Minggu, 15 Januari 2012

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM LIKUIDASI BANK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terus berupaya dalam peningkatan perekonomiannya. Kestabilan perekonomian sangat erat kaitannya dengan kestabilan perbankan.  Peran industri perbankan dalam perekonomian suatu negara seringkali diibaratkan sebagai peran jantung dalam sistem tubuh manusia,  karena bank mengerahkan dana masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya dalam bentuk kredit dalam rangka mengerakkan perekonomian. Untuk dapat berfungsi secara efektif, jantung perekonomian tersebut perlu dijaga agar selalu dalam kondisi sehat, stabil, serta bertumbuh (Harry Prasetya, http://www.lps.go.id).
Peranan dunia perbankan dalam masyarakat adalah dengan dijadikannya bank sebagai tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti tempat mengamankan uang, melakukan x pinjaman dana, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran atau melakukan penagihan. Dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit, telah menempatkan bank pada posisi yang strategis dalam rangka pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Dalam posisi bank sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit itulah bank disebut sebagai agen pembangunan.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1992 Tentang Perbankan menjelaskan bahwa  posisi perbankan  adalah  sebagai lembaga intermediasi dan sebagai agen pembangunan.  Sehubungan dengan itu  maka diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, bank dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.
Peran stategis yang dimiliki perbankan dalam perekonomian nasional telah mendorong lahirnya  berbagai  kebijakan, tetapi tidak  semua kebijakan dan aturan yang pernah diterapkan terhadap dunia perbankan nasional membawa dampak yang positif. Pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan. Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Paket deregulasi ini sangat memberikan kemudahan bagi pertumbuhan bank-bank swasta.  Materi yang diatur oleh Pakto 1988 adalah :
1. Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan dengan syarat mempunyai modal setor hanya sebesar Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
2. Seluruh bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seluruh wilayah Indonesia asalkan memenuhi persyaratan 24 (dua puluh empat) bulan terakhir tergolong sehat.
3. Perluasan kesempatan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dan memperluas kewenangannya.
4. Mempermudah pengakuan atau pemberian status kepada bank devisa.xi
5. Mempermudah bank asing untuk membuka cabang-cabangnya di 5 (lima) kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
6. Mempermudah pendirian bank-bank campuran (patungan) di 5 (lima) kota besar tersebut. (Munir Fuady, 2003:30)
Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sesudah Pakto 1998, jumlah bank dan jumlah kantor bank meningkat dengan pesat. Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Indonesia 1988/1989 dan 1990/1991 jumlah bank bertambah dari 112 pada Maret 1998  menjadi 176 bank pada Maret 1991 (A. Deni Daruri dan Djoni Edward, 2004:38).  Pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia yang mengakibatkan sektor-sektor ekonomi mengalami penurunan. Salah satu sektor yang sangat mempengaruhi kegiatan sektor riil yaitu jasa keuangan (perbankan) di Indonesia, akibatnya 16 (enam belas) bank terpaksa dilikuidasi atau dibekukan kegiatannya akibat ketidakmampuan bank tersebut dalam mengelola operasionalnya. Likuidasi terhadap bank-bank yang bermasalah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia menurun akibatnya terjadi penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dalam jumlah yang signifikan. Pada dasarnya bank adalah lembaga kepercayaan, karena kemauan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga. Usaha pemerintah dalam meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, yaitu dengan memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat. Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.  Selain memberikan penjaminan menyeluruh terhadap simpanan nasabah, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) yang bertujuan untuk mengambil alih dan menyehatkan bank yang bermasalah.
Pelaksanaan penjaminan oleh pemerintah atas seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) terbukti dapat menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan,  namun demikian luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya tindakan kurang hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral hazard) baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Dengan  demikian  program  penjaminan atas  seluruh kewajiban bank  kurang mendorong terciptanya disiplin pasar (http://www.lps.go.id).
Upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman  dan nyaman bagi  nasabah  penyimpan  dana serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu digantikan dengan  sistem penjaminan  yang terbatas  dan diperlukan  sebuah lembaga yang independen, transparan dan akuntabel untuk menjamin simpanan  nasabah  penyimpan dana. Pasal 37B ayat (2) UndangUndang Nomor  7   Tahun   1992  tentang   Perbankan  jo. Undang-Undang   Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan  (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) menyebutkan bahwa “Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan”. Akhirnya tanggal 22 September 2004 telah ditetapkan UndangUndang  Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut Undang-Undang LPS). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi pada tanggal 22 September 2005. Dengan mulai beroperasinya LPS,  sistem penjaminan menyeluruh atas dana simpanan nasabah penyimpan oleh pemerintah  akan berakhir dan digantikan dengan program penjaminan terbatas. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada satu sisi penjaminan terbatas sangat merugikan bagi nasabah besar, karena rata-rata dari mereka memiliki simpanan yang jumlahnya melebihi simpanan yang dijamin oleh LPS. Di sisi lain apabila penjaminan menyeluruh tetap diberlakukan, dikhawatirkan pengelola bank akan melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko yang digariskan. Terlebih lagi melalui  Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dikeluarkan oleh otorita moneter, Bank Indonesia, dalam rangka memperkuat struktur permodalan bank di Indonesia, menetapkan modal inti minimal bank umum pada akhir tahun 2007 sebesar Rp. 80 miliar, dan pada 2010 jumlah bank BUMN maupun Bank Swasta akan diciutkan menjadi sekitar 60 dari 132 bank saat ini dengan menetapkan ketentuan jumlah modal inti yang harus
dimiliki di atas Rp. 100 miliar (Khomarul Hidayat, www.sinarharapan.co.id). Pada saatnya nanti hanya ada beberapa bank yang mengarah ke bank internasional, yakni bank yang mampu memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Bank Indonesia dengan modal di atas Rp. 50 triliun. Kemudian ada beberapa bank saja yang memiliki cakupan usaha yang luas dan beroperasi secara nasional, yang kriterianya harus memiliki modal antara Rp. 10 triliun sampai Rp. 50 triliun. Adapun perbankan yang memiliki tingkat permodalan Rp. 100 miliar, disebut bank dengan fokus daerah, korporasi, ritel dan yang lainnya. Sementara bank yang modalnya di bawah Rp. 100 miliar, hanya boleh melakukan kegiatan usaha terbatas atau masuk dalam kategori Bank Perkreditan Rakyat (Dzeiban, Rosyidah, http://adln.lib.unair.ac.id). Hal tersebut tentu bukan pekerjaan mudah dan dengan waktu yang cepat untuk memenuhi ketentuan jumlah modal inti yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Bagi bank dengan modal kecil, untuk dapat memenuhi apa yang dipersyaratkan  Bank Indonesia, salah satu alternatifnya adalah menempuh jalan merger dengan bank yang bermodal besar. Jika tidak berhasil memenuhi syarat yang ditentukan, harus siap keluar dari bisnis perbankan. Hal ini tentu membuat nasabah penyimpan dana semakin khawatir dengan dana yang disimpannya di bank. Untuk itu ketentuan di dalam Undang-Undang LPS harus dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yakni menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH

