Sabtu, 03 Maret 2012

KASUS BANK CENTURY DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kasus bailout Bank Century berawal dari keputusan Bank Indonesia (BI) untuk memberikan dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century ini telah bergulir lebih dari setahun. Kasus Bank Century ini dimulai pada sekitar bulan Oktober tahun 2008 lalu. Diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century dan akhirnya gagal bayar. Bank Century pun menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008 itu, CAR atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush. Keputusan tersebut disampaikan kepada KSSK dengan surat BI no 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.   
Melalui proses pembahasan, dalam Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tanggal 21 November 2008 dan dengan Keputusan No 04/KSSK/2008, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menetapkan :
1.     PT Bank Century Tbk sebagai bank gagal yang berdampak sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No. 01/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008; dan
2.    Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk dilakukan penanganan sesuai dengan Undang-Undang No 24 tahun 2004 tentang LPS. Sesuai Pasal 21 ayat (3) UU LPS, LPS melakukan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (KK) menyerahkan penanganannya pada LPS. Keputusan KSSK tersebut kemudian dijadikan pertimbangan oleh KK untuk mengeluarkan Keputusan KK no 01/KK.01/2008 tanggal 2008 yang menetapkan:   
a. Menyerahkan penanganan PT Bank Century Tbk yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS, dan
b.     Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud pada diktum pertama dilakukan
Dikucurkannya modal penjaminan untuk Bank Century (century) sebesar Rp 6,76 triliun berdasarkan hasil pembahasan dan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berbuah masalah. Keputusan penggelontoran dana Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dipertanyakan banyak pihak, baik dari sisi masyarakat, mau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan munculnya usulan hak angket kasus century. Alasan penetapan Bank Indonesia bahwa bank century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik juga disinyalir penuh rekayasa dan memiliki dasar yang kurang kuat . Kasus yang ditengarai sebagai cikal-bakal munculnya kekisruhan politik dan hukum ini harus didudukkan dengan terang agar publik secara luas mengetahui dan dapat bersama-sama mengawal penuntasan dari kasus ini. Diserahkannya hasil audit investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada panitia hak angket DPR RI pada tanggal 20 November 2009 memberikan gambaran yang cukup gamblang terkait kasus bank century. Hasil audit ini meskipun dinilai belum mengungkap semuanya, misalkan aliran dana dari para aktor yang dipandang menikmati kucuran dana century, akan tetapi sudah dipandang cukup untuk menunjukan adanya indikasi awal korupsi dan kejahatan perbankan yang terjadi dengan indikasi keterlibatan banyak pihak baik dari sisi otoritas pengawasan perbankan, pemerintah dan pihak pemilik bank. Diharapkan dengan adanya pemetaan yang lebih terang terkait berbagai indikasi pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang, kasus ini dapat ditindaklanjuti secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait indikasi tindak pidana korupsi dan kepolisian terkait indikasi tindak pidana pencucian uang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sedikitnya empat dugaan penyimpangan dalam hasil audit investigasi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terkait skandal Bank Century yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 6,7 triliun. Keempat jenis penyimpangan itu adalah tindak pidana perbankan, tindak pidana pencucian uang (money laundering), manipulasi prosedur administrasi, serta tindak pidana korupsi .
Dengan bertitik tolak pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan kebijaksanaan penanganan bank century persepektif hukum administrasi negara

B.    Rumusan Masalah
1. Kebijaksanaan penanganan bank century persepektif hukum administrasi negara



BAB II
PEMBAHASAN

Di mata pemerintah, kebijakan bailout Bank Century dianggap rasional meskipun harus mengeluarkan uang negara hingga Rp. 6,7 triliun. Pemerintah melalui BI dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya bank tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu. Kebijakan tersebut, berdasarkan audit BPK dinilai tidak wajar dan transaksi-transaksi yang terjadi dalam Bank Century banyak yang dicurigai. Oleh karena itu, DPR mengajukan hak angket untuk meminta penjelasan kepada pemerintah yang berkuasa saat itu mengenai pemberian dana talangan tersebut.
Mengenai potensi adanya kerugian negara terhadap bailout Bank Century tersebut memicu persilangan pendapat dari para ahli hukum. Prof. Erman Rajagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa dana penyelamatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century bukan uang negara. Pasalnya, modal negara kepada Lembaga Penjamin  Simpanan merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sehingga menjadi badan hukum tersendiri. Begitu pula dananya terpisah dari anggaran negara. Sedangkan Prof. A. Syarifuddin Natabaya, mantan hakim konstitusi berpendapat lain bahwa ia menegaskan bahwa posisi dana yang dimiliki LPS berasal dari keuangan negara. Sesuai UU No 17 Tahun 2003, dana yang bersumber dari pihak lain, namun menggunakan fasilitas negara, merupakan keuangan negara dan persoalan yang membedakan saat ini adalah status badan hukum LPS .

