengan didukung oleh aparat penegak hukum lainnya. Kasus mafia peradilan yang akhir-akhir ini banyak disorot masyarakat akan menjadikan penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum
















BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dalam konteks reformasi institusi penegakan hukum, perubahan paradigma baru yang lebih mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi  diharapkan dapat membawa institusi penegak hukum menjadi sebuah institusi yang transparan dan akuntabel, serta menampilkan wajah sebagai aparat penegak hukum yang profesional dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat diwujudkan apabila reformasi institusi penegak hukum konsisten dalam mewujudkan perubahan pada aspek kultural yang merupakan muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, yang terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran dan sistem operasional. 
Akhirnya harus diingat bahwa hukum senantiasa tertuju pada tiga tujuan utama yaitu kepastian hukum (yuridis), keadilan (filosofis), dan kemanfaatan atau kegunaan (sosiologis). Ketiga tujuan hukum tersebut harus termanisfestasi dalam peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaan dalam praktek hukum. Oleh sebab itu, maka para birokrat pemerintah dan aparat penegak hukum harus menyadari hal itu sehingga mampu mewujudkan ketiga tujuan hukum itu dengan baik dan sungguh-sungguh. Artinya, reformasi hukum memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengirimkan sinyal yang kuat akan komitmen bagi terciptanya institusi penegakan hukum yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Tantangan utama di sini terletak pada upaya institusi penegakan hukum untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari masyarakat.







DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku-buku
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000
Brian Thompson,”Constitution is a document which contains the rulers for the operation of an organitation”. Textbook on Constitutional and Administrasi Law, edisi ke-3, Blackstone Press ltd, london, 1997.
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung, 2007.
H.F.  Abraham  Amos,  Katastropi  Hukum  &  Quo  Vadis  Sistem  Politik  Peradilan  Indoneisa:  Analisis Sosiologis  Kritis  Terhadap  Prosedur  Penerapan  dan  Penegakan  Hukum  di  Indonesia,  Raja  Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

J.E. Sahetapy, Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum Di Kepolisian Negara Republik Indonesia, disampaikan pada Fgd Penegakan Hukum Di Indonesia, 12 Oktober 2011.

Moh. Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum : Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa, Makalah Dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Tanjungpura, Pontianak, 9 Januari 2010.
Paulus E. Lotulung, Reformasi Penegakan Hukum, Dalam buku; 10 Tahun Undang-undang Peradilan  Agama.  Panitia  Seminar  Nasional  10  Tahun  Undang-undang  Peradilan  Agama  kerjasama  Ditbinbapera  Islam,  Fakultas Hukum UI dan PPHIM. Jakarta: T.P. 1999.
Per  Strand  dalam  Carlos  Santiago  Nino,  Transition  to  Democracy,  Corporatism,  and  Constitutional Reform in Latin America, University of Miami, Miami, 1993, p, 54. Lihat juga Peter Paczolay, Constitutional Transition and Legal Continuity, 1993, 8, Connecticut Journal of International Law, p. 560.
Sajipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum Dalam  Pertanggung-Jawaban Perbuatan Pemerintahan (Bestuurshandeling) Suatu Kajian Dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157.
W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Thompson and Nelson Ltd, Canada, 1982.


B.  Peraturan-peratutan
Menteri  Negara  Koordinator  Bidang  Pengawasan  Pembangunan  dan  Pendayagunaan  Aparatur  Negara Republik  Indonesia,  Himpunan  Hasil  Pengkajian  Pelaksanaan  Tap  MPR-RI  Nomor  X/MPR/1998  berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Yudikatif dan Eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
C.    Data Elektronik

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=161, diakses tangggal 07 November 2011.