FUNGSI PENGAWASAN BAPEPAM-LK DALAM PRAKTEK INSIDER TRADING TERHADAP PERUSAHAAN PUBLIK DALAM PASAR MODAL

Pada dasarnya, pasar modal merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang biasa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang ataupun modal sendiri. Baik pasar modal maupun pasar uang adalah merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market). Undang-undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 memberikan pengertian pasar modal yang lebih spesifik, yaitu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal memiliki peran besar bagi perekonomian dari suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.
Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Dengan adanya pasar modal maka pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return), sedangkan pihak issuer (dalam hal ini perusahaan) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Prinsip keterbukaan menjadi persoalan inti dalam pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri. Keterbukaan tentang fakta materiel sebagai jiwa pasar modal didasarkan pada keberadaan prinsip keterbukaan yang memungkinkan tersedianya bahan pertimbangan bagi investor, sehingga ia secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham.
Dalam kegiatan Pasar Modal sebagai rule of the game, telah ada UU Khusus yaitu UU Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal serta berbagai peraturan pelaksana yang diterbitkan pemerintah maupun Bapepam-LK sebagai lembaga self regulation. Jika dicermati, aturan-aturan itu sudah cukup banyak, namun perlu disesuaikan dengan berbagai pengaturan yang lain. Berbagai pelanggaran dan tindak pidana pasar modal yang terjadi saat ini seperti short selling, money laundry, dan insider treding masih sulit untuk dijerat dengan undang-undang pasar modal ini. Misalnya tindak pidana insider trading. Insider trading adalah Perdagangan efek dengan mempergunakan Informasi Orang Dalam (IOD). IOD adalah informasi material yang dimiliki orang dalam yang belum tersedia untuk umum. Dalam pasar modal di Indonesia, praktek insider trading tergolong salah satu pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait di dalam sejumlah skandal, apakah itu yang melibatkan emiten swasta ataupun BUMN. Hal tersebut terjadi bukan hanya karena sulitnya pembuktian terjadinya praktek tersebut, tetapi juga karena sanksi yang diberikan selama ini bersifat kurang tegas. Sanksi yang diberikan terhadap praktek Insider trading selama ini hanya berupa sanksi administratif yaitu denda. Padahal, di dalam peraturan perundangan tentang pasar modal (UUPM) disebutkan bahwa praktek  Insider trading termasuk dalam tindak kejahatan pidana. Tindak kejahatan pidana seharusnya  tidak hanya mendapatkan sanksi administrstif, tetapi juga mendapat sanksi kurungan agar memberikan efek jera kepada pelakunya
UU Pasar Modal kita hanya mengatur setiap orang yang mempunyai hubungan lain berdasarkan kepercayaan dalam perusahaan atau siapa saja yang dibayar oleh perusahaan untuk menjalankan tugas (karyawan), dalam menjalankan tugasnya yang bersangkutan tidak boleh mengambil manfaat baik penjualan maupun pembelian efek. UU Pasar Modal tidak dapat menjangkau para pelaku insider trading yang bukan orang dalam tetapi melakukan transaksi efek berdasarkan informasi orang dalam yang belum di-discloser yang ia miliki, dimana informasi tersebut tidak ia peroleh secara melawan hukum. Hal seperti ini harus secepatnya diantisipasi oleh Bapepam-LK.  
Dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

MENGKAJI PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2007 TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

A.    PERMASALAHAN

Hukum memiliki sifat dan ciri-ciri: eksplisit, ditegakkan secara terencana oleh organisasi kenegaraan dan bersifat normal. Hukum dikatakan eksplisit karena substansi kaedahnya cenderung dirumuskan secara tegas-tegas dalam kalimat-kalimat yang memiliki makna yang jelas. Hukum modern pada umumnya dirumuskan secara tertulis, lengkap dan berbagai penjelasan mengenai tafsir dan cara penafsiran. Keeksplisitan juga dibuktikan dengan fakta-fakta bahwa kaidah-kaidah hukum itu bersifat terbuka, berlaku umum dan mempunyai kepastian. Dengan adanya karakteristik-karakteristik itulah maka hukum dapat digunakan dalam jangka waktu tertentu yang relatif panjang.
Disamping itu, karena sifatnya yang eksplisit menyebabkan hukum memerlukan suatu struktur yang mengelolanya. Peranan struktur ini adalah membuat atau merumuskan kaidah-kaidah hukum yang eksplisit. Pada hakekatnya hukum dapat dibuat sebelum dan sesudah suatu kasus terjadi atau dibuat pada saat suatu kasus sedang diselesaikan. Dalam bentuk yang pertama, yaitu sebelum terjadi kasus, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan lainnya, disebut sebagai hukum in abstracto. Sedangkan bagi bentuk yang kedua hukum lahir bersamaan dengan jatuhnya keputusan yang menyelesaikan perkara, hukum ini disebut in concreto.
Struktur organisasi pembentukan hukum, yaitu lembaga legislatif. Di dalamnya terdiri wakil-wakil golongan politik yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi politik melalui proses-proses yang pada umumnya berwarna politik. Hasil lembaga ini diakui sebagai hukum yang berlaku umum dan bersifat netral. Akan tetapi sebenarnya dilihat dari prosesnya, merupakan proses yang penuh aspirasi politik. Sedangkan fungsi eksekutif atau pemerintah pada dasarnya merupakan lembaga pelaksana undang-undang, namun demikian dalam kenyataannya ia juga lembaga pembentuk hukum. Apabila pemerintah membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan, maka peraturan¬-peraturan dan keputusan-keputusan ini hendaklah diterima sebagai bagian usahanya untuk mengimplementasikan perintah undang-undang dan bukan membuat hukum yang tak berlandaskan pada kekuatan hukum yang lebih tinggi .
Sebagai pelaksana hukum (perundang-undangan), pemerintah dalam tindakan-tindakannya diberi kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan guna mengimplementasikan pelaksana undang-undang. Undang-undang umumnya kurang praktis untuk diterapkan langsung. Pelaksanaannya selalu memerlukan penjabaran-penjabaran dalam bentuk peraturan pelaksanaan sehingga penjabaran ini pada dasarnya merupakan produk-produk hukum.
Dari uraian tersebut maka penyusun terdorong untuk mengkaji mengkaji  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007  tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup  Dan Bidang Usaha Yang Terbuka  Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dari perspektif sosiologi hukum.

B.    ANALISIS PERMASALAHAN

Dalam sosiologi hukum fokus pada hukum sebagai himpunan moralitas sosial dan sebagai wahana untuk mencapai cita-cita nasional. Dengan demikian hukum menempati fungsi vital dalam kehidupan sosial. Hukum tidak hanya diartikan sebagai suatu fungsi sosial, melainkan juga sebagai suatu struktur sosial yang memiliki ciri-ciri institusionalnya sendiri yang menentukan cara kerjanya.
Menurut weber faktor yang mempengaruhi terhadap hukum yang baru terbentuk adalah kepentingan-kepentingan ekonomis baru yang sering kali merupakan sebab pertama yang telah mendorong pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari upaya-upaya hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya . Kekuasaan pun memainkan peranan menentukan di dalam pembentukan hukum. Ada tiga peranan yang dimiliki oleh kekuasaan. Pertama, sanksi yang diberikan oleh kekuasaanlah yang pada akhirnya menentukan kemanjuran sosial dari aturan-aturan hukum. Dengan demikian kekuasaan merupakan faktor penentu dalam pembentukan hukum, dengan menentukan hukum apa yang akan berlaku. Kedua, kepentingan-kepentingan administratif dari penguasa selalu merupakan suatu pengaruh besar terhadap pembentukan hukum. Ketiga, bentuk tertentu yang diambil oleh kekuasaan politik selalu merupakan faktor kondisional penting dengan dengan mengarahkan pembentukan hukum ke suatu arah tertentu.
Meskipun kepentingan ekonomis dan kekuasaan politik nampaknya penting dalam menentukan arah umum bagi pembentukan hukum, namun mereka tidak mampu untuk menjelaskan secara memuaskan kualitas sistem-sistem hukum yang terbentuk yang bersifat formal secara khusus dan khas “juristik”. Menurut weber bahwa kepentingan ekonomis dan administratif dapat dipenuhi dengan berbagai jalan yang berbeda-beda, sehingga mereka tak pernah akan dapat menjelaskan bentuk konkret dari hukum yang telah muncul karena kepentingan-kepentingan tersebut.
Kepentingan ekonomis dan kekuasaan merupakan sebab-sebab lahiriah yang mempengaruhi hukum dan pembentukan hukum dari luar. Untuk menjelaskan kualitas hukum yang juristik kita harus melihat kepada sebab-sebab yang bekerja di dalam hukumnya sendiri. Kapitalisme rasional yang modern membutuhkan tidak hanya cara-cara teknis produksi tetapi juga suatu sistem hukum yang dapat diperhitungkan serta administrasi dalam bentuk aturan-aturan formal.
Susunan tata hukum yang ideal tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan dunia ekonomi sebab keduanya berada dalam tingkat yang berlainan. Yang satu berada dalam dalam alam  ideal dari yang sepantasnya, sedangkan yang lainnya berada dalam alam yang ada yang nyata ini merupakan pengertian hukum. Berbeda pula dengan pengertian sosiologi bahwa hukum mempunyai hubungan yang erat satu sama lain yang berlaku secara empiris.
Hukum tidak akan dapat menyumbangkan banyak rasionalitas kepada masalah-masalah sosial, apabila hukum terisolasi dari dinamika kehidupan sosial serta dari apa yang diprihatinkan oleh rakyat. Meskipun demikian hukum dapat saja mengembangkan rasionalitasnya akan tetapi masyarakat akan berjalan sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri dan rasionalitas hukum tidak akan memberi dampak apa pun kepadanya; hukum akan kehilangan semua artinya secara sosial.
Hukum harus ada sifat responsif dimana hukum itu ada bukan demi hukum itu sendiri, juga tidak demi kepentingan apapun dari beragam pihak, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Hukum hanya dapat memiliki nilai karena hukum dapat menangani masalah-masalah sosial yang mendasar serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi rakyat. Hukum harus dapat menyediakan dua hal: pertama, jaminan prosedural untuk melindungi kepentingan-kepentingan rakyat yang vital seperti yang dipahami oleh mereka. Kedua, keterbukaan prosedural dalam bentuk saluran-saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan serta penanganannya secara hukum dan administratif.
Dalam perspektif sosiologi hukum untuk mengkaji apakah suatu bentuk peraturan telah mencerminkan kaidah-kaidah yang selaras dengan kepentingan rakyat, maka terdapat beberapa konsep sosiologi hukum, antara lain:
1.    Hukum berfungsi sebagai sarana social control (pengendalian sosial)
Hukum sebagai sosiol control: kepastian hukum, dalam artian UU yang dilakukan benar-benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik-konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat. Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
2.    Hukum berfungsi sebagai sarana social engineering
Hukum dapat bersifat social engineering: merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.
3.    Wibawa hukum
Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo , diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Dalam artian sebagai berikut :
•    Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
•    Norma-norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
•    Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
•    Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara itu
•    Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hukum yang berlaku

