Kamis, 05 April 2012

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Peraturan daerah (perda) adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan perda sebagai salah satu instrumen yuridisnya.
Kedudukan dan fungsi perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar atau Konstitusi dan Undang-Undang Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah daerah .
Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang tentang Perundang-undangan, peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda.
Politik hukum nasional diarahkan terciptanya hukum yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya .
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem , asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat .
Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar pemerintah pusat dan daerah berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan . Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah sautu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat .
Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara .
Dengan bertitik tolak pada uraian tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH. Dengan rumusan masalah bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah?




BAB II
PEMBAHASAN


Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.  Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol pemerintah pusat. Kedudukan daerah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat.  Hubungan yang terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat.  Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan kepada daerah.  Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi.
Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004 yaitu:” Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lain.  Kewenangan di bidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Sebagai salah satu sumber hukum dalam hierarki perundang-undangan Indonesia  Pasal 136 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa suatu perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah.  Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.  Kewenangan membuat perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah  dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat.
 Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, ditentukan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Untuk mengurus dan mengatur urusannya sendiri, pemerintahan daerah berhak untuk membuat peraturan daerah sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi daerahnya. Peraturan daerah dapat berfungsi sebagai alat untuk memperlancar jalannya pemerintahan di daerah dan juga dapat memberi petunjuk terhadap hal-hal yang telah diatur dan dilaksanakan.
Dalam pasal 136 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaskud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya dalam penjelasan umum UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa “Kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Mahkamah Agung juga berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Pembentukan peraturan daerah berlangsung dalam proses perundang-undangan.  Tentang proses perundang-undangan M. Solly Lubis menyebutkan sebagai proses pembuatan negara.  Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan. proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya.  Maka peraturan perundang-undangan berupa UU, Perpu, PP, Peraturan Daerah dan sebagainya adalah produk atau hasil kegiatan pembuatan perundang-undangan itu. peraturan  perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari kegiatan perundang-undangan.
Pasal 1 angka 1 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan “Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”.
Dalam penyusunan perda perlu diprogramkan yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) , agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas. Oleh karena itu, instrumen prolegda sebagai bagian dari tahap perencanaan pembentukan perda sangat diperlukan.
Terdapat beberapa alasan pentingnya prolegda dalam pembentukan perda, yaitu: 
1.    Untuk memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan perda
2.    Untuk menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan perda untuk jangka waktu panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama DPRD dan pemerintah daerah dalam pembentukan perda
3.    Untuk menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah
4.    Untuk mempercepat proses pembentukan perda dengan memfokuskan kegiatan penyusunan rancangan perda menurut skala prioritas yang ditetapkan
5.    Menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan perda.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, prosedur penyusunan peraturan daerah    dapat diuraikan sebagai berikut:   
1.    Perencanaan
Penyusunan Prolegda dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Disusun berdasarkan atas: (a) perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi; (b) rencana pembangunan daerah; (c) penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan (d) aspirasi masyarakat daerah.
Kepala daerah memerintahkan pimpinan SKPD menyusun Prolegda di lingkungan pemerintah daerah. Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda. Penyusunan dan penetapan Prolegda dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Perda tentang APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Penyusunan Prolegda di lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota dengan mengikutsertakan instansi vertikal terkait apabila sesuai dengan kewenangan; materi muatan; atau kebutuhan dalam pengaturan. Hasil penyusunan Prolegda diajukan biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Kepala daerah menyampaikan hasil penyusunan Prolegda di lingkungan pemerintah daerah kepada Balegda melalui pimpinan DPRD.
2.    Penyusunan
Kepala daerah memerintahkan kepada pimpinan SKPD menyusun Rancangan Perda berdasarkan Prolegda. Pimpinan SKPD menyusun Rancangan Perda disertai naskah akademik dan/atau penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Rancangan Perda diajukan kepada biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota.  Dalam hal Rancangan Perda mengenai: APBD; pencabutan Perda; atau perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah beberapa materi; hanya disertai dengan penjelasan atau keterangan.
Rancangan Perda yang disertai naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah melalui pengkajian dan penyelarasan, yang terdiri atas: latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang akan diwujudkan; pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan dan arah pengaturan.
Rancangan Perda yang berasal dari kepala daerah dikoordinasikan oleh biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.  Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Rancangan Perda Provinsi yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi dari kepala biro hukum dan pimpinan SKPD terkait. Rancangan Perda kabupaten/kota yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi dari kepala bagian hukum dan pimpinan SKPD terkait. Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Rancangan Perda yang telah mendapat paraf koordinasi kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap Rancangan Perda yang telah diparaf koordinasi.  Sekretaris daerah menyampaikan Rancangan Perda kepada kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan Rancangan Perda kepada pimpinan DPRD untuk dilakukan pembahasan.
3.    Pembahasan
Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah dibahas oleh DPRD dan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.  Pembahasan dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.  Pembicaraan tingkat I Dalam hal Rancangan Perda berasal dari kepala daerah dilakukan dengan:  penjelasan kepala daerah dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Perda; pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perda; dan tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi. Pembicaraan tingkat II meliputi: (a) pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan: penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf; dan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna. (b) pendapat akhir kepala daerah.
4.    Pengundangan
Perda yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran daerah. Lembaran daerah merupakan penerbitan resmi pemerintah daerah. Pengundangan merupakan pemberitahuan secara formal suatu Perda, sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat. Perda yang telah diundangkan disampaikan kepada Menteri dan/atau gubernur untuk dilakukan klarifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan Perda dicantumkan nomor tambahan lembaran daerah ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda.
5.    Penyebarluasan
Penyebarluasan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan pemerintah daerah. Naskah produk hukum daerah yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diautentifikasi dan diundangkan dalam Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.
Unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah dituntut kemampuannya untuk dapat menetapkan kebijakan-kebijakan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya masing-masing dan selanjutnya menterjemahkannya ke dalam peraturan-peraturan daerah yang memenuhi unsur-unsur filosofis, yuridis dan sosiologis.  Serta memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta dasar filosofis bangsa dan negara, konstitusi, asas-asas peraturan perundang-undangan serta teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Peraturan daerah harus sesuai dengan keadaan masyarakat di mana peraturan daerah tersebut diberlakukan. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dituntut untuk memahami dukungan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakatnya, tetapi kenyataannya sering terjadi bahwa setelah diberlakukannya suatu peraturan daerah, timbul ketidakpuasan warga masyarakat karena substansi dari peraturan daerah dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat. Ketidakpuasan ini terjadi karena aspirasi warga masyarakat sebagai elemen lingkungan dari sistem pembentukan peraturan daerah kurang diperhatikan.
Berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan seksama dalam proses pembentukan undang-undang agar semua ketentuan yang diatur benar, tepat dan dapat dilaksanakan.  Merancang peraturan perundang-undangan juga menyangkut perancangan materi hukum yang merupakan sarana untuk menggerakkan perubahan sosial secara tertib.
Untuk merancang sebuah perda, perancang pada dasarnya harus menyiapkan diri secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut:  (1) analisa data tentang persoalan sosial yang akan diatur, (2) kemampuan teknis perundang-undangan, (3) pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan, (4)  hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus tentang perda.