[1] Sajipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 61.
[2] Ibid, hlm. 18.
[3] Moh. Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum : Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa, Makalah Dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Tanjungpura, Pontianak, 9 Januari 2010, hlm. 1.
[4] Paulus E. Lotulung, Reformasi Penegakan Hukum, Dalam buku; 10 Tahun Undang-undang Peradilan  Agama.  Panitia  Seminar  Nasional  10  Tahun  Undang-undang  Peradilan  Agama  kerjasama  Ditbinbapera  Islam,  Fakultas Hukum UI dan PPHIM. Jakarta: T.P. 1999, hlm. 140.
[5] Menteri  Negara  Koordinator  Bidang  Pengawasan  Pembangunan  dan  Pendayagunaan  Aparatur  Negara Republik  Indonesia,  Himpunan  Hasil  Pengkajian  Pelaksanaan  Tap  MPR-RI  Nomor  X/MPR/1998  berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Yudikatif dan Eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
[6] W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary,  Thompson and Nelson Ltd, Canada, 1982, hlm. 422.
[7] Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum Dalam  Pertanggung-Jawaban Perbuatan Pemerintahan (Bestuurshandeling) Suatu Kajian Dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157, hlm. 137.
[8] J.E. Sahetapy, Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum    
Di Kepolisian Negara Republik Indonesia, disampaikan pada Fgd Penegakan Hukum Di Indonesia, 12 Oktober 2011, hlm. 1.
[9] Per  Strand  dalam  Carlos  Santiago  Nino,  Transition  to  Democracy,  Corporatism,  and  Constitutional Reform in Latin America, University of Miami, Miami,  1993, p, 54. Lihat juga Peter Paczolay, Constitutional Transition and Legal Continuity, 1993, 8, Connecticut Journal of International Law, p. 560.
[10] H.F.  Abraham  Amos,  Katastropi  Hukum  &  Quo  Vadis  Sistem  Politik  Peradilan  Indoneisa:  Analisis Sosiologis  Kritis  Terhadap  Prosedur  Penerapan  dan  Penegakan  Hukum  di  Indonesia, Raja  Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 82.
[11] Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung, 2007, hlm. 48.
[12] Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000,  hlm. 189.
[13] Moh. Mahfud MD, Keniscayaan... op.cit., hlm. 4.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm. 2.
[17] Brian Thompson,”Constitution is a document which contains the rulers for the operation of an organitation”. Textbook on Constitutional and Administrasi Law, edisi ke-3, Blackstone Press ltd., London, 1997, hlm. 3.
[18] Moh. Mahfud MD, Keniscayaan... op.cit., hlm. 7.
[19] http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=161, diakses tangggal 07 November 2011.
[21] http://gitacintanyawilis.blogspot.com/2010/11/sinergisasi-peran-institusi-penegak.html, diakses tanggal 08 November 2011.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Jumat, 16 September 2011

PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DOKTRINER


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Dalam usaha membangun hukum yang bermuara pada karakter ke-Indonesiaan, para pemikir hukum di negeri ini memiliki komitmen, bahwa hukum nasional yang hendak diciptakan merupakan kerangka acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk menemukan identitas hukum nasional. Banyak masalah yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional, hal itu tidak hanya berkenaan dengan usaha untuk menciptakan hukum nasional, baik yang sama sekali baru maupun untuk menggantikan hukum kolonial[1].
Dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita[2].
Ilmu hukum tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka dasar umum habitat ilmu hukum[3]. Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara bulat pada saat ini adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa kebangsaan setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam istilah Soepomo sebagaimana dikutip oleh A. Gunawansetiadji dalam bukunya yang berjudul dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum di Indonesia. Disebut sebagai ´suasana bathin bangsa Indonesia´ (1990: 158)[4]. Bermula dari jaman klasik, zaman agraris pedesaan dengan spesifikasi kekeluargaan , jaman gerakan revolusioner melawan penjajahan belanda dan jepang hingga jaman kemerdekaan yang menuju era indonesia modern sebagai negara maju.
Hukum tumbuh berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau.    Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van Apeldroon, hal. 417)[5].
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengetahui perkembangan hukum doktriner di Indonesia

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan hukum doktriner di Indonesia?