A.    Keuangan Negara
Keuangan negara ialah hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian juga segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi: hak menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam dan hak memaksa. Sedangkan kewajiban negara meliputi: menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat dan membayar hak-hak tagihan pihak ketiga .
Pada Pasal 3 UU No. 17/1965 jo UU No. 5/1973 dijumpai perumusan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan Keuangan Negara dalam UU ini adalah segala kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, baik terpisah maupun tidak. Dalam penjelasan Tambahan Lembaran Negara No. 2776 sebagai berikut: “Dengan keuangan negara tidak hanya dimaksud uang negara, tapi seluruh kekayaan negara termasuk di dalamnya segala hak serta kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan itu berada dalam penguasaan dan pengurusan pada pejabat-pejabat dan/atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun berada dalam penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hukum publik ataupun privat perusahaan-perusahaan negara dan usaha-usaha dimana pemerintah mempunyai kepentingan khusus serta dalam penguasaan dan pengurusan pihak lain manapun juga berdasarkan perjanjian dengan penyertaan (partisipasi) pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah”.
Perubahan ketiga UUD 1945, khususnya ketentuan Undang-Undang Dasar yang mengatur bidang keuangan negara, telah membawa dampak hukum yang sangat serius bagi pemerintah maupun badan usaha baik milik negara, daerah maupun milik swasta . Ditambah dengan hadirnya tiga paket undang-undang yang mengatur keuangan, yakni Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pengertian keuangan negara sebagaimana termaktub dalam pasal 1 butir 1 UU No. 17 Tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan negara dikuasakan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dimana setiap pengelolaan keuangan negara harus digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.
Sedangkan keuangan negara menurut penjelasan pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :   
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaan pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun daerah   
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Penyelengaraan keuangan negara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Administrasi keuangan negara merupakan bagian dari administrasi negara maka ia tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan tersebut. Atas dasar itu maka administrasi keuangan negara diartikan sebagai bagian dari administrasi negara yang objek pengurusannya adalah kegiatan dalam urusan keuangan negara yang meliputi tahap-tahap kegiatan :
1.    Merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan keuangan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan.
2.    Menyusun organisasi yang diperlukan untuk menjalankan kebijaksanaan antara lain terdapat pada:
a.    RAB
b.    SK. Menteri Keuangan
c.    SK/Instruksi Menteri/Ketua Lembaga dan keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
B.    Konsep perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi
Secara teoritis dalam hukum administrasi negara tindakan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan (bestuurhandeling) dapat di pisahkan antara tindakan nyata (feitelijke handelingen) dan tindakan hukum (rechts handelingen). Tindakan dalam bidang hukum dapat dibagi menjadi tindakan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum privat. Tindakan dalam hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum publik. Sedangkan tindakan hukum privat artinya tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum privat.
Peraturan perundang-undangan harus menjadi sumber wewenang bagi setiap tindakan pemerintah. Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan (bevoegdheids). Melalui kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan tersebut pemerintah melakukan tindakan hukum. Pemberian wewenang tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Administrasi Negara, yang dilekati dengan kewenangan atau penyandang hak dan kewajiban hukum publik adalah jabatan. Sedangkan dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat adalah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum. Subyek hukum dalam hal ini adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, atau menyandang hak dan kewajiban serta dapat berwujud manusia dan badan hukum.
Pengertian jabatan ini adalah fiksi dalam hukum. Oleh karena itu, jabatan dilaksanakan oleh pejabat, yaitu manusia yang menduduki jabatan itu agar berjalan secara nyata. Jabatan adalah merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang tak terpisahkan dari pejabat yang menjabat jabatan tersebut. Jabatan diberi wewenang agar dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban. Tanggung gugat sehubungan dengan suatu perbuatan hukum publik adalah pada pejabat. Dengan demikian gugatan dalam sengketa tata usaha negara ditujukan kepada pejabat yang membuat keputusan. Terkait dengan pengertian jabatan, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai subyek hukum. Subyek hukum yang bersengketa dalam perspektif Hukum Administrasi Negara adalah orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pejabat adalah yang bertindak untuk dan atas nama jabatan. Hal tersebut karena jabatan yaitu suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Oleh karena jabatan merupakan fiksi atau abstraksi yang oleh hukum diangkat menjadi realita hukum, yang merupakan personifikasi yang diciptakan oleh hukum. Tindakan jabatan tersebut dilakukan oleh wakil, yaitu seseorang yang pada satu pihak sebagai manusia (natuurlijke persoon) yang tunduk pada hukum privat, pada pihak yang lain adalah untuk dan atas nama jabatan sebagai pejabat yang tunduk pada hukum publik. Pejabat ini juga disebut alat perlengkapan negara.
Untuk memberi penilaian kewenangan seorang pejabat dalam membuat suatu kebijakan harus dilihat sumber kewenangan pejabat yang membuat kebijakan. Kewenangan dapat berasal dari atribusi, yaitu terjadinya pemberian wewenang yang baru oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Kewenangan dapat juga bersumber pada suatu delegasi atau mandat. Legislator yang kompeten untuk memberi atribusi wewenang dibedakan antara yang berkedudukan sebagai original legislator dan delegated legislator (Ridwan HR, 2007).
Istilah perbuatan melanggar hukum pada dasarnya berasal dari hukum perdata atau yang lebih dikenal dengan perbuatan melanggar hukum . Pasal yang mengatur tentang hal ini adalah Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal ini sempat mengalami pasang surut dalam penerapannya.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melanggar hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1.    Adanya suatu perbuatan
2.    Perbuatan tersebut dari pihak pelaku
3.    Adanya kerugian bagi korban
4.    Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Kelima unsur yang terkandung dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini merupakan unsur mutlak yang harus terpenuhi bila seseorang atau pemerintah yang melakukan suatu perbuatan disebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum .
Dalam perkembangan mengenai gugatan terhadap perbuatan melanggar hukum oleh penguasa ini, Mahkamah Agung telah memutus suatu perkara yang kemudian menjadi suatu yurisprudensi . Tiga hal yang dapat disarikan dan dijadikan sebagai tolok ukur apakah terdapat suatu perbuatan penguasa yang melanggar hukum atau tidak adalah:
1.    Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus diukur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan formal yang berlaku
2.    Harus diukur dengan keputusan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh penguasa
3.    Penilaian tentang faktor sosial ekonomi (dari penyewa dan pemilik) adalah pelengkap wewenang kepala daerah sebagai penguasa yang termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar dan peraturan atau melewati batas-batas kepatutan dalam masyarakat yang harus dipenuhi oleh penguasa
Mahkamah Agung dalam lokakarya pembangunan hukum melalui peradilan di Bandung (30 Mei-1 Juni 1977), sewaktu membicarakan yurisprudensi perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) mengemukakan dan menyimpulkan, antara lain :
1.    Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa dengan tegas mengandung tiga ukuran:
a.    Pelanggaran terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan formal (peraturan perundang-undangan)
b.    Kepatutan yang harus diperhatikan oleh penguasa
c.    Kebijaksanaan yang tidak dinilai oleh hakim perdata, hakim tata usaha negara
2.    Pengertian perbuatan melanggar hukum oleh penguasa dalam prakteknya, membedakan antara perbuatan penguasa selaku penguasa dan perbuatan penguasa selaku perorangan khusus
3.    Kaidah kepatutan dalam perbuatan penguasa yang berakibat pada hukum publik dapat menimbulkan perseorangan yang berhubungan dengan kebijaksanaan penguasa
4.    Norma kepatutan ini dalam hubungannya dengan kebebasan kebijaksanaan mempunyai batas-batas pada hal-hal yang disebut kewenangan (abus de pouvoir, abus de droit) dan detournement depouvoir, sehingga batas-batas tersebut dapat merupakan dasar bagi sifat melanggar hukum dari perbuatan penguasa.
Sebagai konsekuensi berkembangnya konsep the welfare state (negara kesejahteraan) , dalam arti tujuan negara tidak lain untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka untuk menyelenggarakan kesejahteraan tersebut peranan pemerintah melalui aparaturnya menjadi sangat penting dan mendasar dalam menentukan berhasil tidaknya misi pemerintah dan disinilah pemerintah memiliki kebebasan bertindak sesuai asas diskresi yang dimilikinya. Dengan alasan demi kepentingan umum tercapainya kesejahteraan masyarakat,  bukan hal yang tidak mungkin pejabat administrasi tersebut melanggar kepentingan administrable.
Penerapan asas diskresi ini menurut Prajudi Atmosudirdjo , diperlukan hanya sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan undang-undang. Maksud pelengkap tersebut tentunya lebih luas dari undang-undang, sebab yang dimaksud asas legalitas ini ialah bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain asas diskresi ini mempunyai arti bahwa pejabat atau penguasa tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya. Oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas juridikitas dan asas legalitas .
Makna abuse de droit atau willekeur menurut S.F. Marbun ada dua hal: Pertama, timbulnya perbuatan hukum publik atau dikeluarkannya keputusan oleh pejabat administrasi itu dapat terjadi karena tidak semua fakta yang relevan dikumpulkan dan dipertimbangkan, sehingga keputusan itu dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap. Kedua, hakim administrasi dalam menguji perbuatan hukum publik atau keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi atas dasar sewenang-wenang ini bersifat terbatas (marginal), karena hakim harus menghormati kebebasan yang diberikan kepada pejabat administrasi dengan mentolerir pertimbangan yang didasarkan atas kebijaksanaan tersebut, tetapi hakim baru diperbolehkan memasuki lingkup kebijaksanaan itu apabila menilai menimbang-nimbang bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi itu tidak dapat diterima menurut nalar .
Ultra vires atau detournment de pouvoir menurut Prajudi Atmosudirdjo , di Indonesia istilah itu sering disepadankan dengan istilah asing lainnya, yaitu detournment de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang, yakni apabila suatu wewenang yang dilaksanakan oleh pejabat yang bersangkutan bertentangan dengan atau menyimpang sebagaimana ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang (dalam arti materiil dan dalam arti luas).
Perbuatan lain yang pada hakekatnya perbuatan melanggar hukum, ialah apa yang disebut dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad). Menurut Sjachran Basah , baik perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), penyalahgunaan wewenang (detournment de pouvoir) atau perbuatan sewenang-wenang (abuse de droit) oleh pejabat administrasi, merupakan perbuatan yang sangat sukar dipisah-pisahkan, karena pada hakekatnya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan mendatangkan kerugian kepada pihak yang terkena akibat perbuatan hukum publik dari pejabat administrasi tersebut.
Lebih lanjut Sjachran Basah menyatakan, apabila hendak juga mengadakan pembedaan bukan pemisahan, maka :
1.    Perbuatan administrasi negara yang melanggar hukum (onrechtmatige overheids daad) adalah perbuatan yang disengaja maupun tidak yang melanggar undang-undang, peraturan-peraturan formal yang berlaku dan juga kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh penguasa yang menimbulkan kerugian bagi yang terkena
2.    Perbuatan administrasi negara yang menyalahgunakan wewenang (detournment de pouvoir) adalah perbuatan yang menggunakan wewenang yang mencapai kepentingan umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan, yang menjadi dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kepentingan orang lain atau golongan lain
3.    Perbuatan administrasi negara yang sewenang-wenang (abus de droit) adalah perbuatan yang berada di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.
Secara teoritis hukum tidak tertulis dalam lingkup hukum publik adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik sedangkan dalam salah satu asasnya adalah larangan melanggar asas  detournment de pouvoir . Oleh karena itu pelanggaran asas detournment de pouvoir sama artinya dengan onrechtmatige. Sebaliknya tiap perbuatan pejabat administrasi yang onrechtmatige belum tentu melanggar asas detournment de pouvoir bisa saja melanggar peratuan perundang-undangan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik lainnya.