C.    KESIMPULAN

Dari uraian yang tertulis diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007  tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup  Dan Bidang Usaha Yang Terbuka  Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dari perspektif sosiologi hukum, antara lain:
1.    Menurut weber faktor yang mempengaruhi terhadap hukum yang baru terbentuk adalah kepentingan-kepentingan ekonomis baru yang sering kali merupakan sebab pertama yang telah mendorong pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari upaya-upaya hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya. Dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 ini mengarah kepada kepentingan ekonomi yang jauh lebih besar kepada kepentingan ekonomi asing yang tidak memperhatikan kepentingan nasional terutama kepentingan rakyat. Dimana sektor-sektor mengenai hajat hidup orang banyak diberi kesempatan seluas-luasnya bagi pihak asing dengan wujud kepemilikan modal 95% untuk sektor energi dan sumber daya mineral.
2.    Hukum tidak akan dapat menyumbangkan banyak rasionalitas kepada masalah-masalah sosial, apabila hukum terisolasi dari dinamika kehidupan sosial serta dari apa yang diprihatinkan oleh rakyat. Meskipun demikian hukum dapat saja mengembangkan rasionalitasnya akan tetapi masyarakat akan berjalan sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri dan rasionalitas hukum tidak akan memberi dampak apa pun kepadanya; hukum akan kehilangan semua artinya secara sosial. Dalam hal ini hukum yang diwujudkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 pun tidak dapat menyumbangkan rasionalitas kepada sosial. Karena produk hukum ini sangat sarat dengan kepentingan asing yang dilindungi bukannya kepentingan rakyat Indonesia.
3.    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tidak mencermati dan memasukkan hukum berfungsi sebagai sarana social control (pengendalian sosial). Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan.Wujud keadilan yang diharapakn tidak terwujud dalam bentuk alokasi kepemilikan modal.
4.    Hukum berfungsi sebagai sarana social engineering mempunyai arti hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern. Namun dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tidak diwujudkan maksud tersebut. Tergambarkan malah sebaliknya, bahwa pemerintah yang tidak berpikiran modern. Dimana negara yang modern ialah negara yang memperhatikan dan mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran sebesar-besar rakyat.
5.    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tidak menunjukkan wibawa hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Dan sangat menggelikan apabila Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga turut campur dalam mengurusi hal-hal yang menurut penulis sepele, contoh bidang usaha spa, ketangkasan, hotel melati, dst yang tercantum dalam peraturan ini. Mengapa hal-hal tersebut tidak diatur dalam peraturan Menteri yang memang tugasnya membantu Presiden.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

HUBUNGAN ANTARA KONSTITUSI DAN PROSES DEMOKRASI


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi) . Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam arti, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan yang menuju ke arah proses demokrasi.
Konstutusi mempunyai pengertian dalam arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.Sedangkan dalam arti sempit memiliki arti piagam dasar atau undang-undang dasar yang merupakan dokumen lengkap mengenai peraturan dasar Negara.Konstitusi memiliki sifat dan fungsi.
Konstitusi mempunyai tujuan dan kegunaan dalam pembentukannya. Konstitusi dibuat dengan tujuan mencapai tujuan dari sutu negara yang membuatnya kalau di Indonesia konstitusi dibuat untuk mencapai tujuan yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang sebagai dasar Negara Indonesia untuk menuju ke arah demokrasi Pancasila. Sedangkan selain mempunyai tujuan, konstitusi juga mempunyai kegunaan bagi penguasa sebagai alat mewujudkan cita-cita dari tujuan negara yang sesuai dengan kaedah negara pembuatnya .
Tampak bahwa begitu banyak tujuan, manfaat dan kegunaan konstitusi bagi suatu negara khususnya bagi Indonesia untuk mewujudkan suatu cita-cita luhur bangsa Indonesia maka konstitusi sangat dibutuhkan bagi Negara Indonesia yang dapat juga sebagai alat pencapai tujuan negara berdasarkan pada dasar negara yaitu Pancasila dan menuju pada kehidupan bernegara yang demokratis.
Dengan bertitik tolak pada uraian tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk mengangkat beberapa permasalahan diantaranya pengertian konstitusi, pengertian demokrasi dan hubungan antara konstitusi terhadap proses demokrasi.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian konstitusi?
2.    Apa pengertian demokrasi?
3.    Bagaimana hubungan antara konstitusi terhadap proses demokrasi?











BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konstitusi
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar .
Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar. Dalam arti sempit konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan  dasar negara .
Menurut EC Wade  konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut. Sedangkan menurut Carl Schmitt dari mazhab politik  adalah :
1.    Konstitusi dalam arti absolut, mencakup seluruh keadaan dan struktur dalam negara. Hal ini didasarkan bahwa negara adalah ikatan dari manusia yang mengorganisir dirinya dalam wilayah tertentu. Konstitusi menentukan segala bentuk kerja sama dalam organisasi negara. Sehingga konstitusi menentukan segala norma.
2.    Konstitusi dalam arti relatif, naskah konstitusi merupakan naskah penting yang sulit untuk diubah dan dengan sendirinya menjamin kepastian hukum. Konstitusi memuat hal-hal yang fundamental saja sehingga tidak absolut.
3.    Konstitusi dalam arti positif, konstitusi merupakan keputusan tertinggi dari pada rakyat.
4.    Konstitusi dalam arti ideal, konstitusi dapat menampung ide yang dicantumkan satu persatu sebagai isi konstitusi seperti pada konstitusi relatif.