BAB II
PEMBAHASAN

1.        Pengertian Ilmu Hukum
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[6].
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[7]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[8]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidak sesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Jika dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[9]. Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban[10].
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[11]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas[12].
2.        Fungsi dan Tujuan Hukum
a.       Fungsi Hukum
Dimana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum ada pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun dan bagaimanapun keadaan masyarakat tersebut. Artinya eksistensi hukum bersifat sangat universal, terlepas dari keadaan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna masyarakatnya (hukum juga memiliki sifat khas, tergantung dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas)[13].
Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham mengenai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat:
Pertama, mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan (justifikasi) perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, artinya hukum sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang tampak, hukum bertugas mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini dipelopori ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang diintrodusir oleh Friedrich Carl von Savigny (1799-1861).
Kedua, menyatakan hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham ini dipelopori oleh ahli hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian dipopulerkan oleh Juris Amerika dengan konsepsi "hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat" (law as a tool of social engineering).
b.       Tujuan Hukum
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai dan adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa literatur ilmu hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum dari berbagai sudut pandang dan paling tidak ada 3 teori[14]:
1). Teori etis
Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya ethica dan rhetorika yang menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan etis kita mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan keadilan.
Mengenai isi keadilan, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan; justitia distributive (keadilan distributif) dan justitia commulative (keadilan komuliatif). Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang berdasarkan jasa atau haknya masing-masing. Makna keadilan bukanlah persamaan melainkan perbandingan secara proposional. Adapun keadilan kumulatif adalah keadilan yang diberikan kepada setiap orang berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud ketika setiap orang diperlakukan sama.
2). Teori Utilitis
Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya "Introduction to the morals and legislation". Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan aspek keadilan.
3). Teori Campuran
Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur dan damai. Dan untuk mewujudkan kedamaian masyarakat maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan satu dengan yang lain, dan setiap orang (sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Dengan demikian pendapat ini dikatakan sebagai jalan tengah antara teori etis dan utilitis.

