Sabtu, 12 November 2011

REFORMASI INSTITUSI PENEGAKAN HUKUM : PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Hukum pada dasarnya harus kita tempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress). Sebagai contoh, kita dapat memetik buah pengalaman sejarah terhadap pemaknaan “perbuatan melawan hukum”. Jika dulu perbuatan melawan hukum hanya dimaknai sebagai tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undanga, maka perkembangan masyarakat menuntut keberadaan landasan pikir baru yang harus mengadopsi perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat. Ini bisa kita lihat dalam “Arrest Hoge Raad”, atau putusan Mahkamah Agung Belanda pada bulan Januari 1919, atau sering juga diistilahkan dengan “Revolusi Bulan Januari”. Putusan tersebut tidak hanya mendefinisikan ulang terhadap makna perbuatan melawan hukum, tapi juga memberikan suatu lompatan besar dalam sejarah perkembangan hukum yang selalu mengalami progressifitas. Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 13 Januari 1919 membuat putusan yang mengatakan bahwa, “melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tapi juga bertentangan dengan tata susila dan kepatutan menurut masyarakat[1]. Ini adalah landasan kuat yang menegaskan bahwa hukum harus mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya masing-masing. Inilah salah satu makna dasar dari hukum progresif. Hukum bukanlah sebagai sebuah sistem yang stagnan dan status quois, namun mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan sosial masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa, “suatu karekteristik penting dari hukum progresif adalah wataknya yang menolak keadaan status quois, apabila keadaan tersebut menuimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat. Watak tersebut membawa hukum progresif kepada perlawanan dan pemberontakan yang akhirnya berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum”[2].
Jika dalam konsepsi hukum progeressif (yang mulai menjadi diskursus penting sejak awal tahun 2000-an), ditekankan pentingnya meninjau kembali posisi sistem hukum nasional kita, tentu tidaklah terasa cukup untuk membangun akses keadilan secara utuh kepada masyarakat. Hukum memang harus kita sepakati sebagai sesuatu yang harus berubah, baik dalam teks maupun konteks penerapannya.
Hukum di Indonesia lebih sering menuai kritik ketimbang pujian. Berbagai kritik diarahkan baik berkaitan dengan kualitas hukum, ketidak jelasan berbagai produk hukum yang berkaitan dengan proses legislasi dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia[3]. Menurut  Paulus  Lotulung,  langkah  awal  yang  harus dilakukan  adalah  perbaikan  sistem  melalui  perubahan  dan  penyempurnaan  peraturan-peraturan yang mendasari penegakan hukum. Dari sinilah titik tolak kebijakan dan politik penegakan  hukum  harus  dilakukan[4].  Salah  satu    acuan  reformasi  hukum  di  bidang penegakan  hukum  yang  signifikan  Ketetapan  MPR  Nomor  X/MPR/1998  tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Menyelamatkan dan Normalisasi Kehidupan  Nasional  sebagai  Haluan  Negara[5].  Atas  dasar  ini,  dilakukan  pengkajian kembali  mengenai  fungsi  eksekutif,  legislatif,  dan  yudikatif,  sesuai  dengan  peraturan perundang-undangan Indonesia.
Reformasi secara garamatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun dan mempersatukan kembali[6]. Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien dan berkeadilan sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat.
Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional[7]. Pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kearah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain itu, betapa beratnya tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam  menegakkan  aturan  hukum  selama  ini,  sebagaimana  yang  dinyatakan oleh Prof. J.E. Sahetapy yang menegaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, yaitu faktor aparat penegak hukum, kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat akan kesigapan, kejujuran dan profesionalisme para penegak hukum[8].
Berdasarkan  uraian  pada  latar  belakang  masalah tersebut maka dipandang perlu untuk melakukan sebuah kajian terkait Reformasi Institusi Penegakan Hukum : Perspektif Hukum Progresif dengan permasalahan “Reformasi dan Optimalisasi dalam Penegakan Hukum”?