BAB III
PENUTUP   

Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004 yaitu:” Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan di bidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Kewenangan membuat perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat.
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Pembentukan peraturan daerah berlangsung dalam proses perundang-undangan. Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), penyusunan, pembahasan, pengundangan dan penyebarluasan.



DAFTAR PUSTAKA

A.    Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.
Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

B.    Buku-buku
A. A Oka Mahendra. Reformasi Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI. 2006.
Bambang Yudoyono. Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD.  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001.
Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: CV. Trio Rimba Persada. 2003.
Faried Ali.  Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.
Flora Nainggolan. Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Medan: USU. 2009.
Iman Sudarwo. Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang Tentang Protokol. Surabaya: Penerbit Indah. 1988.
M. Solly Lubis. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung: Alumni. 1983.
------------------. Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni. 1978.
Rozali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Desa Secara Langsung. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
Sri Soemantri Martosoewignjo. Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali. 1981.
C.    Jurnal
I Wayan Suandi. Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Kertha Patrika. Edisi No. 1. Vol. 33. Januari 2008.

D.    Makalah
A. A Oka Mahendra. Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah. Makalah. BPHN Departemen Hukum dan HAM. Bali. 13-15 September 2005.
Himawan Estu Bagijo. Pembentukan Peraturan Daerah. Makalah. Surabay. FH Unair. Tanpa Tahun.
M. Solly Lubis. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.  Makalah. Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Medan. 02 Mei 2007.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,


PENEGAKAN HUKUM DALAM KONFLIK ADAT MASYARAKAT BALI


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban dan kedamaian bagi kehidupan mereka. Adat menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi. Kembali kepada tradisi yang disebut juga tradisionalisme kemudian menjadi pengganti dari sentralisme, yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.
Dapat dinyatakan bahwa, politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal, dimana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, kawitan,  komunitas dan lokalitas. Pada wujudnya yang lain, adat mempertegas ekslusivitasnya dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis yang akhirnya menimbulkan konflik-konflik horizontal yang mengerikan. Sejumlah konflik etnis menunjukkan bahwa adat dapat digunakan sebagai alat etnopolitis yang turut berkontribusi pada kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit, Poso,  Maluku Utara, ataupun di Bali. 
Bentrok massal antar warga desa adat di Bali hingga kini masih sering kali muncul ke permukaan, bahkan sampai merenggut korban jiwa, meskipun awalnya konflik itu hanya dipicu masalah sepele.  Konflik adat  selama  tahun 2011 terjadi di sejumlah tempat di Bali, antara lain melibatkan ratusan warga Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, menyerang warga Banjar Kawan di Kota Bangli, 45 kilometer timur Denpasar.
Ketenangan Bali sebagai pulau yang dikenal penuh kedamaian, tiba-tiba terusik ketika 17 September 2011, bentrokan massa "meletus" melibatkan warga Kemoning dan Budaga di Kabupaten Klungkung.  Tiba-tiba ratusan warga saling menyerang dengan membawa berbagai jenis senjata tajam. Polisi yang mengamankan kejadian tersebut pun harus menembakkan peluru karet guna mengendalikan keadaan. Bahkan satu warga tewas dalam kejadian konflik yang dikatakan bernuansa adat itu.   
Beberapa hari berselang setelah peristiwa Kemoning-Budaga, di Desa Pangkung Karung, Kabupaten Tabanan juga terjadi penghadangan terhadap penguburan jenazah salah satu warga. Kelompok masyarakat di desa itu bahkan melarang pihak keluarga untuk membawa ke luar jenazah menuju rumah sakit. Beruntung pihak kepolisian, pemkab setempat dan tokoh-tokoh masyarakat berhasil sedikit menenangkan suasana sehingga jenazah akhirnya dapat dikremasi di sebuah krematorium milik warga Pasek di Denpasar. Latar belakang permasalahan ditengarai karena persoalan keinginan pemekaran desa adat (desa pakraman). Di Kabupaten Bangli, juga sempat terjadi perseteruan adat yang melibatkan warga Desa Songan dengan Banjar Kawan. Pemicu bentrok karena perkelahian melibatkan salah seorang warga dari dua kawasan tersebut. Pada 2011, masih ada beberapa kasus bernuansa adat lainnya mulai dari masalah tapal batas hingga sengketa pura yang dapat dikatakan sedikit memberi noda bagi Pulau Bali yang terkenal dengan kedamaiannya.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai benturan antara realitas dan dinamika masyarakat dengan hukum yang berlaku. Mempertahankan hukum, berarti mengambil risiko menghentikan dinamika masyarakat; sementara mengikuti realitas dan dinamika, berarti melawan status quo yang ingin dipertahankan oleh kepastian hukum.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang penegakan hukum terhadap konflik adat masyarakat bali dari perspektif sosiologi hukum.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penegakan hukum terhadap konflik adat masyarakat bali dari perspektif sosiologi hukum?