BAB III
PENUTUP

Kewenangan KSSK bersumber pada atribusi yang tersebut pada Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK, yang antara lain mengatur tujuan JPSK, fungsi dan tugas KSSK. Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Sedangkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dibentuk untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. Adapun tugas dan fungsi KSSK adalah mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik; menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/ Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik; dan menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/ Lembaga Keuangan Buakan Bank (LKBB) yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Fungsi KSSK adalah menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis (Pasal 7). Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugasnya, KSSK dibantu oleh sekretariat. KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden.
Dari dasar hukum diatas, tidak ada cacat kewenangan dalam pengambilan keputusan oleh KSSK, baik cacat dari unsur onbevoegdheid ratione materiae karena diputuskan oleh pejabat yang berwenang yaitu Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam Perppu No 4 Tahun 2008, unsur onbevoegdheid ratione loci, karena keputusan yang diambil oleh pejabat yang berada di dalam wilayah kerjanya; dan unsur onbevoegdheid ratione temporis, karena keputusan dibuat oleh pejabat yang masih berwenang untuk mengeluarkan keputusan dengan landasan pada tanggal 21 November 2008 adalah masih berlakunya Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK.
Disamping itu juga dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang di dalamnya terkandung asas tidak mencampuradukkan kewenangan. Rumusan penyalahgunaan wewenang ini dengan meminjam aturan UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan dalam pasal 53 ayat 2 b bahwa “ Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut “ Meskipun pasal ini sudah dicabut dengan UU No 9 Tahun2004 dan diganti dengan asas-asas pemerintahan yang baik, tetap bahwa Keputusan KSSK No 04/KSSK.03/2008 yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan meminta LPS untuk menangani berdasarkan UU LPS, tidak menyimpang dari maksud dan tujuan serta fungsi KSSK yaitu menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.


DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-Buku
Agus Budi Susilo, “Perbuatan Hukum Yang Melanggar Hukum Dapat Digugat Ke Pengadilan Administrasi”. Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2006
Prajudi Atmosudirdjo, “Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara”, Makalah Pada Simposium Peradilan Tata Usaha Negara BPHN, Binacipta, Bandung, 1977
S.F. Marbun, “Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih Di Indonesia”, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2001
Sjachran Basah, “Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia”, Alumni, Bandung, 1985
Sri Soemantri dan Bintan R. Saragih, “Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Subagio, “Hukum Keuangan Negara RI”, CV. Rajawali, Jakarta, 1991

B. Data Elektronik
http://gayindonesiaforum.com/gay-chat-room2/hasil-investigasi-bpk-atas-kasus-century-t2090.html, “Hasil Investigasi BPK Atas Kasus Century”, Akses 28 Januari 2012.
http://xa.yimg.com/kq/groups/26305099/1339576763/name/Laporan+ICW+tentang+Century.pdf, “Skema Indikasi Korupsi Kasus Bank Century (Berdasarkan Hasil Audit BPK – 20 November 2009)”, Akses 28 Januari 2012.
http://www.kabarbisnis.com/read/287952, Akses 28 Januari 2012.
http://lk2fhui.org/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=42, “Kewenangan Melakukan Pengawasan Terhadap Keuangan Negara”, Akses 01 Februari 2012.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Jumat, 02 Maret 2012

PERANAN PERS DALAM NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara hukum yang demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai institusi sosial, khususnya dunia pers, memiliki peran signifikan dalam memajukkan kehidupan masyarakat dan bangsa. Signifikasi peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama terletak pada perannya untuk menghadirkan kembali realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bentuk kemasan informasi yang sehat bagi masyarakat.
Pengakuan terhadap kemerdekaan pers dan hak warga negara untuk memperoleh informasi, merupakan salah satu hak asasi (HAM) yang harus dijamin keberadaannya dalam sutu negara hukum. Indonesia yang menngakui diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), juga harus diimplementasikan untuk menghargai kemerdekaan pers dan hak rakyat untuk memperoleh dan mencari informasi yang benar. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28-F UUD 1945, bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Keberadaan dunia pers memiliki peran yang signifikan untuk membantu mentransformasikan partisipasi politik massa menjadi lebih rasional (kritis). Dalam teori demokrasi modern, pers yang lengkap dengan platform kebebasannya merupakan indikator dari demokrasi (Amirudin, Suara Pembaruan 19 Juli 2001).  Pengalaman dinegara maju menunjukkan, demokrasi terjadi karena ada proses proses negosiasi sosial antarinstitusi (sosial, politik, ekonomi, dan kultur), yang didukung oleh informasi bebas.
Suatu negara hukum khususnya negara hukum pancasila yang memandang hak asasi sebagai suatu essentialia dimana hak atau kebebasan untuk berfikir dan berbicara merupakan suatu unsur yang vital dan indispensable akan menjamin kebebasan pers sebagai hak demokrasi sebagai central meaning dan sebagai hak yang merupakan pendorong dari hak asasi lainnya.
Kebebasan pers merupakan syarat essential bagi suatu negara hukum yang demokratis. Syarat demikian juga akan diakui oleh negara hukum pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karenannya unsur agama dalam menanggapi persoalan yang kebebasan berpikir dan berbicara merupakan hal yang sangat fundamental tanpa suatu approach tentang persoalan kemerdekaan tidak akan memberikan suatu penilaian yang seimbang.

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimana peranan pers dalam negara hukum dan demokrasi.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peranan pers dalam negara hukum dan demokrasi?