3.        Sumber-Sumber Hukum
a.        Arti tentang sumber hukum
1). Sumber hukum dalam pengertian asal hukum yaitu: Keputusan otoritas yang berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan. Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan.
2). Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang macam, jenis atau bentuk-bentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya.
3). Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya: keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau rakyat dan juga teori-teori atau ajaran dari ilmu pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.
Di samping ketiga makna sumber hukum di atas, terdapat juga kategori sumber hukum lain, yakni;
1). Sumber hukum material adalah faktor yang membantu penentuan atau pembentukan hukum. Sumber hukum ini dapat ditinjau dari berbagai aspek.
2). Sumber hukum formal adalah tempat atau sumber di mana hukum positif dapat ditemukan. Dari segi bentuk berupa Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi dan doktrin.
a). Undang-Undang
"Undang-Undang" sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti material.
Undang-Undang dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari bentuk dan cara pembuatannya disebut Undang-Undang. Dilihat dari bentuknya, Undang-Undang berisi konsideran dan diktum (amar putusan). Sementara dari cara pembuatannya, Undang-Undang adalah keputusan atau ketetapan produk lembaga yang berwenang. Di Indonesia lembaga yang berwenang adalah Presiden dan DPR (UUDS 1950 psl 89, UUD 1945 psl 5 (1) jo. psl 20 (1), sementara di Amerika lembaga yang berwenang adalah Congress.
Undang-Undang dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari isinya disebut Undang-Undang dan mengikat setiap orang secara umum. Dalam pengertian ini yang menjadi perhatian adalah isi peraturan yang sifatnya mengikat tanpa mempersoalkan segi bentuk atau siapa pembentuknya. Undang-Undang dalam arti material sering juga disebut dengan peraturan (regeling) dalam arti luas. Undang-Undang dalam arti formal tidak dengan sendirinya sebagai Undang-Undang dalam arti material. Demikian sebaliknya.
Syarat mutlak berlakunya suatu Undang-Undang ialah ketika telah diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris negara, sejak tanggal yang ditentukan sendiri dalam Undang-Undang (pada saat diundangkan, pada tanggal tertentu, ditentukan berlaku surut, atau berlakunya akan ditentukan kemudian hari dengan peraturan lain), atau jika tidak dicantumkan maka, Undang-Undang berlaku 30 hari setelah diundangkan.
Adapun masa berlakunya Undang-undang berakhir  karena; ditentukan oleh Undang-Undang sendiri, dicabut secara tegas, Undang-Undang lama bertentangan dengan Undang-Undang baru, atau timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau Undang-Undang tidak ditaati lagi.
(1). Asas berlakunya suatu Undang-Undang:
 - Undang-Undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superior derogat legi in feriori).
Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila Undang-undang tersebut kedudukannya sama. (lex speciales derogat legi generali).
Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang terdahulu, sejauh Undang-Undang tersebut mengatur hal yang sama (lex posterior derogat legi priori).
-  Undang-Undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui oleh setiap orang.
(2). Hierarki perundang-undangan
Undang-Undang dalam arti material memiliki tata urutan peraturan sesuai dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. No. V/MPR/1973 :
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Pelaksana lainnya, seperti peraturan menteri atau instruksi menteri.
b). Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, dan normal di dalam suatu masyarakat atau komunitas hidup tertentu. Sebagai sebuah perilaku yang tetap (ajeg) kebiasaan merupakan perilaku yang selalu berulang hingga melahirkan satu keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu patut dilakukan dan memiliki kekuatan normatif yang mengikat. Tidak semua kebiasaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi sumber hukum meniscayakan beberapa syarat:
- Syarat materiil adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang
- Syarat intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan
- Adanya akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.
(1). Kelemahan hukum kebiasaan:
-  Hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan sukar menggantinya.
- Hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan dalam beracara karena kebiasaan sangat beraneka ragam.
c). Traktat (Treaty)
Traktat adalah perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Pasal 11 Undang-Undang Dasar menentukan: "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Perjanjian dengan negara lain yang dikehendaki dalam diktum pasal 11 Undang-Undang Dasar adalah perjanjian antar negara atau perjanjian internasional yang kekuatan hukumnya sama dengan Undang-Undang. Mengingat secara prosedural perjanjian antar negara dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Traktat atau perjanjian yang secara prosedural harus disampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut:
- Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri: perjanjian perbatasan wilayah, contoh: traktat bilateral Indonesia-Papua Nugini mengenai batas wilayah, perjanjian persahabatan.
- Ikatan yang mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian ekonomi dan teknis pinjaman uang.
- Persoalan yang menurut sistem perundang-undangan harus diatur dengan Undang-Undang: kewarganegaraan dan soal kehakiman.
Adapun perjanjian yang lazim disebut agreement adalah perjanjian yang mengandung materi lain cukup disampaikan pada DPR sebatas untuk diketahui setelah diratifikasi oleh Presiden.
Ketika sebuah perjanjian telah diratifikasi maka berlakulah apa yang dinamakan "Pakta Sun  Servada" artinya perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Persoalannya apakah traktat itu secara langsung mengikat seluruh warga negara? Pendapat pertama, traktat tidak dapat secara langsung mengikat penduduk di suatu wilayah negara. Agar traktat dapat mengikat seluruh warga negara maka traktat harus terlebih dahulu dituangkan dalam hukum nasional. Pendapat yang dikemukakan Laband dan Telders (ahli Hukum Belanda) ini dinamakan teori inkorporasi. Adapun pendapat kedua, traktat mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang meratifikasi suatu perjanjian. Pendapat ini dianut oleh van Volenhoven, Hamaker dan dianut oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1906. Teori ini mengakui "Primat Hukum Antar Negara" yaitu mengakui hukum antar negara lebih tinggi derajatnya dari hukum nasional[15].
d).  Yurisprudensi
Dari segi praktik peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama. Sebuah putusan pengadilan pada dasarnya hanya mengikat para pihak yang bersengketa (psl 1917 BW) dan tidak mengikat setiap orang pada umumnya seperti Undang-Undang. Putusan adalah hukum sejak dijatuhkan hingga dilaksanakan. Dan setelah dilaksanakan putusan pengadilan hanyalah merupakan sumber hukum. Sebab-sebab seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain: pertimbangan psikologis, pertimbangan praktis dan memiliki pendapat yang sama.
e). Doktrin
Undang-undang, perjanjian internasioanl dan yurisprudensi adalah sumber hukum. Tidak mustahil sumber-sumber hukum ini tidak dapat memberikan jawaban mengenai hukumnya, maka hukum dicari dari pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum. Ilmu hukum bukanlah hukum, karena tidak memiliki kekuatan mengikat, namun ilmu hukum memiliki wibawa karena didukung oleh para ahli hukum (yuris) dan sebagai sebuah ilmu, ilmu hukum memiliki sifat obyektif. Selaras dengan sifat yang harus dimiliki sebuah hukum yakni wibawa dan obyektif.
Doktrin sebagai sumber hukum tampak jelas dalam hukum internasional. Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional pasal 38 (1) mengakui pendapat-pendapat ahli hukum sebagai pedoman dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu sengketa atau perselisihan. Di Indonesia khususnya dalam pengadilan agama, pendapat para fukaha (ahli hukum islam) banyak digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara di pengadilan agama.