 
BAB II
PEMBAHASAN

Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial.  Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat.
Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbul keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan. Sementara berbagai konflik yang muncul pada komunitas lainnya, dianggap biasa dan tidak perlu dihiraukan. Konflik adat yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat dan norma agama. Kejadian ini menyebabkan keseimbangan dalam suatu komunitas adat terganggu. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat Bali dan norma agama Hindu, sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan alam nyata (sekala) dan alam gaib (niskala).
Masyarakat Bali menilai komunitas adat dianggap sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat. Konflik ini diyakini bisa mengganggu alam sekala dan niskala. Maka penyelesaiannya juga lewat jalan sekala dan niskala. Cara yang paling murah menyelesaikan konflik adat yakni menyelesaikan sendiri konflik tersebut .   
Konsep antropologis memberikan tawaran dengan membagi sebuah proses perselisihan menjadi empat tahap. Potensi konflik, prakonflik, konflik dan sengketa.  Potensi konflik tampak ketika suatu masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang keberadaannya semakin menegas. Prakonflik sebagai tahapan berikutnya akan tampak apabila salah satu pihak kelompok dimaksud dalam praktik hubungan sosialnya merasa dirugikan oleh kelompok lain. Konflik adalah suatu keadaan yang menunjukkan bahwa seseorang atau sekelompok orang merasa tidak adil. Perasaan tidak adil tersebut digunakannya sebagai latar belakang munculnya kemarahan atau kedendamannya sedemikian rupa sehingga mereka mengeluh.  Keluhan yang belum ditanggapi oleh pihak lain ini disebut tahap konflik monadic dan apabila keluhan tersebut telah ditanggapi oleh pihak lain, maka konflik sampai pada tahap dyadic. Sedang jika peningkatan konflik menjadi pengetahuan umum yang pihak ketiga, baik perorangan maupun kelompok telah terlibat secara aktif ke dalam ketidakadilan atau ketidaksesuaian disebut sengketa, tahapan ini disebut triadic. Pada tahap  ini pihak ketiga terlibat karena prakarsa oleh salah satu atau kedua belah pihak utama atau pendukungnya atau atas permintaan pihak ketiga itu sendiri.
Pendekatan antropologi layak dipinjam untuk dapat menangkap suatu nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini mengingat pendekatan tersebut merekomendasikan penggali nilai hukum hidup dalam masyarakat setempat yang kasus hukum konkret tersebut terjadi untuk beberapa waktu lamanya.
Kehadiran hukum yang secara agresif mengintervensi kehidupan (alami) masyarakat, kekuatan tersebut akhirnya harus tenggelam, dari sesuatu yang semula ada dan bekerja efektif (manifest) berubah menjadi kekuatan yang tenggelam (latent).  Cukup banyak pusat-pusat kekuatan dalam masyarakat yang tidak bisa diambil alih oleh hukum, sekalipun hukum itu didukung oleh kewenangan, fasilitas dan pembiayaan. Kekuatan dan dinamika masyarakat tersebut tetap bergerak kendati mengalami peminggiran oleh hukum. Peminggiran ini dilakukan dalam bentuk monopoli kekuasaan, seperti perpolisian menjadi polisi negara, forum pengadilan menjadi pengadilan negeri, pendidikan menjadi sekolah-sekolah formal, pelayanan publik oleh pegawai negeri, perekonomian diatur oleh negara dan seterusnya.
Hukum tidak bisa meminggirkan secara total bentuk-bentuk tatanan atau penataan sosial di seluruh wilayah negeri ini. Kehadiran hukum modern yang sebagai tipe khas (distinct type), kemudian diadopsi oleh hukum nasional adalah relatif baru, jauh sesudah kehadiran tatanan asli Indonesia yang sudah bekerja sejak ratusan tahun sebelumnya.
Negara Republik Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945 tidak mulai dengan lembaran tatanan ketertiban yang kosong dan harus diisi oleh negara baru tersebut. Sejak kelahirannya, Negara Republik Indonesia sudah diikat oleh suatu sistem ketertiban, baik berupa hukum Hindia-Belanda, maupun banyak bentuk-bentuk tatanan lokal yang biasa disebut hukum adat.  Dengan demikian, hukum nasional didirikan di atas puing-puing ketertiban atau tatanan (asli) yang selama itu telah menunjukkan jasa dan karyanya yang mampu bekerja efektif selama ratusan tahun. Kehidupan pada aras lokal itu tidak bisa berhenti dengan kelahiran negara baru pada tahun 1945 itu, melainkan tetap bertahan, kendatipun harus tenggelam di bawah permukaan.  Keberadaan komunitas lokal dengan sekalian aktivitasnya akan muncul ke permukaan pada saat negara mengalami kemunduran.
Hukum sebagai beban bagi masyarakat lokal akan sangat terasa, apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh perubahan sosial yang besar, seperti industrialisasi dan penetrasi kehidupan modern. 
Hukum adat memiliki struktur yang sangat berbeda dengan hukum nasional yang nota bene adalah tipe hukum modern. Hukum nasional ini memiliki sekalian kelengkapan untuk bisa dijalankan secara efektif, mulai dari teks tertulis, aparat penegak hukum, dukungan finansial dan kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh negeri dan dipaksakan keberlakuannya. Rakyat harus mematuhi hukum nasional tersebut. Bahkan politik hukum masih menempatkan hukum adat di bawah hukum nasional, oleh karena keberlakuannya didasarkan pada legitimasi atau pengakuan keberadaannya oleh hukum nasional.
Dalam konteks pembangunan nasional diperlukan undang-undang hak ulayat yang mengatur lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak yang dipersamakan dengan badan hukum adat. Sebaliknya, juga perlu dilakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang tidak jelas kepemilikannya agat tidak menjadi tanah terlantar sehingga menyulitkan investasi masuk. Menurut Permenneg/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 baru mengakomodasi tanah-tanah yang sudah dilepas oleh  masyarakat hukum adat dapat dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum untuk didaftar, sedangkan bagi tanah ulayat yang masih dikuasai oleh masyarakat hukum adat belum ada aturannya yang jelas. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah pusat untuk menerbitkan peraturan/undang-undang tanah ulayat dan mengenai status lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak.