BAB II
PEMBAHASAN

Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam demokrasi indonesia juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu negara.
Pengertian Pers Indonesia
Istilah pers berasal dari kata persen bahasa Belanda atau press bahasa Inggris, yang berarti menekan yang merujuk pada mesin cetak kuno yang harus ditekan dengan keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata pers berarti: 1) alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar, 2) alat untuk menjepit atau memadatkan, 3) surat kabar dan majalah yang berisi berita, 4) orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.
Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Perkembangan Pers di Indonesia
1.    Masa Orde Baru
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Sejarah perjalanan media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media massa. Pada masa demokrasi liberal media massa bebas melaksanakan peran dan fungsinya namun pada masa lainnya, demokrasi Pancasila, media massa dibatasi perannya, bahkan seolah-olah ditentukan oleh penguasa. Bahkan Edward S. Herman telah meyakini bahwa media massa telah digunakan  sebagai sarana propaganda pemerintah. Dalam kurun waktu tiga dasawarsa, telah bekerja seperangkat “filter” yang telah mengontrol isi informasi media, dimuai dari ukuran media dan orientasi profit serta kepemilikan media dan berlanjut hingga campur tangan para pengiklan, sumber-sumber media dan kelompok penekan serta ideologi “anti komunis” dan “fundamentalisme Islam”.
Pada masa orde baru negara melakukan kontrol yang sangat ketat. Kontrol dilakukan dengan tujuan agar aktivitas pers tidak menyimpang, apalagi sampai bertentangan dengan kepentingan-kepentingan mereka. Berbagai cara dilakukan dalam melakukan kontrol ini, di antaranya dengan membangun regulasi untuk mengatur aktivitas pers, dalam bentuk perundang-undangan, perizinan, penempatan posisi organisasi pers sebagai korporasi negara, pembreidelan dan lain-lain. Dengan kondisi yang seperti itu, kiranya jelas jika pers mengalami banyak kesulitan untuk melaksanakan fungsinya secara baik.
Tekanan kekuasaan telah memaksa pers untuk selalu beradaptasi dengan kepentingan kekuasaan tersebut. Manifestasinya adalah isi pers menjadi cenderung seragam, memberikan lebih banyak ruang dan waktu yang tersedia bagi kepentingan kekuasaan, lebih mengutamakan informasi yang bersifat politik, kualitas isi yang rendah, dan lain-lain.
2.    Masa Reformasi
Kalangan pers kembali bernafas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan terhadap pers nasional tidak lagi diadakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999). Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa surat kabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.  Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi, kecuali hak tolak gugur apabila demimkepentingan dan ketertiban umum, keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan. Dengan demikian, pada rezim ini tidak ada lagi peraturan yang membatasi ruang gerak pers.
Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi,ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan surat kabar atau media, serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena  euphoria kebebasan politik  berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap pers.
Peran dan fungsi pers
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sedangkan, inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam demokrasi indonesia juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu negara.
Menurut Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik di negara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah.
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormat kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 40 Tahun1999 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sebagai berikut :
1. Sebagai wahana komunikasi massa.
Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
2.Sebagai penyebar informasi.
Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara(dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).
3.    Sebagai pembentuk opini.
Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4.Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
Dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 menyebutkan: kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sebagai berikut: media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya; media perantara bagi pemerintah dan masyarakat; penyampai informasi kepada masyarakat luas dan penyaluran opini publik.
Peranan pers dalam negara hukum dan demokrasi
Perubahan dalam sistem politik dan penyelenggaraan negara yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan revolusi apabila tanpa adanya dukungan lima faktor berikut. Pertama, penegakan hukum yang selain menjamin hak warga negara untuk menentukan warna kehidupan sosial politik yang baru dan juga memastikan tiap warga negara mematuhi aturan yang berlaku yang disepakati bersama agar hak tiap warga negara tidak terganggu oleh penggunaan hak yang sama oleh warga negara lainnya. Kedua, predictability yakni kejelasan pola fikif dan pola tindak agen perubahan sehingga warga negara dapat berinisiatif mengambil langkah-langkah pembaruan tanpa terlepas dari keseluruhan konteks gerakan dan arah reformasi. Ketiga, transparancy yakni keterbukaan mekanisme politik sehingga warga negara paham akan masalah yang dihadapi, alternative untuk mengatasinya serta alasan-alasan mengapa suatu alternative dipilih oleh para tokoh reformasi. Keempat, accountability, yakni kepercayaan warga negara bahwa tokoh reformasi benar-benar mengambil keputusan atau inisiatif yang sejalan dengan arah yang dikehendaki bersama. Kelima, rationality, yakni keharusan bagi seluruh komponen reformis untuk lebih mengutamakan akal sehat dari pada perasaan dalam bertindak. (Riswanda Imawan, 2000: 262-263).
Hak masyarakat atau warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan, atau tulisan mendapat jaminan dalam Pasal 28 UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan hukum yang termuat didalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Pasal 28 F, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi.
3. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak initermasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh dan untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat dan oleh karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberikan arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan  sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.  Disinilah peran pers dalam mewujudkan peranannya untuk mewujudkan negara yang demokratis dengan pengakuan negara terhadap peranannya yang dituangkan dalam bentuk aturan. Karena negara hukum yang demokratis dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya selalu berlandaskan aturan dengan tetap menghargai hak-hak warganya dengan menjunjung tinggi partisipasi rakyat dalam penentuan kebijakan negara.
Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara. Dalam iklim kebebasan pers, dapat dikatakan bahwa pers bahkan mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power. Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers juga berkembang dengan baik. Karena itu pers harus menjaga hati nurani untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.
Diyakini bahwa hukum harus dikembangkan dan ditegakkan mengikuti norma-norma dan prosedur-prosedur tertentu yang benar-benar menjamin terwujudnya proses demokratisasi yang sejati. Karena itu agenda reformasi institusional, reformasi budaya dan reformasi hukum haruslah dilakukan secara sinergis dan simultan serta memainkan peran penuh pers dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan perkataan lain, dalam gagasan demokrasi modern itu, hukum menempati posisi yang sangat sentral. Demokrasi yang diidealkan haruslah diletakkan dalam koridor hukum.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka yang diperoleh dari pers terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh   masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.




BAB III
PENUTUP

Suatu negara hukum khususnya negara hukum pancasila yang memandang hak asasi sebagai suatu essentialia dimana hak atau kebebasan untuk berfikir dan berbicara merupakan suatu unsur yang vital dan indispensable akan menjamin kebebasan pers sebagai hak demokrasi sebagai central meaning dan sebagai hak yang merupakan pendorong dari hak asasi lainnya. Kebebasan pers merupakan syarat essential bagi suatu negara hukum yang demokratis.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis.
Sedangkan, inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam demokrasi indonesia juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu negara.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka yang diperoleh dari pers terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh   masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.



DAFTAR PUSTAKA

A.    Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
B.    Buku-buku
Adji, Oemar Seno, Mass Media dan Hukum.  Jakarta: Erlangga, 1997.
Anwar Arifin, Komunikasi Politik. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Elvinaro Ardianto&Lukiati Komala, Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004.
Idi Subandy Ibrahim, Sirnanya Komunikasi Empatik. Bandung: Pustaka Bani  Quraisy, 2004.
Ibnu Hamad,   Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa-Sebuah Studi  Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit, 2004.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
C.    Jurnal
Amir Purba, Perkembangan Kehidupan Pers Dari Masa Rezim Orde Baru  ke Masa Rezim Reformasi. Jurnal Wawasan. Nomor 1 Volume 12. Juni 2006.
D.    Data Elektronik
http://www.tugaskuliah.info/2011/04/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi.html, Akses 19 Februari 2012.
http://www.politikindonesia.com/m/index.php?ctn=1&k=politik&i=1465, Akses 19 Februari 2012.


Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

H UBUNGAN ANTARA NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum.
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan terlibatnya masyarakat dalam penentuan kebijakan publik merupakan pencerminan suatu negara merupakan negara yang menganut hukum dan demokrasi yang berjalan seiring dan saling melengkapi. Negara sebagai organisasi masyarakat yang mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai tidak akan mengkesempingkan perananan masyarakat dalam merumuskan dan mengimplementasikan tujuan bersama tersebut.
Negara yang berhasil menerapkan demokrasi adalah negara yang mampu memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum, pemerataan pendidikan dan perbaikan ekonomi. Dari empat sokongan itu, keseimbangan antara kebebasan dan penegakan hukum akan memperkuat dua pilar berikutnya. Diperlukan upaya meningkatkan peran dan kualitas demokrasi dari tingkat prosedural ke level substansial.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimanakah hubungan antara negara hukum dan demokrasi.
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hubungan antara negara hukum dan demokrasi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Negara Hukum
1.    Sejarah Pemikiran Negara Hukum
Dalam mengkaji dan memahami negara hukum, maka perlu diketahui tentang sejarah timbulnya pemikiran hukum. Cita negara hukum untuk pertama kali dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles.
Plato dalam bukunya Politeia sangat prihatin melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat. Pemerintah sewenang-wenang yang tidak memperhatikan rakyatnya telah menggugah Plato untuk meewujudkan suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat dengan keadilan yang dijunjung tinggi. Agar supaya negara menjadi baik, maka pemimpin negara harus diserahkan kepada filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, yang menghargai kesusilaan dan berpengetahuan tinggi.  Namun Plato mengubah pendiriannya menganggap adanya hukum untuk mengatur warga negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja, karena hukum yang dibuat manusia tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri, karena penguasa disamping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga termasuk pengetahuan membuat hukum.  Kemudian dengan memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum: “Aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan secara erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya”. 
2.    Definisi dan Pengertian Negara Hukum
Istilah negara hukum (rechstaat). Dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad IX, maka timbul juga istilah negara hukum atau rechtsstaat.  Istilah negara hukum dirumuskan sebagai negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat.
Djokosoetono mengatakan: “negara hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau kita bilangkan democratische rechtsstaat, yang penting dan primair adalah rechtsstaat”. Selanjtnya ia mengatakan “sekarang perkembangan daripada negara hukum yang dalam lapangan politik dan ilmu pengetahuan di Indonesia selalu diabaikan, tidak diketahui bahwa ada beberapa macam negara hukum”. Ini adalah perkembangan daripada bangunan staat tipe rechtsstaat dalam tiga tingkatan: formele rechtsstaat, liberale  rechtsstaat dan materiele rechtsstaat.
Definisi yang paling sederhana dari negara hukum adalah pandangan yang menyatakan bahwa negara hukum berinteraksi langsung dengan penekanan akan pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perorangan dan pembatasan terhadap kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap pengadilan tidak dapat dikaitkan dengan lembaga lain manapun.  Dalam hal ini, lembaga peradilan menjadi sebuah tataran yang independen dalam arti terbebas dari pengaruh kekuasaan lain terutama oleh eksekutif.
Profesor Utrecht membedakan ntara negara hukum formil atau negara hukum klasik dan negara hukum materiil atau negara hukum modern.  Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiil. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.
3.    Paham Negara Hukum Indonesia
Untuk menemukan rumusan hukum menurut bangsa Indonesia, kita hrus mencarinya dalam UUD 1945. Pada hakikatnya hukum adalah ketentuan-ketentuan yang dpilih oleh kelompok manusia yang akan memakai hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.   Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda.  Negara harus bersifat badan penyelenggara, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya.  Unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki sejarah tersendiri yang berbeda. 
Konsep negara hukum Indonesia secara tegas disebutkan dalam Konstitusi 1949, baik dalam Mukadimah Alinea ke-empat maupun didalam Batang Tubuh Pasal 1 ayat (1). Demikian pula dalam UUDS 1950 dalam Mukadimah Alinea ke-empat dan dalam Bab I Bagian I, Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh atau Pasal-Pasalnya tidak diketemukan rumusan atau istilah negara hukum. Namun dalam Penjelasannya disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Kemudia istilah negara hukum digunakan secara jelas dan tegas dalam UUD 1945 sesudah perubahan dalam Pasal 1 ayat (3). 
Unsur-unsur utama negara hukum Indonesia adalah sebagai berikut:  Pertama,bersumber pada Pancasila. Kedua, sistem konstitusi. Ketiga, kedaulatan rakyat. Keempat, persamaan dalam hukum. Kelima, kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain.
Untuk melihat kedalam kategori negara hukum yang mana tergolong negara berdasar atas hukum itu, harus dicari dalam apakah tujuan Negara Republik Indonesia (negara berdasar atas hukum). Dan hal ini ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat. Dari petunjuk ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan negara Indonesia adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur, dengan perkataan lain masyarakat sejahtera, sebab kata adil tidak menunjuk semata-mata pada material, tetapi lebih dekat dengan (mengutamakan) spiritual.  Jadi kalau negara barat baru mengenal negara kesejahteraan sekitar tahun 1960, maka bangsa Indonesia sudah merumuskannya pada tahun 1945 oleh Soepomo Bapak Konstitusi Indonesia. Itulah sebabnya diberi nama negara berdasar atas hukum, karena latar belakang asasnya cita negara Pancasila, sehingga konsepnya juga berbeda dengan berlatar belakang individualisme atau liberalisme.