4.        Sejarah Hukum
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual[16].
Sebenarnya tak lain dari pada pertelahaan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup. Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perubahan dan stabilitas.
Mempelajari sejarah hukum memang bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly bahwa dengan mempelajari sejarah sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang jauh. Ia meluaskan penglihatan dan memperbesar pandangan hidup kita dengan membuat perjalanan di negeri-negeri asing. Sejarah mengenalkan kita dengan keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada yang biasa kita kenal dan dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini terdapat pada kita bukanlah satu satunya yang mungkin. (Sudarsono, hal. 254)[17].
Penyelidikan sejarah membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai hal yang demikian melainkan menghadapinya secara kritis. Sebagai ilmu sosial dan ilmu budaya, sejarah menelaah aktivitas manusia dan peristiwa-peristiwanya yang terjadi pada masa lalu dalam kaitannya dengan masa kini. Sebagai ahli sejarah, tidak harus puas dengan deskripsi saja dan harus berusaha untuk memakainya serta bagaimana prosesnya yang pusat perhatiannya adalah uniknya dan khasnya peristiwa-peristiwa tersebut.
Pada sejarah hukum umum yang menjadi ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari suatu hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah sejarah pembentukan hukum atau pengaruh dari sumber-sumber hukum dalam arti formil pada peraturan-peraturan tertentu.
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan[18].