Herman Heller membagi konstitusi dalam 3 tingkat:
1.    Konstitusi sebagai pengertian politik, mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa. Pengertian hukum menjadi sekunder, yang primer adalah bangunan masyarakat atau sering disebut political decision. Bangunan masyarakat sebagai hasil keputusan masyarakat.
2.    Konstitusi sebagai pengertian hukum, keputusan masyarakat dijadikan perumusan yang normatif, yang harus berlaku. Dari pengertian ini timbul aliran kodifikasi menghendaki hukum tertulis untuk terciptanya kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum.
3.    konstitusi sebagai peraturan hukum, peraturan hukum tertulis. Dengan demikian Undang-Undang Dasar adalah bagian dari konstitusi tertulis.
Konstitusi dalam praktik ketatanegaraan dapat diartikan sebagai undang-undang dasar suatu negara. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar 1945 beserta amamdemennya.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sebagian dari hukum dasar, yaitu khusus hukum dasar tertulis, yang di sampingnya masih ada hukum dasar tidak tertulis. Hukum dasar tertulis merupakan konstitusi. Hukum dasar tertulis ini terdiri atas pembukaan, batang tubuh, dan penjalasan, sebagai satu kesatuan organic yang masing-masing mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri.
Sifat-sifat hukum tertulis antara lain :
1.    Merupakan hukum yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun rakyat sebagai warga negara.
2.    Berisi norma-norma, aturan atau ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan.
3.    Merupakan perudangan-undangan yang tertinggi dan berfungsi sebagai alat control terhadap norma-norma hukum yang lebih rendah.
4.    Memuat aturan-aturan pokok yang bersifat singkat dan supel serta memuat hak asasi manusia, sehingga dapat memenuhi tuntutan zaman.
Hukum dasar tidak tertulis disebut dengan istilah konvensi, mempunyai syarat-syarat yang disebut dengan cirri-cirinya yaitu :
1.    Kebiasaan yang terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,
2.    Berjalan sejajar dengan Undang-Undang Dasar, sehingga tidak bertentangan.
3.    Merupakan aturan-aturan dasar sebagai pelengkap yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
4.    Diterima oleh rakyat, sehingga tidak bertentangan dengan kehendak rakyat.
Pada umumnya hukum bertujuan untuk mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama dengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:   
1. Berbagai lembaga-lembaga kenegaraan dengan wewenang dan tugasnya masing-masing.
2. Hubungan antar lembaga negara   
3. Hubungan antar lembaga negara (pemerintah) dengan warga negara (rakyat).   
4. Adanya jaminan atas hak asasi manusia   
5. Hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan jaman.
Semakin banyak pasal-pasal yang terdapat di dalam suatu konstitusi tidak menjamin bahwa konstitusi tersebut baik. Di dalam prakteknya, banyak negara yang memiliki lembaga-lembaga yang tidak tercantum di dalam konstitusi namun memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan lembaga-lembaga yang terdapat di dalam konstitusi. Bahkan terdapat hak-hak asasi manusia yang diatur diluar konstitusi mendapat perlindungan lebih baik dibandingkan dengan yang diatur di dalam konstitusi.
Hampir semua negara memiliki kostitusi, namun antara negara satu dengan negara lainnya tentu memiliki perbedaan dan persamaan. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya. Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
1.    Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and unwritten constitution)
2.    Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)   
Konstitusi fleksibelitas merupakan konstitusi yang memiliki ciri-ciri pokok:
a.  Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah.
b. Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang.
3.    Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution).   
Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
4.    Konstitusi negara serikat dan negara kesatuan (Federal and Unitary Constitution)   
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
5.    Konstitusi pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution).   
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
a.    Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan.
b.    Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.
c.    Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Dengan ciri-ciri konstitusi yang disebutkan oleh Wheare ”Konstitusi pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer (president executive and parliamentary executive constitution)”, oleh Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak termasuk kedalam golongan konstitusi pemerintahan presidensial maupun pemerintahan parlementer . Hal ini dikarenakan di dalam tubuh UUD 1945 mengandung ciri-ciri pemerintahan presidensial dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri Soemantri di Indonesia menganut sistem konstitusi campuran .
B.    Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut .
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Demokrasi terbagi dalam dua jenis: demokrasi bersifat langsung dan demokrasi bersifat representatip .   
Demokrasi bersifat langsung / Direct Democracy.    
Demokrasi langsung juga dikenal sebagai demokrasi bersih. Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera didalam satu pertemuan.    
Jenis demokrasi ini dapat dipraktekkan hanya dalam kota kecil dan komunitas yang secara relatip belum berkembang, dimana secara fisik memungkinkan untuk seluruh electorate untuk bermusyawarah dalam satu tempat, walaupun permasalahan pemerintahan tersebut bersifat kecil.    
Demokrasi langsung berkembang di negara kecil Yunani kuno dan Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan didalam masyarakat yang komplek dan negara yang besar. demokrasi murni yang masih bisa diambil contoh terdapat diwilayah Switzerland.
Mengubah bentuk demokrasi murni ini masih berlaku di Switzerland dan beberapa negara yang didalamnya terdapat bentuk referendum dan inisiatip. Dibeberapa negara sangat memungkinkan bagi rakyat untuk memulai dan mengadopsi hukum, bahkan untuk mengamandemengkan konstitusional dan menetapkan permasalahan public politik secara langsung tampa campur tangan representative.   


Demokrasi bersifat representatip / Representative Democracy   
Didalam negara yang besar dan modern demokrasi tidak bisa berjalan sukses. Oleh karena itu, untuk menanggulangi masalah ini diperlukan sistem demokrasi secara representatip. Para representatip inilah yang akan menjalankan atau menyampaikan semua aspirasi rakyat didalam pertemuan. Dimana mereka dipilih oleh rakyat dan berkemungkinan berpihak kepada rakyat.    
Sistem ini berbasis atas ide, dimana rakyat tidak secara langsung hadir dalam menyampaikan aspirasi mereka, namun mereka menyampaikan atau menyarankan saran mereka melaui wakil atau representatip. Bagaimanapun, didalam bentuk pemerintahan ini wewenang disangka benar terletak ditangan rakyat, akan tetapi semuanya dipraktekkan oleh para representatip.
Bentuk dan Kelebihan Sistem Demokrasi
Dalam sejarah terdapat sedikitnya tiga bentuk demokrasi yang pernah dicoba: demokrasi langsung (direct democracy/assembly democracy), demokrasi perwakilan (representative democracy), demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy). Berikut ini adalah gambaran singkat tentang bentuk-bentuk demokrasi tersebut :
1. Demokrasi Langsung
- Praktik demokrasi paling tua; praktik demokrasi pada asosiasi yang berukuran kecil
- Berdasarkan pada partisipasi langsung, tanpa perwakilan dan terus menerus dari warga dewasa dalam membuat dan melaksankan keputusan bersama
- Tidak terdapat batas yang tegas antara pemerintah dan yang diperintah semacam system self government  pemerintah dan yang diperintah adalah orang yang sama
2. Demokrasi Perwakilan
- Praktik demokrasi yang datang lebih belakangan sebagai jawaban terhadap beberapa kelemahan demokrasi langsung; parktik demokrasi pada asosiasi yang berukuran besar seperti negara
- Berdasarkan pada partisipasi yang terbatas partisipasi warga hanya dalam waktu yang singkat dan hanya dilakukan beberapa kali dalam kurun waktu tertentu seperti dalam bentuk keikutsertaan dalam pemilihan umum
- Berdasarkan pada partisipasi yang tidak langsung masyarakat tidak mengoperasikan kekuasaan sendiri tapi memilih wakil yang akan membuat kebijakan atas nama masyarakat.
- Pemerintah dan yang diperintah terpisah secara tegas, demokratis tidaknya demokrasi. Bentuk ini tergantung pada kemampauan para wakil yang dipilih membangun dan mempertahankan hubungan yang efektif antara pemerintah dan yang diperintah.
c. Demokrasi Permusyawaratan
- Bentuk demokrasi paling kontemporer; dipraktikan pada masyarakat yang kompleks dan berukuran besar adalah bentuk demokrasi yang menggabungkan aspek partisipasi langsung dan bentuk demokrasi perwakilan.
- Memberikan tekanan yang berbeda dalam memahami makna kedaulatan rakyat. Kedaulatan berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam membicarakan, mendiskusikan dan mendebatkan isu-isu bersama atau dalam menentukan apa yang pantas dianggap isu bersama. Demokratis setidaknya sebuah kebijakan tergantung pada apakah kebijakan tersebut sudah melalui proses pembicaraan, diskusi dan perdebatan (permusyawaratan) yang melibatkan masyarakat luas
- Ada pemisahan yang tegas antara pemerintah dan yang diperintah. Tapi pemisahan yang lebih penting adalah antara negara dan masyarakat sipil. negara merupakan tempat menggodok dan melaksanakan kebijakan. Masyarakat sipil merupakan tempat berlangsungnya “permusyawaratan”.
- Selain itu ada juga pemisahan antara wilayah publik dan wilayah privat. Wilayah publik adalah wilayah “permusyawaratan; wilayah privat adalah wilayah tenpat seseorang memikirkan apa isu yang penting dan kenapa isu itu perlu dibicarakan, didiskusikan dan didebatkan secara publik.