B.    Konsep Negara Demokrasi
1.    Sejarah Pemikiran Demokrasi
Gagasan mengenai demokrasi lahir dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.  Gagasan demokrasi Yunani hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani, dikatakan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400).  Dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta Piagam Besar 1215.
Menurut Hans Kelsen, ide demokrasi berawal dari keinginan manusia untuk menikmati kebebasan (free will). Kebebasan yang mungkin didapat dalam masyarakat dan khusunya di dalam negara, tidak bisa berarti kebebasan dari setiap ikatan, tetapi hanya bisa berupa kebebasan dari satu macam ikatan tertentu. Misalnya, kebebasan politik adalah kebebasan dibawah tatanan sosial adalah penentuan kehendak sendiri dengan jalan turut serta dalam pembentukan tatanan sosial. Kebebasan politik adalah kemerdekaan dan kemerdekaan adalah kemandirian.
Demokrasi menurut Karl Marx adalah demokrasi yang menekankan pemerintahan parlementer, pembagian kekuasaan dan kesetaraan dibawah hukum negara dan bukan negara dengan berdasarkan pada demokrasi borjuis. Meski dalam beberapa hal konsep Karl Marx tentang negara dan demokrasi ini belum menemui titik terang karena tidak adanya penjelasan yang khusus terhadap poin negara dan demokrasi.
2.    Definisi dan Pengertian Negara Demokrasi
Istilah demokrasi yang berasal dari gabungan dua kata, yakni demos dan kratos, menunjukkan bahwa demos/populus/rakyat-lah yang menjadi titik sentral dari demokrasi. Sekalian gagasan, asumsi, konsep, dan teori tentang demokrasi yang telah diuraikan pada bagian terdahulu selalu terdapat satu penekanan yang sama bahwa sesungguhnya yang berkuasa dan titik sentral dalam demokrasi adalah rakyat (demos/ populus). Kekuasaan demos/populus dalam konteks pembicaraan ini adalah terkait erat dengan entitas yang disebut dengan negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Kedaulatan (sovereignity) adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara dan sebagai atribut negara sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri.
Asas kedaulatan rakyat atau paham demokrasi mengandung dua arti:  Pertama, demokrasi yang berkaitan dengan sistem pemerintahan atau bagaimana caranya rakyat diikut sertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi keadaan kultural, historis suatu bangsa sehingga muncul istilah demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat dan demokrasi Pancasila. Rakyat adalah titik sentral karena disuatu negara pada hakekatnya adalah pemegang kedaulatan yang menjadi sumber kekuasaan. Demokrasi berarti bahwa kehendak yang dinyatakan dalam tatanan hukum negara identik dengan kehendak dari para subyek tatanan hukum tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
3.    Konsepsi Demokrasi Indonesia
Konsepsi demokrasi Indonesia adalah berdasarkan pada sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa demokrasi Indonesia adalah menganut tipe demokrasi perwakilan. Menurut Frans Magnis-Suseno, secara konseptual ada dua kelemahan dari tipe demokrasi perwakilan, yaitu: (1) rakyat tidak langsung dapat membuat hukum dan (2) demokrasi perwakilan dapat menjadi totaliter. Bahkan demokrasi perwakilan juga bisa terjebak menjadi oligarkis jika minoritas memutlakkan kehendaknya terhadap mayoritas rakyat.
Kebutuhan untuk menjalinkan nilai dasar Pancasila dengan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memungkinkannya untuk diberikan nilai-nilai baru yang segar agar Pancasila tidak kehilangan nilai aktualitasnya tanpa kehilangan nilai filosofisnya. Apalagi perumusan kedaulatan rakyat dalam UUD Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 2) telah terjadi pergeseran dari kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” semakin memperkuat pemikiran untuk memberi makna baru terhadap demokrasi berdasarkan Pancasila tersebut.
Kehadiran demokrasi yang membawa pesan dan cita-cita yang mulia tersebut bukannya tanpa kritik dan cela. Hal ini terjadi manakala demokrasi hanya sebatas terhadap hal-hal yang sifatnya prosedural dan teknis, seperti yang dikonsepsikan oleh Schumpeter. Demokrasi yang demikian ini tekanannya hanya pada terselenggaranya pemilu saja, dengan memobilisasi suara rakyat untuk berpartisipasi di dalamnya dan setelah itu mereka diterlantarkan.  Dalam konteks ini ada 3 (tiga) kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi yang patut diketengahkan. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Pertanyaannya: mungkinkah tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh sekelompok kecil elite yang menilai politik sebagai karier untuk memperoleh keuntungan finansial? Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan, dan kompetisi juga acap kali dikuasai oleh kekuatan modal. Ketiga, media acapkali mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media massa yang mengemas opini seakan-akan mewakili opini publik berujung pada semakin kecilnya partisipasi langsung rakyat.
Jean Baechler berpendapat bahwa demokrasi tidak saja mengandung kebajikan-kebajikan, namun juga dapat terbersit adanya kecurangan (korupsi) dalam demokrasi. Tipe-tipe utama kecurangan dalam demokrasi tersebut meliputi kecurangan politis, kecurangan ideologis dan kecurangan moral. Fareed Zakaria juga menengarai dalam demokrasi bisa saja terjadi penyimpangan yang sumbernya berasal dari dua hal, yaitu (1) berasal dari otokrat terpilih dan (2) berasal dari rakyatnya sendiri. Yang terakhir ini, mayoritas rakyat terutama di negara berkembang sering kali meruntuhkan hak-hak asasi manusia serta mengkorupsi toleransi dan keterbukaan yang ada.
Apapun konsep, asumsi dan indikator yang dibangun oleh para ahli, serta bagaimana penerimaan dan penyesuaian demokrasi yang dipraktikkan oleh masing-masing negara, namun setidak-tidaknya ada dua kerangka dasar yang sangat esensial yang niscaya harus hadir di dalam di suatu negara yang yang didasarkan pada demokrasi. Tanpa kehadiran dua kerangka dasar yang esensial tersebut sungguh sangat sulit untuk menyatakan bahwa demokrasi telah hadir di suatu negara, sebab keduanya merupakan prinsip dasar demokrasi yang eksistensinya tidak boleh ditiadakan. Tanpa kehadiran kedua prinsip dasar tersebut, maka demokrasi yang dianut oleh suatu negara menjadi kehilangan makna hakikinya. Kedua prinsip dasar demokrasi tersebut adalah: (1) kedaulatan rakyat dan (2) partisipasi aktif warganegara secara berkelanjutan.
Pada negara yang dibangun atas paham demokrasi mengandung makna bahwa pada tingkat terakhir rakyatlah yang menentukan terhadap masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk merencanakan, merumuskan, menentukan, dan mengevaluasi kebijakan yang dibuat negara, sebab dengan kebijakan itulah yang akan menentukan jalannya kehidupan masyarakat.  Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau, manakala dilihat dari perspektif organisasi, maka ia adalah suatu bentuk pengorganisasian negara yang dilakukan oleh dan/atau atas persetujuan rakyat sendiri, sebab kedaulatan berada ditangan rakyat.