Apabila politik hukum yang menjadikan hukum adat sebagai landasan hukum nasional ingin dijalankan dengan sungguh-sungguh maka hukum negara harus turut menjaga kelestarian hukum adat. Apa yang terjadi adalah berseberangan dengan hal tersebut, karena hukum adat malah dibunuh secara perlahan-lahan. Pembunuhan tersebut terjadi karena negara membiarkan hukum adat bersaing dengan hukum nasional atau hukum negara yang penuh dengan kekuatan jauh di atas hukum adat. Mengetahui kelemahan hukum adat berhadapan dengan hukum nasional, maka negara dan pemerintah semestinya cepat-cepat mengeluarkan peraturan yang menjaga agar hukum adat tetap ada.
Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan, bahwa aktivitas dan dinamika di bawah dominasi negara itu tidak pernah bisa diam atau berhenti melainkan tetap bekerja. Dengan demikian bukan hanya negara yang sibuk mengurus bangsanya, melainkan secara otonom masyarakat itu juga sibuk mengatur dirinya sendiri, kendatipun tidak memiliki surat ijin resmi.
Tampaknya kehidupan masyarakat, rakyat, manusia, itu perlu terus mengalir dan dibiarkan mengalir. Tindakan, langkah, kebijaksanaan, yang akan menyebabkan aliran kehidupan itu berhenti adalah sungguh bertentangan dengan kemanusiaan. Negara dan hukum menyimpan potensi untuk menghambat aliran kehidupan itu dan oleh karena itu negara perlu bertindak hati-hati .
Hukum itu tentu hanya bisa berlaku apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka.  Maka komunikasi hukum melakukan masalah besar tersendiri, sebelum hukum itu dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat setempat, sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh hukum.
Gustav Radbruch berpendapat, bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu: kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kendatipun ketiganya mendasari kehidupan hukum, tetapi tidak berarti, bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan dan hubungan yang harmonis. Ketiganya lebih sering berada dalam suasana hubungan yang tegang satu sama lain.
Sampford mengatakan kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya. Orang ingin melihat bahwa kepastian hukum itu ada, sehingga sesungguhnya ia lebih merupakan suatu imajinasi daripada kenyataan.
Kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.  Merupakan beban berlebihan yang diletakkan di pundak hukum. Lebih dari pada itu, pemahaman dan keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi ideologi dalam hukum.
Kepastian hukum tidak otomatis lahir dari suatu produk legislasi. Peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian hukum, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan perilaku. Kepastian itu menjadi ada karena orang menghendaki bahwa ia ada.
Hubungan antara  hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.
Kepastian hukum bergandengan erat dengan keinginan mempertahankan situasi yang ada atau status quo. Situasi ini menghendaki agar semua terpaku pada tempat atau kotak masing-masing, tanpa hampir sama sekali memberi kelonggaran untuk keluar dari kotak-kotak tersebut.
Karl Renner mengatakan, bahwa sekarang perubahan hukum tidak dapat hanya dikaitkan pada perubahan peraturan atau teks formal. Perubahan hukum dapat terjadi pada saat substansi yang diaturnya mengalami perubahan dan hukum berusaha untuk mengakomodasikannya. Secara tegas memasukkan kemanfaatan sosial sebagai faktor yang turut mengubah hukum dan dengan demikian meninggalkan peran kepastian hukum. Apabila hukum memang tidak berubah dan diubah, kendati substansi sudah mengalami perubahan maka faktor kemanfaatan sosial mengambil alih peranan legislasi. 
Kesulitan hakim sebagai salah satu penegak hukum dalam menjatuhkan putusan dimaksud adalah mempertemukan tiga asas berikut, asas kepastian hukum sebagaimana telah diurai diatas, keadilan juga asas kemanfaatan. Hanya saja dalam pelaksanaan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Penggalian hukum harus dilakukan oleh hakim dengan landasan Pasal 27 UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman sebagaimana diperbaiki oleh Pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Secara normatif, penggalian nilai hukum adat dimulai dari pemahaman yang merujuk pada Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”. Prinsip ini dikenal dengan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum). Jadi, hakim niscaya meninggalkan perkara yang diajukan kepadanya, sekalipun hakim dimaksud betul-betul belum tahu hukum preskriptifnya atau hukum yang akan diterapkan belum ada ataupun kasus hukum konkret dimaksud belum diatur dalam undang-undang. Dalam konteks demikian, prinsip bagi hakim mengadili perkara-perkara hukum konkret dimaksud mencakup tiga pendekatan, sebagai berikut:
1.    Pendekatan legalistik (Formal)
Model yang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus hukum konkret yang hukum (baca: undang-undang) nya telah mengatur secara jelas sehingga hakim mencari, memilah, dan memilih unsur-unsur hukum dalam kasus hukum konkret dimaksud dan kemudian dipertemukan dengan pasal-pasal relevan dalam undang-undang dimaksud. Kepastian hukum ini diharapkan dapat menyelesaikan kasus hukum konkret secara tegas dengan tujuan melindungi terhadap tindakan sewenang-wenang. Sebuah asas yang mendorong hukum harus dilaksanakan ialah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
2.    Pendekatan Interpretatif
Hakim harus menemukan hukumnya dengan cara menginterpretasikan hukum atau undang-undang yang masih samar-samar dimaksud melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam kajian ilmu hukum. Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
3.    Pendekatan Antropologis
Terhadap kasus hukum konkret yang belum diatur undang-undang maka hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti dan menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Teknik yang sesuai menggali dikenal dalam antropologi hukum , yaitu bukan saja melakukan dept interview terhadap saksi-saksi kunci, tokoh-tokoh adat masyarakat yang kasus hukum konkret dimaksud terjadi, tetapi juga amat dianjurkan hidup bersama beberapa bulan di tengah-tengah masyarakat dimaksud dengan tujuan mampu menggali, menghayati dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat setempat.