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Reformasi Hukum
Tahap awal dalam reformasi hukum adalah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar utama bagi konstitusi Negara Republik Indonesia. Secara prinsipil, amandemen Undang-Undang Dasar merupakan sebuah keniscayaan,  karena  tidak  mungkin  melakukan  reformasi  politik  dan  ekonomi  tanpa melakukan reformasi hukum sedangkan reformasi hukum tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan  perubahan  konstitusi  (constitutional  reform)[9].  Dalam  pandangan    Abraham Amos,  proses  amandemen  konstitusi  bukan  sesuatu  yang  keramat  (tabu),  karena bertujuan untuk memperbaiki hal-hal substansial yang belum termuat dalam konstitusi[10]. Pada awal pembentukannya, Undang-Undang Dasar 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara, yang oleh Soekarno disebut sebagai Undang-Undang Dasar revolutiegrondwet[11].
Reformasi hukum dalam konteks ini menjadi salah satu bagian penting dari agenda penataan dan perombakan negeri ini. Reformasi hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat)[12]. Dalam sistem politik yang demokratis, hukum harus memberi kerangka struktur organisasi formal bagi bekerjanya lembaga-lembaga negara, menumbuhkan akuntabilitas normatif dan akuntabilitas publik dalam proses pengambilan keputusan politik, serta dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai sarana penyelesaian konflik politik[13].
Di Indonesia, tujuan hukum adalah untuk membentuk suatu pembentukan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jika hukum tidak lagi dapat bekerja sesuai tujuan dan sebagaimana fungsinya maka itu menandakan upaya-upaya reformasi hukum sudah waktunya dilakukan. Roscoe Pound misalnya, telah mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering), tetapi apabila dalam kenyataannya di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as tool of corruption engineering) maka jelas diperlukan reformasi terhadapnya. Reformasi hukum bukan saja diartikan sebagai penggantian atau pembaruan perundang-undangan akan tetapi juga perubahan asumsi dasar dari sebuah tata hukum yang berlandaskan ide-ide diskriminatif dan kesenjangan sosial menjadi ide-ide persamaan di depan hukum dan keadilan sosial[14].
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka (business as usual) tetapi tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan (business–like). Meski sudah serak bangsa ini meneriakkan supremasi hukum (supremacy of law), hasilnya tetap saja mengecewakan. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful)[15].
Reformasi institusional merupakan hal yang sulit dilakukan. Mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan pihak terkait dalam bidang  reformasi  hukum,  perlu  mengambil  langkah  yang berkelanjutan dan pasti dalam jangka panjang, atau setidaknya selama durasi masa kepresidenan yang baru. Namun, tantangan tersebut harus dilakukan. Kualitas dari sektor hukum mempengaruhi kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia, efektifitas kebijakan pemerintah, serta kesehatan ekonomi.
Reformasi sektor hukum telah dicoba sebelumnya. Pada masa kepresidenan Habibie dan Gus Dur, berbagai langkah mengesankan dari pihak legislatif dan eksekutif telah diambil sehubungan dengan persepsi akan lemahnya sektor hukum[16]. Undang-undang korupsi yang baru telah diberlakukan dan komisi anti korupsi telah diberi mandat untuk menjalankan fungsinya. Sebuah tim investigasi gabungan dibentuk berdasarkan keputusan presiden (Keppres), yang diberi tugas untuk menyelidiki berbagai tuduhan korupsi daalam badan peradilan. Hanya saja, sampai saat ini, tuduhan semacam itu masih diabaikan oleh pihak aparat, sehingga hal tersebut terlepas dari jerat hukum. Kantor Ombudsman dibentuk dan Komite Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara juga telah dibentuk. Komisi Hukum Nasional juga dibentuk dan diberi mandat untuk memberikan rekomendasi reformasi bidang hukum termasuk reformasi badan-badan peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk untuk mencoba dan membangun kapasitas ajudikasi yang kompeten selama krisis dunia usaha dan perbankan yang menimpa Indonesia di akhir decade 1990an. Kemudian, Jaksa Agung membuat kajian yang pertama kali mengenai institusi sektor hukum yang dipimpinnya. Berbagai inisiatif tersebut, terkecuali satu perngecualian, tidak berdampak seperti yang diharapkan. Masing-masing inisiatif jadi menyimpang dari tujuan dan tidak memenuhai aspirasi dari mereka yang benar-benar ingin melihat perubahan dalam berbagai insitusi hukum di Indonesia.
Saat Megawati berada di tampuk kepresidenan. Reformasi hukum belum paripurna meskipun harus diakui bahwa dimulainya agenda Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 merupakan proses reformasi. Ini sejalan dengan pendapat Thomson bahwa apabila dikaitkan dengan hukum, reformasi sebagai proses perubahan tatanan hukum, yakni konstitusi (constitutional reform)[17]. Hal ini harus dimaknai bahwa doktrin hukum Indonesia, tentang separation of powers dan check and balances among the branches of government sedang diteguhkan kembali. Pemulihan doktrin-doktrin ini adalah inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia, termasuk bidang hukum. Namun sejalan dengan itu mafia hukum dan peradilan malah bertambah bagaikan epidemi. Bahkan ada yang bilang, hukum diperkosa terang-terangan oleh uang dan kekuasaan.