C.    Hubungan Antara Negara Hukum dan Demokrasi
Hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar-dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya tali-menali antara paham negara hukum dan kerakyatan, sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis atau democratische rechtsstaat.
Mungkin tampak bahwa cita-cita demokrasi diwujudkan dengan sempurna jika bukan hanya pembuatan undang-undang tetapi juga pelaksanaannya (eksekutif dan judikatif) sepenuhnya demokratis. Namun demikian satu pengkajian lebih dekat menunjukkan bahwa kenyataannya tidak demikian. Karena pelaksanaan menurut definisinya semata adalah pelaksanaan hukum, maka pengorganisasian kekuasaan eksekutif harus menjamin legalitas pelaksanaan. Fungsi eksekutif dan judikatif harus sesuai mungkin dengan hukum yang dibuat oleh organ legislatif. Apabila pembuatan undang-undang adalah demokratis, dan itu berarti pembuatan undang-undang itu mencerminkan kehendak rakyat, maka semakin demokratis pelaksanaannya semakin sesuai dengan postulat legalitas.  Apabila penyelenggaraan ini diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan dari lembaga-lembaga ini, maka pengorganisasian semacam itu akan sepenuhnya demokratis. Dalam kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur materiil negara hukum, disamping masalah kesejahteraan rakyat.
Prinsip demokrasi dari penentuan kehendak sendiri, dibatasi kepada prosedur pencalonan organ-organ khusus ini. Bentuk pencalonan yang demokratis adalah pemilihan. Organ yang diberi wewenang untuk membuat atau melaksanakan norma-norma hukum dipilih oleh para subyek yang perbuatannya diatur oleh norma-norma hukum ini.  Untuk membuktikan hubungan yang sesungguhnya dari perwakilan, tidaklah cukup bahwa wakil diangkat atau dipilih oleh yang diwakili. Wakil perlu diwajibkan secara hukum untuk melaksanakan kehendak dari orang-orang yang diwakilinya dan pemenuhan kewajiban ini harus dijamin oleh hukum.
Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam undang-undang.  



BAB III
PENUTUP

Untuk menemukan rumusan hukum menurut bangsa Indonesia, kita hrus mencarinya dalam UUD 1945. Pada hakikatnya hukum adalah ketentuan-ketentuan yang dpilih oleh kelompok manusia yang akan memakai hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara harus bersifat badan penyelenggara, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya. Unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki sejarah tersendiri yang berbeda.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat.
Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam undang-undang.



DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-Buku
Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya. Jakarta: UI-Press, 1995.
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum Dan Konstitusi. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990.
Deliar Noer, Pengantar  ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali, 1983.
Ellydar Chaidir, Negara Hukum Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007.
Fareed Zakaria, The Future of Freedom. 2003. Diterjemahkan oleh Ahmad Lukman, Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain. Jakarta: Ina Publikatama, 2004.
Fred Isywara, Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Dhwiwantara, 1964.
George Sabine, A History of Political Theory. London:  Third Edition, George G. Harrap&Co. Ltd., 1954.
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006.
Marwan Effendi, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia, 2005.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan keduapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum. Jakarta: FH UI, 1975.
Padmo Wahjono, Dalam Guru Pinandita. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1984.
Pengantar Penerbit, Jalan Sesat Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme. Dalam Coen Husain Pontoh,  Malapetaka Demokrasi Pasar.Yogyakarta: Resist Book, 2005.
Plato, Republik. New York: The Modern Library, Tanpa Tahun.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1962.
B.    Makalah
Jimly Asshiddiqie, “Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi Untuk Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis”, Bahan Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke XXI dan Wisuda 2007 Universitas Darul Ulum (Unisda), Lamongan, 29 Desember 2007.
C.    Data Elektronik
http://hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/, Akses 18 Februari 2012.



Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

HUKUM OTONOMI DAERAH PASCA REFORMASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu tuntutan reformasi adalah adanya keadilan dalam bidang politik dan ekonomi bagi masyarakat daerah. Kurangnya keadilan inilah yang dianggap oleh sebagian pakar dan pengamat politik sebagai salah satu sebab munculnya ketidak puasan daerah yang dalam beberapa hal menjurus menjadi tuntutan untuk membentuk negara federasi. Bahkan di daerah tertentu berkembang menjadi tuntutan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Sentralisasi yang terjadi dan semakin kuat di masa Orde Baru telah menyebabkan pincangnya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dampaknya yang serius adalah berkembangnya perasaan daerah bahwa daerah hanya menjadi obyek pemerasan oleh pusat
Diantara beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya sentralisasi dan kurang adilnya pembagian keuangan antara pusat dan daerah adalah Undang-Undang Dasar No 5 Tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kemudian pasca bergantinya rezim, dengan ditandai tumbangnya Orde Baru maka lahirlah Undang-Undang No 22 Tahun 1999. Akan tetapi, karena dipandang oleh kaum reformis dan para pakar otonomi daerah UU ini banyak mengandung kelemahan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi maka diusulkan untuk dilakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Maka, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999, dan bersamaan dengan itu kemudian disusul dengan lahirnya UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Dalam UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang dalam ketentuan formalnya melaksanakan:  asas dekonsentrasi, yaitu: pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, asas desentralisasi, yaitu: pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan asas pembantuan, yaitu: penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan secara bersama-sama dan seimbang. Namun realitanya daerah merasakan bahwa otonomi tersebut lebih mengutamakan asas dekonsentrasi yang mengakibatkan penekanan kepada prinsip penyeragaman sentralisasi kekuasaan kepada pemerintah pusat. Sedangkan di daerah lebih mengutamakan kewenangan eksekutif, sehingga fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat wewenangnya kurang maksimal.
Daerah-daerah menuntut dilakukan peninjauan kembali serta pembaharuan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pelaksanaan asas desentralisasi. Dengan demikian akan lebih menjamin perkembangan demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dengan jalan memberdayakan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan mampu mengembangkan inisiatif serta check and balance dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sidang Istimewa MPR tahun 1998, menghasilkan Tap MPR No. XV/MPR/1998 yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut ketetapan ini daerah diberi kewenangan yang luas dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pembagian keuangan pusat dan daerah.  Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah. 
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimanakah Hukum Otonomi Daerah Pasca Reformasi?

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah hukum otonomi daerah pasca reformasi?