C.    Hubungan Antara Konstitusi Terhadap Proses Demokrasi
Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan negara kita, semua konstitusi yang pernah berlaku menganut prinsip demokrasi. Hal ini dapat dilihat misalnya:   
1. Dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
2. Dalam UUD 1945 (setelah diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
3. Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat, Pasal 1:   
a. Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”.   
b. Ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat”.   
4. Dalam UUDS 1950 pasal 1:   
a. Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.   
b. Ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan rakyat”.
Demokrasi harus diatur atau dipagari dalam dasar-dasar aturan permainan politik, yakni konstitusi sebagai hukum tertinggi agar demokrasi tidak gagal karena bergeser menjadi anarki. Adapun konstitusi harus dibuat melalui proses dan substansi demokrasi. Yang diperlukan adalah demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan hukum berkeadilan yang dijalankan menurut kesepakatan-kesepakatan dalam konstitusi. Dengan demikian, konstitusi harus menjadi tolok ukur dan penjaga pembangunan demokrasi . Abbe Sieyes Emmanuel Joseph Sieyes atau lebih dikenal dengan Abbe de Sieyes, ilmuwan dan ahli pikir hebat kelahiran Prancis yang berkontribusi besar dalam mendesain politik ketatanegaraan Prancis, pernah berkata,“Konstitusi sebagai hukum tertinggi berisi kewajiban-kewajiban untuk dipatuhi dan dilaksanakan, jika tidak ia tidak akan berarti apa pun.”
Tidak akan ada demokrasi tanpa ada hukum yang tegak dan sebaliknya. Artinya, kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya, begitu juga sebaliknya. Ini menunjukkan, prinsip hukum dan demokrasi secara historis terlahir sebagai satu paket yang tak terpisahkan. Penghormatan terhadap hukum adalah inti dari supremasi hukum sekaligus menjadi ciri dari negara hukum. Dengan kata lain, dalam sebuah negara hukum, seluruh permasalahan harus diselesaikan dengan memosisikan hukum sebagai pedoman tertinggi.Adapun untuk pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam proses tersebut, hukum juga menyediakan mekanismenya sendiri, bukan melalui cara-cara yang melecehkan hukum.
Konstitusi kita, UUD 1945 jelas-jelas menganut dua prinsip itu sekaligus, demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum). Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sementara ayat (3) menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Konstitusi berposisi sebagai hukum tertinggi. Konstitusi sebagai hukum tertinggi menisbatkan bahwa semua produk hukum di negara ini tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, apalagi melanggarnya.
Beberapa karakteristik yang harus ditampilkan dari warga negara yang berkarakter dan berjiwa demokratis, yaitu; memilki sikap rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional, adil, dan selalu bersikap jujur. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional, yaitu menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law), ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making), mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif (content of law), ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law).
Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani dapat berkembang secara wajar. Pemilu merupakan simbol bagi pelaksanaan demokrasi. Masyarakat madani merupakan elemen yang signifikan dalam membangun demokrasi. Salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya dan toleran antara satu dengan lainnya. Masyarakat madani dan demokrasi menurut Ernest Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi.   
Inu Kencana Syafiie merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut, yaitu; adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan kebijaksanaan negara dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah.
Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek. Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. Keempat, masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.   





BAB III 

PENUTUP

Konstutusi mempunyai pengertian dalam arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar/ hukum dasar.Sedangkan dalam arti sempit memiliki arti piagam dasar atau undang-undang dasar yang merupakan dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Konstitusi memiliki sifat dan fungsi. Konstitusi mempunyai tujuan dan kegunaan dalam pembentukannya.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi harus diatur atau dipagari dalam dasar-dasar aturan permainan politik, yakni konstitusi sebagai hukum tertinggi agar demokrasi tidak gagal karena bergeser menjadi anarki. Adapun konstitusi harus dibuat melalui proses dan substansi demokrasi. Yang diperlukan adalah demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan hukum berkeadilan yang dijalankan menurut kesepakatan-kesepakatan dalam konstitusi. Dengan demikian, konstitusi harus menjadi tolok ukur dan penjaga pembangunan demokrasi










DAFTAR PUSTAKA

“Makalah Negara dan Konstitusi”, www.google.com, 08 Januari 2012
“Makalah Negara dan Konstitusi”, http://rafpananadp.wordpress.com/2011/03/12/makalah-negara-dan-konstitusi/, 08 Januari 2012
“Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam Dengan Sistem Demokrasi”, www.google.com, 08 Januari 2012
“Jenis-Jenis Demokrasi”, www.google.com, 08 Januari 2012
“Menjaga Konstitusi Membangun Demokrasi”, www.google.com, 09 Januari 2012
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Permasalahan

Pemberantasan korupsi telah lama dilakukan dengan berbagai upaya untuk memberantasnya telah ditempuh dengan perubahan peraturan perundang-undangan dibidang korupsi, menempatkan korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun hingga saat ini belum juga memperoleh hasil yang memadai karena jumlah kasus korupsi tidaklah berkurang serta pengembalian kerugian negara belum juga optimal dilakukan sehingga tetap saja korupsi di Indonesia masih merajalela dengan berbagai bentuk dan modus operandinya.
Upaya untuk membuat “corruption doesn’t pay” telah dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam atmosfir proses pembentukan dan penegakan hukum (law making process and law enforcement process) di Indonesia (Romli Atmasasmita: 2003). Terlebih lagi dengan adanya kecenderungan semakin tidak terkendalinya tindak pidana korupsi dalam orde sekarang ini, sehingga upaya pengungkapan maupun pembuktiannya di pengadilan masih jauh dari harapan. Diperparah lagi dengan adanya sinyalemen bahwa berbagai oknum profesional tertentu (akuntan, financial analyst, lawyer dan notaris) kerap memberikan jasa menghapus jejak-jejak white collar crime itu. Belum lagi economic power dan bureaucratic power yang membuat para koruptor beyond the law (Indriyanto Seno Adji: 2006), semakin memupus harapan terlaksananya penegakan hukum secara adil. Sementara itu, suatu penelitian di India menunjukkan differential association theory dari Sutherland, telah terbukti dari sisi lain, yaitu meningkatnya korupsi karena “meneladani” kesuksesan ekonomi para koruptor (Gaur: 2002). “Criminal behavior is not invented but learned”, termasuk menyebabkan sementara orang menjadi “berkeinginan” korupsi karena belajar dari kesuksesan ekonomi para koruptor. Oleh karena itu, “pencegahan” dan “penanggulangan” tindak pidana korupsi, yang keduanya dapat diadopsi dalam istilah “pemberantasan” (Bagir Manan: 2005), bukan hanya diarahkan pada penanganan perkaranya, berupa penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan, melainkan juga diupayakan untuk “menghalangi” ataupun “menutup kemungkinan” para koruptor menikmati hasil kejahatannya. Tanpa mengembangkan sikap antipati kepada korupsi, termasuk untuk membuatnya “tidak menarik” atau “tidak menguntungkan” untuk dilakukan, dan mensinergikan hal itu dalam kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan, tidak akan membuat efek tangkal hukum korupsi membaik. Diantaranya yang mungkin untuk itu adalah membangun mekanisme pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.
Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga kwalitas : “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi .
Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengungkapkan aspek hukum pengembalian kerugian keuangan negara