Perjalanan reformasi hukum baru menjumpai titik terang manakala Pemilu 2004 menghasilkan pemerintahan yang legitimate dimana presiden dan wakil presiden untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Kehadiran komisi-komisi pembantu negara (state auxiliary agencies) memberi gambaran bahwa ada agenda kuat dalam mewujudkan reformasi hukum. Lahirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Penyiaran Independen (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS Anak) menunjukkan adanya pembaruan dalam praktek ketatanegaraan. Namun banyak kalangan mempertanyakan efektifitasnya khususnya dalam mendukung reformasi hukum. Eksistensi state auxiliary agencies tersebut belum memberikan dampak yang signifikan terhadap agenda reformasi di bidang hukum meski tidak boleh dikatakan tidak berperan. Inti keprihatinan belum berubah melihat realitas penegakan hukum yakni kepastian hukum masih ditegakkan melalui pendekatan peraturan atau undang-undang atau pendekatan legislatif, belum melalui penegakan hukum oleh pengadilan sebagai benteng terakhir masyarakat pencari keadilan atau pendekatan law enforcement dan an independent judiciary[18]. Hingga masa pemerintahan sekarang ini, reformasi hukum belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Terbukti, masih dilakukannya kebiasaan-kebiasaan lama melalui praktik judicial corruption, tidak tuntasnya masalah penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi.
Proses reformasi terhadap institusi penegak hukum merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda. Reformasi institusi dan reposisi personil di institusi penegak hukum jelas sudah tidak bisa ditunda lagi, agar proses penegakan hukum di Indonesia berjalan dinamis[19]. Tidak tuntasnya penanganan sejumlah kasus korupsi menunjukkan reformasi penegakan hukum yang diupayakan selama lima tahun terakhir gagal total. Era reformasi hanya disibukkan oleh kegiatan membuat beragam aturan perundang-undangan dan lembaga pendukungnya tanpa tindakan konkret aparat penegak hukum untuk menegakkan peraturan secara efektif. Pembangunan hukum nasional praktis hancur karenanya.
Kompromi politik lebih dominan mewarnai setiap proses penegakan hukum sehingga efek jera dan kepastian hukum tidak ada. Dari segi pembuatan berbagai aturan perundangan-undangan dan lembaga pendukungnya, reformasi memang terasa berjalan. "Tetapi, yang dibutuhkan adalah tindakan konkret dan berani untuk menegakkan aturan yang sudah ada melalui lembaga yang dibentuk. Tak adanya perubahan dalam tubuh institusi penegakan hukum di satu sisi dan dimilikinya kewenangan yang sangat luas di sisi lain, menurut mantan Menteri Kehakiman Muladi, menempatkan institusi ini cenderung menerapkan kelaliman yudisial (judicial despotism). Kelaliman yudisial inilah yang memorak-porandakan kepercayaan nasional dan internasional terhadap supremasi hukum di Indonesia. "Reformasi penegakan hukum dan program pembangunan hukum nasional hancur karenanya," papar Muladi yang dihubungi di The Habibie Center[20]. Pendekatan positivistik dengan pembuatan aturan perundang-undangan dan lembaga pendukungnya tak akan pernah berjalan efektif jika tak ada reformasi dalam tubuh institusi penegakan hukum di kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian. "Institusi penegakan hukum kita stagnan. Selama ini tidak ada perubahan perilaku dalam ketiga institusi itu. Lantaran institusi tak berubah yang terjadi selama ini bukanlah penegakan hukum, tetapi kompromi politik yang mengabaikan efek jera dari setiap proses hukum. Kompromi politik ini diperparah oleh rendahnya etika politik pejabat publik yang tersangkut kasus hukum.
Masyarakat memiliki andil dalam kegagalan reformasi penegakan hukum, khususnya kasus korupsi, meskipun kecil presentasenya. Masyarakat terkondisi menerima (permisif) perilaku korup para pejabat publik dalam sistem yang korup. Meskipun memiliki antipati tinggi, masyarakat tidak berdaya. Realitas saat ini menyedihkan. Dengan sistem yang korup, masyarakat dipaksa untuk korupsi atau mendukung perilaku-perilaku korup. Meskipun belakangan ini terlihat upaya serius penegakan hukum untuk kasus-kasus korupsi, komitmen pemerintah dan pemimpin politik sangat rendah. Setiap undang-undang tidak akan terhindar dari celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pencari keadilan. Namun, apabila setiap penegak hukum mematuhi kode etik profesi masing-masing, hal itu dapat diminimalkan.
Reformasi penegak hukum menjadi jawaban yang paling ideal dalam menjawab permasalahan tersebut. Namun sejauh perjalanannya, reformasi penegak hukum justru paling lamban dibanding dengan upaya reformasi di bidang lain seperti reformasi ekonomi. Hal tersebut diperparah dengan adanya praktek mafia hukum yang menyebabkan reformasi hukum di Indonesai jalan ditempat.
Penguatan institusi penegak hukum yang ada sekarang merupakan hal yang tak bisa dihindarkan lagi. Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantas Korupsi sebagai lembaga yang independen dengan tugas dan wewenangnya masing-masing telah dilengkapi kekuasaan serta memiliki diskresi penuh dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Sinergisasi antara ketiga lembaga tersebut setidaknya membutuhkan beberapa hal. Pertama, pimpinan penegak hukum di lembaga masing-masing harus memiliki kemauan dan tekad kuat dalam memberantas praktik mafia hukum di institusi yang dipimpinnya. Kedua, perlunya penguatan serta pengawasan baik dari internal maupun eksternal masing-masing institusi penegak hukum. Dan terakhir, ada kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja aparat penegak hukum. Tentunya, jika ingin membersihkan kotoran, sapunya harus bersih, kalau sapu itu sendiri kotor, mana mungkin dapat membersihkan[21].