BAB II
PEMBAHASAN

Dari awal kemerdekaan, pelaksanaan pemerintahan daerah merupakan bentuk realisasi amanat yang tertuang dalam salah satu pasal UUD 1945, yaitu Pasal 18. Jadi memang merupakan suatu tekad lama yang telah diberikan oleh The Founding Fathers Indonesia, agar pemerintahan daerah menjadi bagian dari sistem pemerintah Indonesia. Sebelum diamandemen Pasal 18 UUD 1945 menegaskan tentang sistem pemerintah daerah sebagai berikut ; Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul daerah yang bersifat istimewa.
Inti Pasal 18 tersebut adalah bahwa dalam negara Indonesia terdapat pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut terdiri dari daerah besar dan daearah kecil. Daerah besar yang dimaksud di sini adalah provinsi sedangkan daerah kecil adalah kabupaten/kota dan desa, dasar pembentukanya dengan permusyawaratan dengan mempertimbangkan asal-usul daerah yang bersangkutan sebagai keistimewaan.
Otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan yang menarik sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia.
Dalam pembahasan RUU pemerintahan daerah yang diajukan oleh pemerintah yang sangat mendasar dalam undang-undang baru adalah: memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi, kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasi‐regulasi yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, “bidang kewenangan lain” sebagaimana disebutkan dalam undang‐undang yang ada masih saja memberikan peluang multi tafsir serta peran yang lebih besar bagi pemerintah pusat untuk mengendalikan pemerintah daerah melalui proses perencanaan dan anggaran yang masih bercorak Jakarta sentris. Hal ini seolah menjadi bargaining yang cukup kuat bagi pusat untuk menentukan hitam putih pelaksaaan otonomi daerah. Apalagi melihat selama ini corak sentralistik yang sedemikian kuat berakar pada orde baru serta sejarah kerajaan‐kerajaan besar di Indonesia yang dikuatkan dengan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk tetap mengenyam manisnya sumbersumber daya Indonesia, corak sentralistik mejadi sangat kental dan sulit dihilangkan. Puncak dari sentralistik ini bisa dikatakan adalah orde baru, namun melihat dari sejarah pola hubungan ini sudah muncul sejak jaman Majapahit, kolonial Belanda dan Jepang dengan pola yang lebih rigid. Hal ini terus dilestariakn oleh penguasa mengingat sentralistik memberikan kemudahan pengendalian dan pengawasan atas daerah‐daerah yang ada di bawahnya. Berangkat dari kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang berlaku, khususnya berkaitan dengan aspek sumber daya manusia. Selanjutnya akan coba disodorkan alternatif pemikiran yang relevan sebagai upaya memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999  yang merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah, dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. UU No. 22 Tahun 1999 tersebut mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 1999, terlahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR – RI Nomor XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga dalam kerangka UUD 1945. Seperti proses lahirnya beberapa UU Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, UU No. 22 Tahun 1999 ini juga terkesan merupakan pergeseran, sesuai dengan kondisi politik saat itu. UU No. 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran dari kondisi sentralistis ke arah desentralisasi yang lebih luas.     Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, asas pemerintahan yang digunakan adalah asas desentralisasi dengan memperkuat fungsi DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. Akan tetapi, karena dipandang oleh kaum reformis dan para pakar otonomi daerah UU ini banyak mengandung kelemahan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi maka diusulkan untuk dilakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Maka, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999. Maraknya berbagai tuntutan demokratisasi di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara pada era reformasi ini, sektor pembangunan hukum mutlak membutuhkan pembenahan secara integral baik dari segi penegakan supremasi hukum, juga dalam pembentukan dan penciptaan suatu produk hukum yang responsif terhadap dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat secara nasional.
Latar belakang Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dilahirkan karena sedang giat-giatnya sosialisasi kegiatan pembangunan sebagai satu-satunya jalan terdekat menuju masyarakat adil dan makmur dengan trilogi pembangunan khususnya terciptanya stabilitas nasional yang semakin mantap.
Untuk itu diperlukan pemerintah yang stabil dan berwibawa yang didukung terselenggaranya pemerintah daerah. Maka dibuat undang-undang yang materinya mengeliminir pengaruh parpol dalam pelaksanaan pemerintah daerah dengan:
-    Menghapus keberadaan Badan Pemerintah Harian (BPH) sebagai lembaga penasehat kepala daerah yang menampung perwakilan parpol di daerah
-    Kuatnya kedudukan kepala daerah serta kewenangannya yang dimiliki, dimana kepala daerah hanya memberikan keterangan jalannya pemerintahan dan pembangunan satu tahun sekali kepada DPRD. Namun DPRD tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keterangan tersebut
-    Tidak berfungsinya fungsi DPRD, khususnya dalam bidang pengawasan dengan tidak dilaksanakan hak enquete (hak penyelidikan)
Asas pemerintahan yang digunakan adalah: asas dekonsentrasi, asas desentralisasi dan asas pembantuan. Namun yang paling utama ialah asas dekonsentrasi lebih menonjol dalam pasal-pasalnya, hal ini ditunjukkan dengan:
-    Kewenangan menentukan kepala daerah
-    Pengawasan preventif pembuatan perda dimana Menteri Dalam Negeri berwenang menentukan kepala daerah untuk tingkat propinsi, gubernur berwenang untuk menentukan kepala daerah untuk perda kabupaten/kota
Berkaitan dengan hal tersebut, para reformis yang dimotori oleh para cendekiawan (pakar politik maupun tata negara) mencoba melakukan formulasi ulang, merekonstruksi UU No. 5/1974.   Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaksanaan undang‐undang tersebut belum konsisten sehingga perlu dibentuk percontohan otonomi di satu daerah tingkat II di masing‐masing propinsi. Keengganan pemerintah pusat mendelegasikan wewenang kepada daerah sangat berlebihan, sebaliknya corak sentralistik yang sedemikian lama terbentuk menjadikan pemerintah daerah tidak berani untuk mengoreksi penyimpangan yang terjadi. Pendapat kedua, menginginkan agar undang‐undang tersebut diganti sama sekali karena tidak relevan.
Dalam Pasal 121 UU No 22/1999 disebutkan bahwa sebutan Propinsi Dati I, Kabupaten Dati II dan Kotamadya Dati II, sebagaimana dimaksud dalam UU No 5/1974 berubah masing-masing menjadi Propinsi, Kabupaten dan Kota. Sedangkan untuk daerah propinsi tetap merupakan daerah otonom dengan kewenangan yang terbatas. Kewenangannya meliputi urusan/kewenangan antar daerah otonom kabupaten/kota, urusan yang tidak dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota serta wilayah administrasi, yaitu wilayah dekonsentrasi yang dibebankan kepada kepala daerah propinsi sebagai perangkat pemerintah pusat.
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 adalah:
1.    Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokratisasi dan dengan memperhatikan keanekaragaman daerah
2.    Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dalam arti penyaluran kewenangan pemerintah yang secara nyata dilaksanakan di daerah
3.    Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan di kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah propinsi adalah otonomi terbatas
4.    Pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah
5.    otonomi daerah harus lebih mengutamakan kemandirian daerah otonom sehingga dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi atau kawasan khusus yang dibuat oleh pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pelabuhan udara, kawasan perkotaan baru, kawasan pertambangan dan semacamnya
6.    Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai lembaga pengawas atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dijalankan oleh lembaga eksekutif daerah
7.    Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan yang tidak diserahkan kepada daerah
Terdapat prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, antara lain:
1.    Asas desentralisasi yang dianut dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 mencakup pengertian:
a.    Pemberian wewenang yang luas pada daerah otonom, kecuali wewenang dalam bidang:
-    Pertahanan dan keamanan
-    Politik luar negeri
-    Peradilan
-    Moneter, fiskal serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya
b.    Proses pemerintahan daerah otonom yang baru berdasar asas desentralisasi atau mengakui adanya daerah otonom yang sudah dibentuk berdasar perundang-undangan sebelumnya
2.    Asas dekonsentrasi yang dianut mencakup pengertian:
a.    Pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada perangkat daerah
b.    Pemerintahan propinsi sebagai wilayah administrasi dan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur
3.    Dalam pemerintahan daerah tidak ada lagi perangkat (pembantu gubernur, pembantu bupati)
4.    Pemerintah pusat dapat menugaskan kepada daerah otonom untuk melaksanakan tugas tertentu
5.    Penyelenggaran pemerintahan daerah wajib meningkatkan kemakmuran daerah dan tetap dapat memelihara hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan
Munculnya UU No. 22/1999 dan yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan seputar rekonstruksi hubungan pusat‐daerah. Produk‐produk hukum tersebut menjadi suatu formulasi yang akan memberi warna baru dalam upaya memperbaiki hubungan pusat daerah sebagaimana dijabarkan oleh Pratikno (2003) antara lain:
1. Mengubah simbolisasi pada nama daerah otonom dengan dihapuskannya istilah Daerah Tingkat (Dati) I dan II dan digantikan dengan istilah yang lebih netral yakni propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini juga untuk menghindari citra bahwa Dati I lebih tinggi dan lebih berkuasa dibandingkan Dati II.
2. Melepaskan intervensi yang kuat pada kabupaten dan kota, sehingga tidak terjadi rangkap jabatan sebagai kepala daerah otonom (local selfgovernment) dan kepala wilayah administratif (field administration).
3. Pemilihan bupati dan walikota secara mandiri dan jauh dari campur tangan propinsi maupun pusat.
4. Mengenalkan Badan Perwakilan Desa sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat desa.
5. Memberikan keleluasaan kewenangan bidang pemerintahan kepada daerah otonom selain politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, fiskal dan moneter, agama serta ‘kewenangan bidang lain’.
6. Kewajiban bagi pemerintah pusat untuk memberikan alokasi anggaran kepada daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya sekurang‐kurangnya 25 % dari penerimaan dalam negeri APBN.
7. Semangat pemerataan antar‐daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Dana Darurat yang besarnya sesuai dengan kondisi keuangan tahunan.
Konsep otonomi daerah yang dimunculkan melalui UU No. 22/1999 memiliki substansi otonomi yang lebih jelas di dalam kerangka negara yang demokratis (selama ini orde baru lebih dikenal dengan rejim yang otoriter, demokrasi prosedural daripada substantif) dengan pokok‐pokok pikiran sebagai berikut :
1. Redistribusi kekuasaan
Mengembalikan kewenangan pemerintah daerah yang dapat mengatur pemerintahannya sendiri ini dilakukan sebagai jawaban atas pertanyaan sentralisasi yang begitu kuat pada level pemerintah pusat.
2. Pemberdayaan komunitas dan pemerintahan daerah
Proses redistribusi kekuasaan diikuti secara nyata dengan penyerahan urusan‐urusan kepada pemerintah daerah seperti pengelolaan SDA, serta urusan lain sebagaimana digariskan dalam UU.
3. Efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan
Dengan ditempuhnya langkah‐langkah tersebut di atas maka diharapkan dapat menciptakan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, terjadi distribusi urusan dan kewenangan yang jelas sesuai dengan porsi dan kapasitasnya.
Setelah amandemen yang keempat, Pasal 18 UUD 1945 mengalami beberapa perubahan. Ketentuan Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam BAB VI yang terdiri dari Pasal 18, 18A dan 18B dengan ketentuan sebagai berikut
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah , yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan pembantuan.
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang
Pasal 18 A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dengan adanya amandemen tersebut maka daerah besar dan daerah kecil menjadi jelas. Daerah besar adalah provinsi sedangkan daerah kecil adalah kabupaten/kota dan desa atau dengan nama lain. Bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah baik provinsi, kabupaten/kota berdasarkan asas otonomi dan pembantuan. Yang dimaksud disini adalah asas desentralisasi dan medebewind (tugas pembantuan).
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diterbitkan sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah juga menganut sistem Open and arrangement atau general competence. Dalam Pasal 10 ayat (3) undang-undang ini, disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sedangkan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah diluar yang ditentukan untuk pemerintah pusat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut Zudan Arif, pembagian urusan pemerintahan diatur dalam 4 (empat) model urusan pemerintahan yaitu:
1. Urusan absolut yaitu urusan yang secara mutlak menjadi urusan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat (3) )
2. Urusan bersama, yaitu urusan yang dapat dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten
3. Urusan wajib pemerintah daerah. Meliputi urusan wajib pemerintah daerah provinsi (Pasal 13) dan urusan wajib pemerintah daerah kabupaten (Pasal 14)
4. Urusan pilihan pemerintah daerah. Meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan kondisi dan potensi unggulan daerah (Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2)).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba melakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota. Ada tiga kriteria yang dipakai sebagai pedoman dalam pembagian urusan pemerintahan tersebut. Kriteria tersebut adalah kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Mengacu kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut:
1. Pemerintah pusat; mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk norma, standar, prosedur dan kriteria yang dijadikan acuan bagi pemda provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap pemda, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).
2. Pemda provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pusat.
3. Pemda kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pusat.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang (negative list). Di bidang Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal serta Agama. 
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Sepanjang pelaksanaan undang‐undang mengenai pemerintah daerah mulai 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 serta nyata‐nyata masih muncul praktik‐praktik penyimpangan maupun pelaksanaan yang kontra produktif dengan semangat regulasi itu sendiri. Paling tidak hal tersebut dapat terekam di dalam fakta‐fakta sebagai berikut:
1. Bagi‐bagi kekuasaan/semua “merasa” berkuasa
UU No. 22/1999 ditengarai telah mendorong terciptanya executive heavy, yang mana, tidak ada sinergi di antara penyelenggara pemerintahan di daerah. Upaya untuk memberikan keseimbangan kekuasaan kepada legislatif berlanjut menjadi dominasi legislatif atas eksekutif, sehingga merasa satu berkuasa atas lainnya. 
2.    Pemasungan kreatifitas berkaitan dengan manajemen keuangan dan pengawasannya
Masih saja pemerintah pusat memegang kendali atas perencanaan dan anggaran melalui mekanisme DAU, DAK, hibah dan bantuan, baik APBN maupun asing. Mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan masih simpang siur antara BPK maupun BPKP di level pusat.
3. Tarik ulur urusan‐urusan pemerintahan
Masih saja terjadi tarik‐ulur dalam urusan pemerintahan seperti menyangkut redistribusi pajak (PKB dan BBN di tingkat provinsi), serta hal-hal yang sifatnya antar wilayah, misalnya menyangkut jalan raya, sungai, wilayah perairan. Muncul kecenderungan ego sektoral antar pemerintah daerah.