B.    Rumusan Masalah
1.    Aspek hukum pengembalian kerugian keuangan negara









BAB II

PEMBAHASAN

Kebiasaan memberikan sesuatu untuk mencapai kepentingan baik pribadi/kelompok menjadi suatu hal yang wajar, dahulu disebut dengan pemberian atau ”upeti”. Fenomena demikian berkembang sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri/ kelompoknya, sehingga termasuk delik pidana. Biasanya korupsi dilakukan berjamaah, diam-diam, terselubung dan bahkan terorganisir, sehingga tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi digolongkan sebagai kejahatan extraordinary crimes. Maka diperlukan upaya pemberantasannya juga secara luar biasa.
Salah satu contohnya kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana didasarkan atas kebijakan Pemerintah akibat adanya krisis moneter tahun 1997/1998 dengan tujuan untuk memulihkan/menyelamatkan stabilitas perekonomian negara. Namun belakangan dana tersebut justru diselewengkan, artinya tidak dipergunakan sesuai tujuan, tetapi sebaliknya, dana tersebut tidak dikembalikan ke negara dalam tempo yang ditentukan, malah dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (dengan melibatkan para pejabat negara), untuk itu negara telah dirugikan, akibatnya goncangan perekonomian bangsa bertambah hebat.
Kasus tersebut tidak dapat diselesaikan melalui KUHP. Karena KUHP sebagai hukum positif, tidak mengakomodir tindak pidana korupsi, untuk itu harus diselesaikan melalui ketentuan hukum di luar KUHP.   
Secara umum penanggulangan kejahatan, dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, Pertama, dengan cara penerapan hukum pidana/penal (criminal law aflication) kedua, dengan cara tanpa pidana/ non penal (prevention without punishment) dan ketiga, campuran antara penal dan non penal.
Pembaharuan Undang-Undang kembali dilakukan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang baru ini memuat beberapa pembaharuan hukum yang luar biasa, antara lain pemanfaatan aspek perdata dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di samping memuat secara tegas tentang pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil. Maka menurut penulis pilihan cara tersebut dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus BLBI, dengan tidak mengabaikan asas ultimum remedium.
Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime dan julukan lain yang menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan layak.
Bahkan pernah tercetus ide untuk memperluas rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Korupsi, sehingga mencakup tiga kelompok (yang ada sekarang hanya dua kelompok), yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana setelah terjadi korupsi. Hal yang tersebut terakhir ini adalah penarikan money laundering menjadi tindak pidana korupsi dan kriminalisasi bentuk-bentuk pembantuan setelah tindak pidana korupsi terjadi (Barda N. Arief: 2001).   
Upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP). Bagi tindak pidana korupsi, hal ini dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannnya (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Namun demikian, seluruh ketentuan di atas belum benar-benar membuat corruption doesn’t pay, mengingat umumnya hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Dengan bantuan tekonologi informasi hasil-hasil kejahatan korupsi rupanya mendapat sentuhan “modernisasi’, yaitu ditempatkan didalam yurisdiksi hukum dari negara lain. Ternyata kejahatan pun mengalami modernisasi. Modernisasi yang menggambarkan adanya seluruh jenis perubahan sosial (Sztompka, 2004), ternyata juga termasuk perubahan dalam arti “kemajuan” dalam bidang kejahatan. “Modernitas adalah globalisasi”, ternyata juga sangat diperhatikan oleh pelaku kriminal. Aset hasil korupsi dapat saja disembunyikan di luar negeri sehingga sulit dilacak, dibekukan, disita, apalagi ditarik kembali ke dalam negeri. Modernisasi atau globalisasi ternyata menjadi faktor kriminogen (Muladi: 2002), yaitu pendorong terjadi transnational crime. Memang umumnya para ahli sepakat bahwa korupsi bukan lagi semata-mata masalah lokal (domestik) suatu negara, melainkan telah menjadi masalah global, masalah bagi keseluruhan masyarakat dunia tanpa terkecuali.
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No 1 Tahun 2004). Unsur-unsur kerugian negara/daerah
-    Kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya;
-    Perbuatan melawan hukum;
-    Kausalitas perbuatan melawan hukum dengan kekurangan yang terjadi;
-    Subjek penanggungjawab kerugian.
Mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu Badan Pemeriksaan Kekuasaan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan hasil audit Badan Pemeriksaan Kekuasaan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit Badan Pemeriksaan Kekuasaan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ini sudah mengarah pada audit adanya “melawan hukum” yang bukan merupakan “zona wewenangnya”. Kewenangan Badan Pengawas Keuangan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dalam melakukan audit adalah dalam zona accounting, sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan penyidik dan penuntut umum .
Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”, konstruksi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 harus dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Pengembalian kerugian negara setelah hasil pemeriksaan yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan tidak serta merta Badan Pengawas Keuangan tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya kerugian negara oleh Badan Pengawas Keuangan dari hasil audit yang dilakukannya harus dilaporkan kepada instansi yang berwenang (Kejaksaan dan POLRI) untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak.
Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”. Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana . Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit Badan Pengawas Keuangan harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang penyidik, yang mana secara “dominis litis” eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan .
Kaitan antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang menjadi inti definisi tentang korupsi, baik yang dipahami oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional, baik itu lembaga seperti International Monetary Found (IMF) maupun Transparancy International (TI). United Nations Convention Against Corruption, 2003 (selanjutnya disingkat UNCAC) di antaranya juga mengaitkan korupsi dengan kekuasaan, yang disebut dengan “pejabat publik” (public official). Pejabat publik dimaksud sebagaimana disebut dalam Article 2 meliputi  :
1.    Orang-orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif, administratif atau kehakiman dari suatu negara peserta, baik ditunjuk atau dipilih, tetap atau sementara, dibayar atau tidak, tanpa melihat senioritas orang tersebut;
2.    Orang-orang yang menjalankan fungsi publik, termasuk lembaga publik atau perusahaan publik, atau memberikan layanan publik seperti ditentukan dalam peraturan perundang-undangan negara peserta dan diterapkan dalam area yang berhubungan dengan hukum negara peserta;
3.    Orang-orang yang ditentukan sebagai “pejabat publik” dalam peraturan perundang-undangan negara peserta. Bagaimanapun juga, untuk tujuan orang-orang yang menjalankan fungsi publik atau layanan publik seperti ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara peserta dan seperti yang diterapkan dalam area yang berhubungan dengan hukum negara peserta.
4.    Hubungan antara korupsi dan “pejabat publik” tersebut, dalam UNCAC dikenal konsep “illicit enrichment” (memperkaya secara tidak sah), seperti diatur dalam Article 20 UNCAC. Illicit enrichment atau memperkaya secara tidak sah tersebut diartikan sebagai “a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income” (suatu peningkatan yang signifikan atau berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitannya dengan pendapatannya yang sah).
Esensi pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya ada 2 (dua) hal yang paling pokok, yaitu: sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif tersebut terkait dengan adanya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi, harapannya masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah represif meliputi pemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan sekaligus mengupayakan semaksimal mungkin kerugian negara yang telah dikorupsi bisa kembali. Hal tersebut bisa dikaji dalam dalam UU PTPK yang menentukan adanya langkah keperdataan kepada pelaku atau ahli warisnya jika tidak diketemukan cukup bukti (Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 UU PTPK).
Di samping itu ditentukan pula putusan bebas tidak menghalangi bagi negara untuk mengajukan gugatan keperdataan kepada pelaku atau ahli warisnya, dan apabila ada barang atau benda yang belum dilakukan penyitaan maka jaksa sebagai pengacara negara dapat melakukan tuntutan penyitaan atas barang atau benda tersebut (Pasal 38 UU PTPK) .
Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UU PTPK  mengetengahkan konsep “upaya pengembalian kerugian keuangan negara”. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan kerugian keuangan negara.
UU PTPK  mengatur 6 (enam) hal dalam kaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara, terdiri dari 5 (lima) meliputi gugatan perdata dan 1 (satu) melalui pidana tambahan, yaitu :
1.    Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara yang nyata disebabkan setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup bukti, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU PTPK;
2.    Gugatan perdata disebabkan karena adanya putusan bebas sedangkan secara nyata ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU PTPK;
3.    Gugatan perdata dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 33 UU PTPK;
4.    Gugatan perdata dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 34 UU PTPK;
5.    Gugatan perdata terhadap tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih terdapat harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, seperti diatur dalam Pasal 38 C UU PTPK;
6.    Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK.
Pengaturan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi menandai bahwa norma-norma hukum pidana saja tidak cukup memadai untuk pengembalian kerugian keuangan negara, setidak-tidaknya dalam keadaan-keadaan tertentu. Apabila UU PTPK  dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan pidana, maka diaturnya upaya gugatan perdata dalam undang-undang tersebut menunjukkan pula bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat sekaligus mengandung aspek hukum pidana maupun perdata, bahkan juga hukum administrasi.
Proses pengembalian kerugian keuangan negara yang di satu sisi menjadi bagian dari pemeriksaan perkara pidananya (dalam hal pidana tambahan) dan di sisi lain terpisah dari pemeriksaan perkara pidananya tentu potensial memunculkan problem tersendiri. Problem tersebut di samping terkait dengan persoalan prosedural juga persoalan substansial gugatan, yang pada akhirnya berujung pada soal berhasil tidaknya upaya hukum tersebut. Ketidakberhasilan gugatan bukan saja menyangkut persoalan kegagalan upaya pengembalian kerugian negara, namun juga terjadinya inefisiensi proses peradilan perkara korupsi.
Gugatan perdata dalam rangka pengembalian kerugian negara akibat suatu tindak pidana korupsi dengan demikian menjadi sangat problematis dalam kerangka penegakan UU PTPK. Ironis apabila suatu peristiwa hukum yang memungkinkan diwujudkannya suatu ketentuan ternyata gagal akibat bangunan konsepnya kurang tepat.
Bergantung pada ketepatan pijakan filsafat hukum maupun teoritisnya sebagai  upaya menemukan  kembali filsafat hukum dan teori hukumnya yang tepat sebagai pijakan konsep tersebut. Tidak kalah penting juga asas yang merupakan ratio legis dari peraturan hukum tersebut. Hukum pidana memiliki tujuan sendiri yang berbeda dengan hukum perdata, baik menyangkut aspek hukum materiil atau substantif maupun aspek hukum formil atau acara.   Aturan-aturan hukum pidana termasuk UU PTPK lebih jauh  memiliki kepentingan tersendiri yang hendak dilindungi, yang secara umum berbeda pula dengan kepentingan yang hendak dilindungi oleh aturan-aturan hukum perdata.