Pelajaran utama dari tujuh tahun terakhir adalah bahwa reformasi sektor hukum memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Pemerintah perlu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa terdapat komitmen bagi terciptanya institusi penegakkan hukum yang dapat dipercaya oleh masyarakat Indonesia, dan juga oleh siapa saja yang berniat untuk melakukan bisnis dengan atau di Indonesia. Tantangan utama dalam mendapatkan kepercayaan meliputi; penanganan korupsi dan penyalah gunaan wewenang dalam berbagai institusi dan meningkatkan kompetensi aparat penegak hukum.

B.       Optimalisasi Penegakan Hukum
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidak hormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:
  1. Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
  2. Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan social
  3. Inkonsistensi dalam penegakan hukum
  4. Masih adanya intervensi terhadap hukum
  5. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
  6. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum
  7. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum
  8. Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy.
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan optimalisasi penegakan hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan optimalisasi penegakan hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain;
  1. Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
  2. Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
  3. Aparatur penegak hukum yang professional
  4. Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
  5. Pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia
  6. Partisipasi public
  7. Mekanisme control yang efektif.
Pada dasarnya harus menyentuh tiga komponen hukum yang disampaikan oleh Lawrence Friedman yang meliputi:
  1. Struktur hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
  2. Substansi hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
  3. Budaya hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Kiranya dalam rangka melakukan optimalisasi penegakan hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
  1. Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas;
  2. Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
  3. Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
  4. Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum;
  5. Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
  6. Penerapan konsep Good Governance.
Melihat kenyataan, bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang begitu pesat, tetapi kemajuan itu akan tetap ada. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk mewujudkan penegakkan hukum dengan didukung oleh aparat penegak hukum lainnya. Kasus mafia peradilan yang akhir-akhir ini banyak disorot masyarakat akan menjadikan penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum
















BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dalam konteks reformasi institusi penegakan hukum, perubahan paradigma baru yang lebih mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi  diharapkan dapat membawa institusi penegak hukum menjadi sebuah institusi yang transparan dan akuntabel, serta menampilkan wajah sebagai aparat penegak hukum yang profesional dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat diwujudkan apabila reformasi institusi penegak hukum konsisten dalam mewujudkan perubahan pada aspek kultural yang merupakan muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, yang terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran dan sistem operasional. 
Akhirnya harus diingat bahwa hukum senantiasa tertuju pada tiga tujuan utama yaitu kepastian hukum (yuridis), keadilan (filosofis), dan kemanfaatan atau kegunaan (sosiologis). Ketiga tujuan hukum tersebut harus termanisfestasi dalam peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaan dalam praktek hukum. Oleh sebab itu, maka para birokrat pemerintah dan aparat penegak hukum harus menyadari hal itu sehingga mampu mewujudkan ketiga tujuan hukum itu dengan baik dan sungguh-sungguh. Artinya, reformasi hukum memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengirimkan sinyal yang kuat akan komitmen bagi terciptanya institusi penegakan hukum yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Tantangan utama di sini terletak pada upaya institusi penegakan hukum untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari masyarakat.







DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku-buku
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000
Brian Thompson,”Constitution is a document which contains the rulers for the operation of an organitation”. Textbook on Constitutional and Administrasi Law, edisi ke-3, Blackstone Press ltd, london, 1997.
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung, 2007.
H.F.  Abraham  Amos,  Katastropi  Hukum  &  Quo  Vadis  Sistem  Politik  Peradilan  Indoneisa:  Analisis Sosiologis  Kritis  Terhadap  Prosedur  Penerapan  dan  Penegakan  Hukum  di  Indonesia,  Raja  Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

J.E. Sahetapy, Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum Di Kepolisian Negara Republik Indonesia, disampaikan pada Fgd Penegakan Hukum Di Indonesia, 12 Oktober 2011.