Dalam kehidupan masyarakat selalu ada perselisihan, konflik, sengketa dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar tatanan susila, tatanan sosial dan tatanan sejenis lainnya. Bahkan perbuatan sejenis lainnya yang dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Kualitas perselisihan hampir selalu menyesuaikan perkembangan masyarakat itu sendiri, sebuah perkembangan yang dapat digolongkan ke dalam tiga tahapan: pertama, tahapan masyarakat sederhana; kedua, masyarakat kompleks dan ketiga masyarakat multi kompleks.  Namun pengelolaan persoalan perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat satu dengan yang lain berbeda tingkat dan corak cara penyelesaiannya.
Meskipun infrastruktur  ditingkatkan, bahkan suprastruktur, seperti lembaga ekstra yuridisial diterbitkan, persoalan-persoalan hukum pun tetap bermunculan. Dalam kasus sengketa yang diselesaikan melalui peradilan formal, ternyata perkara semakin hari semakin menumpuk di atas meja pengadilan, penyelesaiannya pun membutuhkan waktu lama, birokrasi berkepanjangan dan sebagian keputusan akhir tidak memuaskan banyak pihak. Dalam proses peradilan formal umumnya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah; pertama, proses peradilan berlangsung atas dasar permusuhan atau pertikaian antar pihak yang bersengketa mengingat pihak satu diposisikan secara berseberangan dengan pihak lain. Proses peradilan demikian tentu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan antara pihak satu dan yang lain secara tersubordinasi, yang pihak satu sebagai pemenang dan sebaliknya pihak lain sebagai pihak yang kalah; kedua, proses peradilan berjalan atas dasar rel hukum formal, statis, kaku dan baku, sehingga menyebabkan persoalan inti menjadi terabaikan atau setidak-tidaknya tertunda akibat melarutkan diri dalam persoalan prosedural formal; ketiga, proses peradilan sering tidak mampu menangkap niali-nilai sosial budaya yang muncul dalam kasus sengketa akibat para hakim merujuk pada aturan-aturan formal baku; keempat, proses peradilan berjenjang-jenjang dari institusi pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan kasasi.
Sebagai alternatifnya penyelesaian konflik atau sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung untuk mengatur proses dan menemukan keputusannya sendiri dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini merupakan penyelesaian perselisihan yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal.  Penyelesaian demikian ini dapat ditemukan dalam masyarakat guyub (gemeinschaft) serta belum mempunyai peradilan negara yang merata dan melembaga dan masyarakat gessellschaft, potensi lokal banyak digunakan karena dipandang efisien, cukup memuaskan pihak-pihak yang berselisih. Para pihak umumnya merasa puas terhadap keputusan yang dihasilkan dengan cara ini karena perselisihan tidak menjadi konflik terbuka. Dalam hal ini para pihak disarankan untuk lebih menekankan pada musyawarah, konsensus menuju keharmonisan sedemikian rupa sehingga cara-cara demikian dapat mempersingkat durasi waktu, menekan jumlah biaya, serta dapat langsung dilaksanakan. Latar belakang ini mungkin untuk mendasari banyak orang mengharapkan agar pihak-pihak yang sedang berselisih menyelesaikan sengketa kembali ke jalur budaya masyarakat setempat.
Dikemukakan teori hukum normatif dari Roscoe Pound yang menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Teori ini muncul berdasarkan atas asumsi bahwa hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat sangat peka akan datangnya kontrol sosial.  Sudah tentu yang dimaksud manusia ini adalah orang yang menggunakan perangkat hukum formal sebagai alat untuk mengontrol.
Pendekatan sosiologis dari teori Cochrane bahwa yang mengontrol hubungan-hubungan sosial dimaksud adalah masyarakat sendiri. Artinya, bahwa pada dasarnya masyarakat itu sendiri aktif menemukan, memilih dan menentukan hukum sendiri.
Franz von Benda-Beckmann bahwa hukum merupakan suatu konsep yang mencakup aturan-aturan rumit yang terdiri atas konsepsi-konsepsi normatif atau kognitif, dasar-dasar tindakan, aturan-aturan, serta prinsip-prinsip dasar yang ada pada setiap masyarakat. Oleh karena itu tindakan individu atau kelompok yang terlibat dalam suatu sengketa menjadi penting jikalau dalam penulisan masalah penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal ini digunakan model studi kasus, yaitu mempelajari suatu kasus konflik atau sengketa yang terjadi secara nyata dalam masyarakat dan diselesaikan di luar forum pengadilan. Penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dimaksud biasa dilakukan dengan cara negoisasi, mediasi dan arbitrasi.  Negoisasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang menekankan suatu komunikasi verbal yang pihak-pihak terlibat suatu sengketa menyelesaikan sendiri tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menekankan suatu komunikasi verbal antara pihak-pihak yang terlibat sengketa dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral dan tidak mempunyai kewenangan memutuskan. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa yang menekankan komunikasi antar pihak yang terlibat suatu sengketa dengan kehadiran pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan.
Apabila substansi penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal adalah upaya konkret para pihak yang berselisih untuk menemukan hukumnya sendiri, maka upaya penyelesaian perselisihan tersebut telah lama dikenal bangsa Indonesia, bahkan upaya tersebut telah melembaga kedalam apa yang disebut peradilan desa (doorpsjustice). Namun, penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal pada peradilan desa tersebut pada asasnya menjalankan pendidikan hukum yang didasarkan kepada suatu prinsip bahwa hukum diciptakan tidak untuk dilanggar tetapi untuk dihormati dan ditaati agar tercapai perdamaian.  Pada saat itu, orang yang melanggar hukum dipandang sebagai melanggar ketertiban umum. Peradilan desa sebagai pengadilan ketertiban yang diselenggarakan bukan untuk membalas dendam atau membalas kesalahan, melainkan untuk membangun perdamaian.
Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal di atas menunjukkan bahwa jika terjadi sengketa di antara anggota masyarakat, mereka cenderung menyerahkan kepada pihak adat untuk menyelesaikan berdasarkan hukum adat secara kekeluargaan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa berdasrakan potensi lokal di luar pengadilan formal telah lama ada dan hingga kini masih hidup dalam masyarakat Indonesia.