BAB III

PENUTUP

Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk dapat mengupayakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, bukan hanya memerlukan penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana (korupsi), tetapi juga bidang hukum lain seperti hukum perdata dan administrasi negara, termasuk hukum acaranya.
Esensi pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya ada 2 (dua) hal yang paling pokok, yaitu: sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif tersebut terkait dengan adanya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi, harapannya masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah represif meliputi pemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan sekaligus mengupayakan semaksimal mungkin kerugian negara yang telah dikorupsi bisa kembali
Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.














DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta: FH UII Press, 2005.
Barda N. Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Erman Rajagukguk, Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: Prof. Seno Adji & Rekan, 2006.
K. D. Gaur (ed.), Criminal Law & Criminology, Deep& Deep Publication, 2002.
 “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”, Makalah ini disampaikan pada RAKERNAS APPSI di Pontianak, Kalimantan Barat, tanggal 9 Juli 2007
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002.
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Unair, Surabaya, 2006.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada Media, 2003.


“Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian I)”, www.google.com, diakses tanggal 03 Januari 2012


Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

TIPE NEGARA WELFARE STATE

    BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pada rana kenegaraan yang perlu kita ketahui adalah bagaimana menjadikan masyarakat sejahtera dan makmur, tanpa melepaskan sendi-sendi keutamaan sebuah negara itu berdiri. Negara  hukum dan pemerintahan yang demokrasi semua itu adalah persyaratan yang urgen dalam sebuah pembangunan negara dan menjadikan negara itu jelas dari tipe sejarah maupun dari kacamata hukum.
Seperti yang diteorikan oleh George Jellinek dan Jean Bodin bahwa negara itu berdaulat yang dimana hukum ada karena adanya negara dan tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Dari teori tersebut kita bisa mengulas sebuah konsep bahwa negara itu adalah sistem yang betul-betul berkuasa terhadap kehidupan seluruh yang ada didalamnya demi mensejahterahkan rakyatnya .
Tema kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik lebih banyak retorika politik yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini perlu menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare state in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare state (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare state (1958).
Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau kebersarnaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong .
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengungkapkan pemahaman konsep negara welfare state