5.        Perkembangan paradigma ilmu hukum
Masuk dan tumbuhnya kekuasaan barat di Indonesia menyebabkan masuk pula perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika kepada orang-orang indonesia diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa. Orang-orang Indonesia mulai berkenalan dengan elemen-elemen ideologi aufklarung sebagai ideologi sekuler yang terkait erat pertumbuhannya dengan perkembangan rasionalisme[19]. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi, kemerdekaan, persaman, demokrasi, republik, konstitusi, hukum negara dan masyarakat. Pemikir pemikir seperti John lock, Thomashobbes, Rousseau, diketahui serta individulisme, liberlisme, kapitalisme, sosilisme dan marxisme didalaminya. Pada awal abad ke 20 pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan fasilitas pendidikan bagi orang Indonesia secara terbatas sehingga lambat laun berkembang cikal bakal kelas menengah yang berpendidikan sekalipun masih sangat kecil. Sejumlah kecil mahasiswa Indonesia yang berhasil belajar di Belanda sangat dipengaruhi oleh kondisi politis maupun ide-ide politis yang mereka temukan disana. Kebebasan-kebebasan sipil dan pemerintahan demokratis yang mereka lihat di Belanda sangat berlawanan dengan kondisi- kondisi di Indonesia, sehingga hal ini membuat para mahasiswa Indonesia sangat terkesan. Selain itu juga awal dekade 1960 an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab dengan teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negeri barat maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh. Perkembangan pemikiran para ahli hukum Indonesia menjadi satu  pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Munculnya sebuah teori pemikiran hukum juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang solusinya.
Tipologi pemikiran hukum disini adalah satu kajian tentang tipe-tipe pemikiran para ahli hukum Indonesia pasca kemerdekaan sampai masa orde baru khususnya dekade 1990-an. Pemikiran yang dikemukakan oleh para ahli hukum merupakan pemikiran yang tidak dipisahkan dari realitas budaya hukum di Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena pemikiran hukum mereka bukannya semata-mata membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aspek normatif-doktriner, tetapi juga berhubungan dengan analisis, respon dan refleksi mereka terhadap permasalahan hukum dan konseptualisasi hukum dalam perspekti sosiologis. Sementara itu, penting dikemukakan bahwa tipologi yang diuraikan lebih merupakan peta yang didasarkan pada kecenderungan umum pemikiran hukum di Indonesia. Dari peta tersebut diharapkan sosok dan profil pemikiran para ahli hukum Indonesia akan tampak lebih jelas, selain itu dalam diskripsinya, tipologi tidak semata-mata mendasarkan diri pada aliran pemikiran yang dianut oleh masing-masing ahli hukum, tetapi juga mengamati kerangka teoritis atau pendekatan yang digunakan.
Tipologi pemikiran ahli hukum periode pasca kemerdekaan menunjukkan suatu model pemikiran yang mengutamakan komitmen pada hukum adat, dalam kontek politik hukum pemikiran formalistik memperlihatkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang sebuah tatanan hukum yang dibayangkan, seperti terwujudnya suatu sistem hukum nasional, ekspresi simbolis dan idiom-idiom hukum yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karateristik hukum nasional, oleh karena itu pemikir-pemikir hukum saat itu yangdipresentasikan oleh Prof.,Dr.,Mr. Soepomo dan Prof.,Dr.,Mr Soekanto sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme hukum adat (Khudzaifah Dimyati ,2004: 239)[20]. Dalam perkembangannya pemikiran hukum dengan tipologi formalistik pada dekade 1960 sampai 1970 mulai memperlihatkan suatu karateristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat hukum pada pemikiran hukum pada periode ini. Salah satunya direpresentasikan oleh Prof. Djoko Soetono, Beliau mengatakan bahwa dalam pikiran seorang ahli tidak berdiri sendiri dan tidak otonom, tetapi dipengruhi oleh suasana sekitarnya.
Oleh karena itu, selayaknya kita menyesuaikan diri dengan masalah pembentukan konstituante dan konstitusi. Pada masa ini hukum adat masih menjadi dasar pembentukan hukum, karena hukum adat dianggap sebagai hukum yang universal dan nilainya melebihi hukum-hukum manapun serta melampui batas kewilayahan (pemikiran djoyodigoeno).
a.       Positivisme dalam Ilmu Hukum
Positivis memerupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang  berkembang di Eropa kontinental, khususnya di Perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857)[21]. Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, suatu obyek yang harus dilepaskan dari sembarang macam para konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya (SoetandyoWignyosoebroto, 2002: 96). Diaplikasikan kedalam pemikiran tentang hukum positiv menghendaki dilepasknnya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai asas-asas moral metayuridis yang niskala (abstrak) tentang hakekat keadilan melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai legeatau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang dibilang hukum dan apapula yangsekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang terbilang hukum (SoetandyoWignyosoebroto, 2002: 97)[22].
Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius )agar segera menjadi norma perundang-undangan ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege. Sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral yang tak pula banyak bisa dijabarkan secara meluas. Positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau penyatuan, tak Cuma yang menuju ke nation state melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionlisasi dan etatisasi hukum dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif.
Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun terbilang positif, dalam arti obyektifitasnya pada hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif.
Proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas sejumlah norma metayuridis menjadi sejumlah norma yang positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun dari padanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi dan tidak berlogika normologis yang induktif untuk menemukan berjumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural[23]. Bagaimanapun juga hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen bukan hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sain guna menjamin obyektifitas danrealibilitas (Khudzaifah Dimyati , 2004: 240).
Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut positivisme dalam paradigma pembentukan hukumnya. Tentunya banyak hal yang dapat menjadi satu kelemahan dalam penerapan hukumnya dalam pandangan positivisme yang dikatakan hukum adalah satu norma-norma yang telah dipositifkan sedangkan norma-norma yang tidak tertulis sekalipun itu baik dan bagus bukan disebut sebagai hukum. Hal inilah yang sering kali indonesia mengalami persoalan ketika harus menghadapi kejahatan-kejahatan internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya. Kasus-kasus terorisme yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk ke Indonesia yang mau-tidak mau dengan tekanan internasional mengharuskan negara Indonesia terlibat dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut, namun yang menjadi masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda indonesia, ternyata indonesia dalam hukum positifnya belum mampu mengakomodir kejahatan tersebut. Sehingga mengharuskannya dalam waktu singkat membuat aturan hukumnya. Walaupun harus melanggar asas-asas umum dalam hukum indonesia.
Membangun paradigma pemikiran hukum di Indonesia menuju modernisasi hukum. Teori positivisme hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif dan oleh karena sangat terbatas, untuk tidak mengatakan gagal apabila dihadapkan dengan suasana kemelut dan keguncangan seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu Indonesia tidak boleh berlarut-larut dalam cara penegakan hukum sebagaimana selama ini dijalankan. Menurut Satcipto Rahardjo dalam buku teorisasi hukum karangan Khudzaifah Dimyati mengatakan Indonesia membutuhkan suatu tipe penegakan hukum progresif, karena pengamatan selama ini menunjukkan, meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras namun hasilnya tetaplah mengecewakan (2004: 134)[24]. Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan, reformasi 1998 misalnya merupakan perubahan paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan yang dibangun berdasarkan paradigma kekuasaan digantikan oleh paradigm moral akal budi selain itu juga Satcipto Rahrdjo mengatakan bahw ahukum bukan suatu institusi yang selesai tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu Dalam ilmu hukum yang legalistik positivistik hukum sebagai institusi pengaturan yang komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia. Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori legismenya. Hal ini dikarenakan legisme melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Satcipto Raharjo, 2000: 9). Untuk mulai membangun hukum Indonesia maka paradigma yang harus dipakai dalam pemikiran tersebut adalah harus mencoba meninggalkan  paradigma positivis menuju kepada paradigma sosia lartinya menempatkan hukum pada kontek sosialnya yang lebih besar dengan kata lain, hukum tidak dipahami sebagai institusi yang esoterik dan otonom tetapi sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar[25]. Sehingga terbangun konstruksi hukum yang benar-benar responsif terhadap kemungkinan yang akan terjadi.