BAB III
PENUTUP

Dapat dinyatakan bahwa, politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal, dimana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, kawitan,  komunitas dan lokalitas.
Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbul keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan.
Pendekatan antropologi layak dipinjam untuk dapat menangkap suatu nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kehadiran hukum yang secara agresif mengintervensi kehidupan (alami) masyarakat, kekuatan tersebut akhirnya harus tenggelam, dari sesuatu yang semula ada dan bekerja efektif (manifest) berubah menjadi kekuatan yang tenggelam (latent).
Dalam konteks pembangunan nasional diperlukan undang-undang hak ulayat yang mengatur lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak yang dipersamakan dengan badan hukum adat. Disinilah hakim sebagai aparat penegak hukum memainkan perannya. Dimana Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Secara normatif, penggalian nilai hukum adat dimulai dari pemahaman yang merujuk pada Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”
Meskipun infrastruktur ditingkatkan, bahkan suprastruktur, seperti lembaga ekstra yuridisial diterbitkan, persoalan-persoalan hukum pun tetap bermunculan. Sebagai alternatifnya penyelesaian konflik atau sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung untuk mengatur proses dan menemukan keputusannya sendiri dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini merupakan penyelesaian perselisihan yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal.



DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-buku
Mertokusumo, Sudikno&Plito. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993.
Nader dan Todd. The Disputing Process: Law in The Societies. New York: Colombia Press. 1978.
Rahardjo, Satjipto.  Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2007.
Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta: PT Grasindo. 2010.
B.    Makalah
Policing dan Kamtibmas Dalam Rangka Pemeliharaan Kedamaian Pasca Konflik Di Indonesia. Disampaikan Dalam FGD ProPatria Institute Suistainable Peace in Post Conflict Indonesia. Di Hotel Ambhara. Jakarta. Tanggal 11 Maret 2009.