BAB III
PENUTUP

Dalam UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang dalam ketentuan formalnya melaksanakan: asas dekonsentrasi, yaitu: pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, asas desentralisasi, yaitu: pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan asas pembantuan, yaitu: penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan secara bersama-sama dan seimbang. Namun realitanya daerah merasakan bahwa otonomi tersebut lebih mengutamakan asas dekonsentrasi yang mengakibatkan penekanan kepada prinsip penyeragaman sentralisasi kekuasaan kepada pemerintah pusat.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999  yang merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah, dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Munculnya UU No. 22/1999 dan yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan seputar rekonstruksi hubungan pusat‐daerah. Bentuk realisasi terjadinya amandemen keempat UUD 1945, khususnya Pasal 18 UUD. Produk‐produk hukum tersebut menjadi suatu formulasi yang akan memberi warna baru dalam upaya memperbaiki hubungan pusat daerah.
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diterbitkan sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah juga menganut sistem Open and arrangement atau general competence. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba melakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota.




DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-Buku
Amin Rahmanurrasjid, Akuntabilitas Dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Daerah (Studi di Kabupaten Kebumen), Semarang : Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008

B. N. Marbun, Otonomi Daerah 1945 – 2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda,Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, cetakan ke-1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005

Dzunuwanus Ghulam Manar, “Otonomi Daerah Dalam Kerangka Sumber Daya Manusia: Di Antara Harapan Dan Kenyataan”, Disampaikan Pada Studium General  Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, 18 November 2008
Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim, ed., Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya”, dalam Syamsuddin Harris, ed.,  Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005)
Winarna Surya Adisubrata, Otonomi Daerah Di Era Reformasi, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002, hlm. vii.

B.    Jurnal
Muntoha, “Otonomi Daerah Dan Perkembangan Peraturan-Peraturan Daerah Bernuansa Syari’ah”, Jurnal Hukum, Edisi No. 2 Vol. 260 – 280, 15 April 2008

C.    Data Elektronik
Rivan Mubaroq, “Implementasi Normatif Umum Otonomi Daerah Menurut UU No 32/2004”, dalam http://politikana.com/baca/2011/01/18/implementasi-normatif-umum-otonomi-daerah-menurut-uu-no-32-2004.html, Akses 09 Februari 2012.
http://saepudinonline.wordpress.com/2010/07/12/penyelenggaraan-otonomi-dan-legislasi-daerah-menurut-uu-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/, Akses 09 Februari 2012.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,