BAB III
PENUTUP
Ilmu hukum tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka dasar umum habitat ilmu hukum[26]. Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara bulat pada saat ini adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa kebangsaan setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam istilah Soepomo sebagaimana dikutip oleh A. Gunawansetiadji dalam bukunya yang berjudul dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum di Indonesia.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial.
Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual.






DAFTAR PUSTAKA
A.           Buku-Buku
Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960.
Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,  Kencana, Jakarta.
P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985.
Sunaryati Hartono, “Peranan Teknologi Dalam Peningkatan dan Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.2, 1994.
B.            Data-Data Elektronik
Ilmu Hukum Dalam Perspektif Ilmu Hukum Modern”, www.google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/259-ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern.html, 04 September 2011, 09.40.



[1] Khudzaifah Dimyati, “Kerangka Acuan Menuju Karakteristik Hukum Nasional,” dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 1989; Banyak masalah yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional, hal itu tidak hanya berkenaan dengan usaha untuk menciptakan hukum nasional, baik yang sama sekali baru maupun untuk menggantikan hukum kolonial, juga lihat, Sunaryati Hartono, “Peranan Teknologi Dalam Peningkatan dan Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.2, 1994, hal.57.
[6] Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960, hlm. 1.
[7] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,  Kencana, Jakarta, hlm. 18.
[8] Ibid, hlm. 19.
[9] Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982, hlm.  8.
[10] Ibid, hlm. 9.
[11] Dalam Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, P. Van Dijk et.al. menterjemahkan rechtsdogmatiek ke dalam bahasa jerman sebagai jurisprudenz, yang artinya memang tepat jurisprudence, lihat P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985, pp. 447-448. Bahasa Latin sui generis berarti hanya satu dari jenis tersebut.
[12]Ilmu Hukum Dalam Perspektif Ilmu Hukum Modern”, www.google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/259-ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern.html, 04 September 2011, 09.40.
[13] www.google.com /perkembangan ilmu hukum doktriner/preview.html, 04 September 2011, 08.30.
[26] http://google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/PENDAHULUAN.htm, 04 September 2011, 08.30.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,