C.    Surat Kabar
Suhadibroto. Menang Tanpo Ngasorake. Jakarta: Kompas. 1993.
D.    Data Elektronik
http://beritabali.com/index.php/page/opini/detail/Konflik-Horizontal-dan-Adat-, Akses 22 Februari 2012.
http://oase.kompas.com/read/2011/12/15/19221098/Konflik.Adat.yang.Tak.Pernah.Tuntas, Akses 22 Februari 2012.
http://bali.antaranews.com/berita/17471/keterlenaan-masyarakat-bali-pengaruhi-konflik-adat, Akses 22 Februari 2012.
http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=1129, Akses 22 Februari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,


KASUS KONFLIK HORIZONTAL SAMPANG TELAAH SOSIOLOGI HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Konflik dua kelompok berbeda keyakinan di Sampang, Madura, merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara. Namun, fakta ketegangan antar kelompok beragama semakin rumit di masa datang. Apalagi konflik juga bercampur etnis tertentu. Akibatnya, pola kekerasan dapat meluas pada isu-isu lain yang berkaitan di antara agama etnis tersebut . Terjadi pembakaran tiga rumah dan musala pengikut Syiah di Karanggayam, Sampang, Madura, Jawa Timur, kamis (26/12), yang dilakukan oleh ratusan warga di sekitar perkampungan aliran Syiah. Kejadian ini dipicu persoalan perbedaan pemahaman Islam antara dua warga yang bersitegang.
Menurut warga setempat, insiden pembakaran itu diprovokasi oleh penyebaran sekte Syi’ah yang dilakukan kepada umat Islam. “ Dianggap ajaran yang disebarkan oleh Kiai Tajul Muluk menyimpang dari ajaran Islam dengan mengajarkan door to door. Makanya, warga semakin geram,” terang Juhaidi (45), salah satu tokoh masyarakat setempat yang berada di lokasi kejadian .
Beberapa masalah yang selama ini menjadi jurang pemisah dengan Islam, menurut KH Abdusshomad, karena ajaran Syi’ah itu tidak mau menerima riwayat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Usman bin Affan. Sekte Syi’ah melainkan hanya mengakui Ali bin Abi Thalib . Akibat tidak diakuinya hadist dari tiga shahabat, yaitu Abu Bakar, Umar, dan Usman, setidaknya membuat beberapa cara beribadah dari Syiah sangat berbeda dengan Sunni. Perbedaan itu, misalnya, Syiah menggabungkan dua shalat antara zuhur dan asar digabung di waktu zuhur, lantas magrib dan isya digabung pada waktu magrib.
Tak hanya itu, sekte Sy'iah juga tidak mewajibkan shalat Jumat. Azan salat aliran Syiah juga berbeda dengan Sunni. Dan perbedaan yang tajam adalah doktrin kawin kontrak yang dipraktikkan Syi'ah. “Mereka juga tidak mewajibkan untuk shalat Jumat dan membolehkan nikah mut’ah (kawin kontrak, red),” imbuhnya.
Minimnya sikap toleransi keagamaan plus pendapatan menjadi pangkal kekerasan dengan melegalkan segala cara atas nama agama. Kondisi ini memang tidak murni terjadi di wilayah agama saja. Kekerasan dalam berbagai penampakannya dipicu oleh banyak faktor. Realitas tumbuhnya pluralitas agama dan paham keagamaan itu merupakan fakta yang tak dapat diingkari. Pluralitas agama dan paham keagamaan berjalan bersamaan dengan perkembangan masyarakatnya.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menjelaskan,’’Jadi jangan pernah berpikir menghentikan laju itu. Karena secara nyata sulit sekali distop,’’ terang dia . Langkah yang diperlukan, kata cendekiawan muslim ini, perlu dibangun struktur sosial yang lebih baik. Dengan mengedepankan etika sosial di masing-masing kelompok. Tidak membiarkan hilangnya dialog dalam etika sosial tersebut. Menurutnya, paham-paham eksklusif yang tumbuh dalam lingkup beragama hanya dikembangkan bagi kelompoknya. Tidaklah selalu tepat menyampaikan paham itu pada wilayah publik. Inilah yang dinamakan etika sosial beragama. ’’Kita perlukan kedewasaan umat beragama dan penegakan etika publik serta hukum,’’ tandas tokoh pluralisme ini. Komaruddin mengemukakan, butuh kearifan dan kebijaksanaan yang sangat fundamental dalam memahami persoalan ini. Indonesia mesti benar-benar mengantisipasi problem tersebut. Apalagi, beberapa tahun terakhir kekerasan itu terus mengemuka.
Bahkan terkesan penyelesaian konflik agama etnis ini hanya bermodelkan kekerasan. Hampir semua ketegangan itu bermuara pada kekerasan antar kelompok. ’’Pemerintah harus mengambil sikap tegas. Aparat polisi harus bertindak terhadap pelaku kekerasan tersebut. Tak bisa dibiarkan tanpa penindakan’’. Penegakan hukum positif dan mediasi sosial menjadi kunci penuntasan konflik. Tidak lah pantas mengabaikan penegakan hukum dengan dalih agama, karena pelanggaran hukum merupakan bentuk pelanggaran etika sosial.
B.    Rumusan Masalah
1.    Peranan sosiologi hukum dalam penuntasan konflik horizontal?