B.    Rumusan Masalah
1.    Pemahaman konsep negara welfare state









BAB II

PEMBAHASAN

Dalam pandangan teori klasik tentang negara, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, mencakup lima hal . Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya, misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan mengurus barang-barang publik dan warga. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar fungsi pelayanan publik berjalan secara efektif dan profesional. Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomidan membuka lapangan kerja bagi warga. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga.
Kelima peran klasik negara itu dapat terlaksana dalam situasi “normal” dimana negara mempunyai kekuasaan politik yang besar dan mempunyai basis materi (ekonomi) yang memadai. Negara menjadi pelaku tunggal yang menjalankan peran mengumpulkan basis material sampai dengan membagi material itu kepada rakyat. Dalam mencapai kesejahteraan, dibutuhkan peran “normal” negara untuk menciptakan pembangunan yang seimbang (balanced development), yaitu keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial.
Melihat konsep negara sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat, maka muncullah konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya pertama kali muncul di Inggris dengan ditandatanganinya Undang-Undang Kemiskinan (the poor relief act) pada tahun 1598 (diamandemen beberapa kali) dilanjutkan pada saat dimulainya upaya rekonstruksi sosial dan ekonomi pasca Perang Dunia I dan II (1940an).   
Perkembangan welfare state (negara kesejahteraan) sebetulnya dimulai sejak Bapak Sosialisme Demokrat Jean Jacques Rousseau, menerbitkan Discours sur l’original et Fondament de l’Inegality parmi les Hommes pada tahun 1775, yang mendahului terbitnya karya Adam Smith The Wealth Nation 1776 yang mendasari pengembangan model kapitalisme dan karya Karl Marx Das Capital 1848 yang mendasari Komunisme. Jean Jacques Rousseau melontarkan diskursus tentang penyebab ketimpangan sosial yang dialami manusia
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik (Spicker, 1995). Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis .
Dalam paham demokrasi sosial (social democracy), negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dam kapitalisme terus berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kehidupan umat manusia melalui arus globalisasi yang terus meningkat, tetapi aspirasi ke arah sosialisme baru di seluruh dunia juga berkembang sebagai penyeimbang. Oleh karena itu, konsep welfare state merupakan keniscayaan dinamis yang terus mengikuti situasi dan perkembangan masyarakat. Demikian pula pengaruh globalisasi yang menciptakan adanya modifikasi terhadap konsep negara kesejahteraan (Jimly Asshiddiqe, 2006).
Negara Kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak warga negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik dan hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi. Hal sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dupenuhi pada abad ke-18, hak politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20. Negara Kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikan hak setiap warga sebagai ”alasan utama” kebijakan sebuah negara. Negara dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai ’penganugerahan hak-hak sosial’ kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasar atas dasar kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas .
Negara berperan lebih besar dalam menjamin kesejahteraan sosial secara terencana, melembaga, dan berkesinambungan. Konsep ini mencapai puncaknya di era “golden age” pasca Perang Dunia II. Faktor utama pendorong berkembangnya negara kesejahteraan menurut Pierson adalah industrialisasi yang membawa perubahan dramatis dalam tatanan tradisional penyediaan kesejahteraan dan ikatan keluarga, seperti akselerasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan populasi penduduk, munculnya pembagian kerja (divison of labour), perubahan pola kehidupan keluarga dan komunitas, maraknya pengangguran siklikal, terciptanya kelas pekerja nirlahan (landless working class) beserta potensi mobilisasi politis mereka. Perkembangan negara kesejahteraan ini mengalami penyesuaian dengan kondisi di masing-masing negara. Kini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yaitu :
1.      Model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
2.      Model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
3.      Model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
4.      Model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu menggiur.
Konsep negara kesejahteraan memang lahir dari rahim liberalisme, terutama liberalisme modern yang menganggap negara harus turut bertanggung jawab atas rakyatnya, tidak hanya sebagai penjaga malam seperti yang dipahami aliran liberalisme klasik. Namun, cita-cita akan adanya negara kesejahteraan nampaknya hadir pula dalam benak sosialis seperti Sjahrir. Bagi Sjahrir, negara kesejahteraan akan dapat mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, stabilitas sosial,  inklusi sosial dan efisiensi ekonomi. Secara ideologis, cita-cita Sjahrir merupakan bentuk peralihan antara kapitalisme laissez-faire menuju sosialisme sehingga konsekuensi yang paling mungkin adalah bentuk negara kesejahteraan, Universalist Welfare State, yaitu rezim kesejahteraan sosial demokrat dengan jaminan sosial universal dan kelompok target yang luas, serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif .
Kesejahteraan negara atau welfare state, baik sebagai konsep maupun model pembangunan kesejahteraan, memiliki wajah yang beragam. Ia tidak vakum, melainkan dinamis mengikuti denyut perubahan dan tuntutan masyarakat di negara yang bersangkutan . Kesejahteraan negara tidaklah mati sebagaimana dimitoskan banyak orang. Ia juga tidak hanya milik negara-negara maju secara ekonomi. Dengan political will, komitmen dan visi yang jelas mengenai investasi sosial dan manusia, negara-negara berkembang mampu menjalankan pendekatan pembangunan kesejahteraan ini.
Kata ‘negara’ pada ‘kesejahteraan negara’ tidak berarti bahwa sistem ini hanya melibatkan negara saja. Sebagaimana dipraktekkan di banyak negara, sistem ini juga melibatkan civil society, organisasi-organisasi sukarela dan perusahaan swasta. Dengan konsep welfare pluralism seperti ini, jenis-jenis pelayanan dan bahkan sistem pengorganisasiannya bisa dilakukan secara terdesentralisasi sesuai dengan karakteristik dan keperluan masyarakat setempat. Yang terpenting, framework dan substansi dari pendekatan itu tetap sejalan dengan ruh kesejahteraan negara yang menekankan pentingnya perlindungan sosial sebagai hak warga negara.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan negara dalam hal ini pemerintah amat strategis dan penting dalam melayani dan mendampingi masyarakat dalam mengelola dan memberdayakan potensi bangsa yang sudah merdeka ini. Kehadiran sebuah kedaulatan rakyat dalam negara merdeka tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak ada pemerintah dengan pejabat pemerintahan sebagai instrumen dalam mengelola potensi bangsa untuk menjaga kedaulatan tersebut. Negara yang berdaulat tidak memiliki kewibawaan di hadapan bangsa lain apabila potensi negara tidak mampu diurus dan dikelola secara baik dan benar oleh pemerintah. Sebaliknya, kehadiran dan keberadaan sebuah pemerintah (Government) dalam sebuah negara yang merdeka tidak memiliki makna apabila pemerintah tersebut tidak memiliki dukungan dan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang memiliki dukungan dan relasi yang baik dari rakyat (society) .
Di setiap penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) sepakat membangun negara kesejahteraan merujuk konsep orisinal, yang semula berkembang di Eropa Barat (Inggris dan Jerman) dan negara-negara Skandinavia (Finlandia, Swedia, Norwegia). Jika memiliki kesamaan cita-cita membangun negara kesejahteraan, namun dalam banyak hal yang amat fundamental pihak legislatif sering berseberangan dengan eksekutif, terutama berkenaan dengan policy prescriptions, dalam membangun perekonomian negara .
Dalam rangka menata dan menjaga hubungan baik antara negara dan rakyat maka diperlukan sebuah norma dan hukum. Hukum atau norma yang mengatur substansi hubungan publik dan negara lebih dikenal dengan hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara menjadi landasan kerja bagi administrasi negara, yang mengemban tugas servis publik. Kecenderungan penyimpangan oleh pemerintah dan mengharapkan ketaatan serta kepatuhan dari rakyat menjadi alasan adanya norma atau hukum yang mengatur hubungan di antara keduanya. Artinya, sebagai negara hukum, maka Indonesia harus mampu menghadirkan instrumen hukum yang mengatur hubungan antara warga dan negara.
Setidaknya ada 2 (dua) hal yang melatarbelakangi pentingnya hukum yang mengatur hubungan warga dan negara. Pertama, hukum dan norma amat penting sebagai kontrol yuridis dari warga kepada pemerintah yang diwakili pejabat pemerintahan yang sedang melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam konteks demokratisasi dalam sebuah bangsa yang merdeka, maka pilar hukum menjadi amat penting sebagai check and balances bagi pemerintah.
Adanya kebijakan publik dari negara yang diperankan oleh pejabat pemerintah sebagai konsekuensi dari perwujudan negara kesejahteraan yang menjadi platform negara Indonesia. Bahkan konsep welfare state tersebut di dalam perundang-undangan kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah ”negara pengurus” . Dalam pengertian dasarnya, ”negara kesejahteraan” merupakan sebuah konsepsi, paradigma dan kerangka aksi tentang pemerintahan di mana sektor negara menjalankan peran kunci di dalam hal memberikan proteksi dan atau melakukan promosi kesejahteraan bagi setiap warga negara. Konsepsi ini secara jelas menempatkan negara dalam hal ini pejabat pemerintahan wajib melaksanakan agenda yang berbasis kepada kesejahteraan bagi publik. Dalam menyusun dan merealisasikan agenda kesejahteraan tersebut, pejabat pemerintah menerbitkan berbagai macam regulasi dan kebijakan.
Esensi dari negara kesejahteraan untuk memberikan pelayanan yang mensejahterakan bagi publik tidak serta merta berjalan dalam koridor idealitas yang sesungguhnya. Dalam situasi negara belum maksimal melaksanakan mandat untuk mensejahterakan kondisi rakyat, maka hal itu harus dipahami bahwa salah satu dari wajah buruk dari konsepsi negara kesejahteraan adalah munculnya rezim korup dan otoriter yang tampil dengan wajah seorang budiman. Dalam hal ini, pemerintah menampilkan berbagai macam data dan pertanggung jawaban formil atas upaya peningkatan kesejahteraan. Namun di sisi lain, secara riil tindakan pemerintah sesungguhnya banyak yang menyimpang dan dikelola secara otoriter dan koruptif. Negara kesejahteraan yang mencitakan pelayanan terbaik baik publik tetap menyisakan potensi pemerintahan yang korup dan menyimpang. Potensi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah amat besar, mengingat semua kendali pembangunan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan kebijakan dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang berbeda ketika sebuah negara memilih haluan atau sistem Kapitalisme atau Liberalisme yang pada dasarnya menihilkan peran negara dalam pengeloaan pembangunan . Pada posisi negara memiliki kendali yang amat besar dan tidak ada kekuatan yang cenderung melakukan kontrol terhadap negara, maka kekuasaan yang dimiliki negara akan menjadi absolut, tirani atau diktator.
Salah satu faktor yang mendorong bergesernya wajah negara kesejahteraan berubah menjadi pemerintahan yang korup adalah lemahnya kontrol dari publik (society) dalam rangka mengkritisi bahkan menolak kebijakan pemerintah yang secara nyata menyimpang dari esensi kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan cenderung tidak terbatas bahkan akan terjadi penumpukan kekuasaan apabila tidak ada kontrol dari publik. Salah satu penyebab lemahnya kontrol terhadap negara adalah tidak memadainya kesadaran dan pemahaman dari publik bahwa negara dapat dikontrol dan dikendalikan melalui mekanisme kontrol yuridis. Sebagai negara hukum, secara konstitusional telah disepakati bahwa semua tindakan elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun publik harus mampu dikontrol melalui mekanisme hukum. Dalam konteks relasi publik dan negara, menarik mengutip pendapat Prof. M. Hadjon tentang Negara Hukum; Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan pemerintah dan rakyat; (b) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.





BAB III

PENUTUP

Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Kesejahteraan negara atau welfare state, baik sebagai konsep maupun model pembangunan kesejahteraan, memiliki wajah yang beragam. Ia tidak vakum, melainkan dinamis mengikuti denyut perubahan dan tuntutan masyarakat di negara yang bersangkutan. Kesejahteraan negara tidaklah mati sebagaimana dimitoskan banyak orang. Ia juga tidak hanya milik negara-negara maju secara ekonomi. Dengan political will, komitmen dan visi yang jelas mengenai investasi sosial dan manusia, negara-negara berkembang mampu menjalankan pendekatan pembangunan kesejahteraan ini.
Good Governance menjadi agenda utama dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) bagi bangsa yang merdeka. Good Governance meniscayakan pemerintah yang akuntabel dan dan transparan yang siap melayani publik secara profesional.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik









    DAFTAR PUSTAKA

Anwar, R., Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
“Tipe-tipe Negara”, www.google.com, 07 Januari 2012
“Konsep Negara Kesejahteraan (Welfarestate)”, http://www.kesimpulan.com/2009/04/konsep-negara-kesejahteraan-welfare.html, 07 Januari 2012
“Kewajiban Negara Terhadap Kesejahteraan Rakyat”, http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/11/27/kewajiban-negara-terhadap-kesejahteraan-rakyat-5119802/, 07 Januari 2012.
“ Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdf, 07 Januari 2012.
“Masyarakat Tanpa Kelas dalam Konsep Negara Kesejahteraan, Sebuah Harapan atau Utopia?”. http://luthfihutomi.blogspot.com/2011/06/masyarakat-tanpa-kelas-dalam-konsep.html, 07 Januari 2012.
 “Upaya Peningkatan Kontrol Yuridis Dari Publik”, http://cakimptun4.wordpress.com/artikel/upaya-peningkatan-kontrol-yuridis-dari-publik/, 07 Januari 2012
“Konsep Negara Kesejahteraan (Welfarestate)”, http://www.kesimpulan.com/2009/04/konsep-negara-kesejahteraan-welfare.html, 07 Januari 2012
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,