Moh. Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum : Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa, Makalah Dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Tanjungpura, Pontianak, 9 Januari 2010.
Paulus E. Lotulung, Reformasi Penegakan Hukum, Dalam buku; 10 Tahun Undang-undang Peradilan  Agama.  Panitia  Seminar  Nasional  10  Tahun  Undang-undang  Peradilan  Agama  kerjasama  Ditbinbapera  Islam,  Fakultas Hukum UI dan PPHIM. Jakarta: T.P. 1999.
Per  Strand  dalam  Carlos  Santiago  Nino,  Transition  to  Democracy,  Corporatism,  and  Constitutional Reform in Latin America, University of Miami, Miami, 1993, p, 54. Lihat juga Peter Paczolay, Constitutional Transition and Legal Continuity, 1993, 8, Connecticut Journal of International Law, p. 560.
Sajipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum Dalam  Pertanggung-Jawaban Perbuatan Pemerintahan (Bestuurshandeling) Suatu Kajian Dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157.
W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Thompson and Nelson Ltd, Canada, 1982.


B.  Peraturan-peratutan
Menteri  Negara  Koordinator  Bidang  Pengawasan  Pembangunan  dan  Pendayagunaan  Aparatur  Negara Republik  Indonesia,  Himpunan  Hasil  Pengkajian  Pelaksanaan  Tap  MPR-RI  Nomor  X/MPR/1998  berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Yudikatif dan Eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
C.    Data Elektronik

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=161, diakses tangggal 07 November 2011.



[1] Sajipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 61.
[2] Ibid, hlm. 18.
[3] Moh. Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum : Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa, Makalah Dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Tanjungpura, Pontianak, 9 Januari 2010, hlm. 1.
[4] Paulus E. Lotulung, Reformasi Penegakan Hukum, Dalam buku; 10 Tahun Undang-undang Peradilan  Agama.  Panitia  Seminar  Nasional  10  Tahun  Undang-undang  Peradilan  Agama  kerjasama  Ditbinbapera  Islam,  Fakultas Hukum UI dan PPHIM. Jakarta: T.P. 1999, hlm. 140.
[5] Menteri  Negara  Koordinator  Bidang  Pengawasan  Pembangunan  dan  Pendayagunaan  Aparatur  Negara Republik  Indonesia,  Himpunan  Hasil  Pengkajian  Pelaksanaan  Tap  MPR-RI  Nomor  X/MPR/1998  berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Yudikatif dan Eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
[6] W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary,  Thompson and Nelson Ltd, Canada, 1982, hlm. 422.
[7] Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum Dalam  Pertanggung-Jawaban Perbuatan Pemerintahan (Bestuurshandeling) Suatu Kajian Dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157, hlm. 137.
[8] J.E. Sahetapy, Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum Reformasi Dan Optimalisasi Penegakan Hukum    
Di Kepolisian Negara Republik Indonesia, disampaikan pada Fgd Penegakan Hukum Di Indonesia, 12 Oktober 2011, hlm. 1.
[9] Per  Strand  dalam  Carlos  Santiago  Nino,  Transition  to  Democracy,  Corporatism,  and  Constitutional Reform in Latin America, University of Miami, Miami,  1993, p, 54. Lihat juga Peter Paczolay, Constitutional Transition and Legal Continuity, 1993, 8, Connecticut Journal of International Law, p. 560.
[10] H.F.  Abraham  Amos,  Katastropi  Hukum  &  Quo  Vadis  Sistem  Politik  Peradilan  Indoneisa:  Analisis Sosiologis  Kritis  Terhadap  Prosedur  Penerapan  dan  Penegakan  Hukum  di  Indonesia, Raja  Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 82.
[11] Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung, 2007, hlm. 48.
[12] Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000,  hlm. 189.
[13] Moh. Mahfud MD, Keniscayaan... op.cit., hlm. 4.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm. 2.
[17] Brian Thompson,”Constitution is a document which contains the rulers for the operation of an organitation”. Textbook on Constitutional and Administrasi Law, edisi ke-3, Blackstone Press ltd., London, 1997, hlm. 3.
[18] Moh. Mahfud MD, Keniscayaan... op.cit., hlm. 7.
[19] http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=161, diakses tangggal 07 November 2011.
[21] http://gitacintanyawilis.blogspot.com/2010/11/sinergisasi-peran-institusi-penegak.html, diakses tanggal 08 November 2011.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,