BAB II
PEMBAHASAN

Konflik sosial yang terjadi di Sampang merupakan bukti lemahnya ruang dialog yang dibangun pemerintah. Hingga kekerasan antara dua kelompok itu tak terhindarkan. Lemahnya ruang dialog itu, diperparah dengan ketidakmampuan aparat kepolisian setempat melakukan cegah-tangkal terkait kerusuhan tersebut. Akibatnya perusakan dan pembakaran musala dan pesantren itu terjadi. ’’Ada dua titik yang perlu diketahui dalam persoalan ini, yakni membangun budaya dialog dan ketegasan penegakan hukum’’.
Menurut Hendardi, berdasarkan catatan Setara Institute sejak 2009-2011, kekerasan yang dipicu isu-isu agama terus meningkat . Meski dengan pola dan tindakan berbeda-beda, namun tetap mengemas perbedaan paham agama. Kenaikan angka kekerasan tersebut, lanjut Hendardi, membuktikan tidak optimalnya pemerintah membangun dialog antar kelompok-kelompok beragama itu. Bahkan terkesan tidak ada upaya signifikan terhadap pembangunan dialog antara kelompok agama.
Hukum yang mengatur masyarakat tidak mengalir secara langsung dari hukum dasar normative. Prinsip-prinsip abstrak itu harus diwujudkan dalam suatu tata hukum tertentu supaya berlaku.  Untuk itu dibutuhkan pengolahan hukum oleh pembuat hukum (yuris), dan penetapan hukum oleh orang-orang yang berwenang.
Dalam menentukan apa yang harus menjadi peraturan hukum pertama-tama harus diperhatikan konteks social, yakni seluruh situasi sosial ekonomi masyarakat dalam zaman tertentu.  Situasi konkret suatu masyarakat terjalin erat dengan sejarah dan jiwa bangsa tertentu. Dalam perkembangan kehidupan suatu bangsa dengan sendirinya timbullah suatu rasa hukum tertentu.  Itu berarti bahwa dalam kehidupan bersama beberapa prinsip akan diberikan tekanan, sedangkan prinsip-prinsip lain kurang ditonjolkan.[1]
Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.
Sosiologi hukum penting untuk dipahami mengingat hukum terkonstruksi ke dalam norma-norma yang dipatuhi masyarakat tidak sekedar merupakan peristiwa kosong atau tunggal, melainkan berada dalam berbagai situasi dan kondisi sosiologis atau relijius yang mustahil dapat dihindarkan keberadaannya. Upaya memberikan penafsiran hukum tidak saja berdasarkan pada teks (law in book) tetapi pada konteks (law in action) . Menurut Satjipto Rahrdjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1.    Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum ;
2.    Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum ;
3.    Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai tetsachenwssenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.
Hobbes memandang hubungan moralitas dengan peran pribadi masyarakat tidak terlepas dari peran negara . Moralitas dipandang sebagai sifat atau karakter pribadi dari seseorang, maka isinya tidak lain yang muncul dalam keseharian adalah kejujuran, kebaikan, kesetiaan dan damai pengorbanan. Tampaknya merupakan hal yang melekat dan wajah utama dari hukum negara. Dengan institusi kepolisian kekuasaan negara melekatkan kelangsungan hubungan sosial. Namun jika hukum dipandang sebagai memformalkan dan membuat kerangka hubungan antara paksaan dan ketergantungan maka kesesuaian antara hubungan solidaritas dengan adanya ketergantungan satu sama lain menimbulkan keraguan .
Seharusnya pada era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudotoleransi, yaitu toleransi yang rentan konflik-konflik komunal . Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi harus terkait baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil. Disamping itu nilai dasar setiap agama adalah toleransi, terutama agama Islam tidak kurang dari 300 ayat menyebut mutiara toleransi secara eksplisit. Sehubungan dengan kedua hal tersebut, dipandang penting adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat plural yang demokratis untuk memperkuat ketahanan sosial. Permasalahannya sekarang bahwa toleransi dalam kehidupan bersama semakin lemah dan anti toleransi serta anti pluralisme semakin menguat.
Secara umum dan prinsip antara penganut Sunni dan Syiah tidak ada yang berbeda. Perbedaan ada pada penafsiran cabang-cabang dalam pemahaman masing-masing. Pokok ajaran yang harus diikuti penganut Syiah adalah mengikuti Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad SAW dan bersandar pada Al Quran dan Hadis. Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad SAW terdiri dari putri Nabi, Siti Fatimah Az-Zahra, Hasan dan Husein anak mereka. Ali dalam lingkaran Ahlul Bait masuk jalur paling utama sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Sedang penganut Sunni mengakui khalifah yang empat seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Dalam mengambil keputusan merujuk pada Al-Quran dan Hadis, Qias, Ijma, pendapat sahabat, mengadopsi empat mazhab. Tentunya penganut Sunni juga sangat menghormati Ahlul Bait .
Adanya hubungan yang saling berkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.  Apabila hukum itu semakin digarap atau diperlakukan sebagai suatu bidang tersendiri di dalam masyarakat sebagaimana halnya di dalam masyarakat yang kompleks dengan sistem yang logis konsisten, dengan istilah-istilah serta pengertian-pengertian yang bersifat sangat teknis dan sebagainya, maka justru semakin dirasakan perlunya untuk mencari perkaitan antara sistim hukum yang ada dengan anggota-anggota masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan hukum itu. Perbedaan ini sudah menjadi fitrah Allah, maka amat naif jika kita tidak melihat dan menerima apa adanya .
Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial . Sesuai dengan topik diskusi konflik yang dibahas hanya yang bersifat masal yang untuk tujuan analisis dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horizontal dan vertikal dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerinth/penguasa dengan warga masyarakat. Bentrok beraroma agama yang melibatkan penganut Sunni vs Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur merupakan salah satu dari perwujudan konflik horizonal.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konfik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring menggeloranya era reformasi yang dampaknya tidak hanya mengganggu ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup mengkhawatirkan bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Di sisi lain hal yang perlu juga diperhitungkan yang mungkin juga dapat menimbulkan potensi konflik atau paling tidak menambah peluang terjadinya konflik dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan pemerintah, misalnya :
1.    Kebijakan atau keputusan pemerintah yang kurang tegas, mengambang atau ragu-ragu sehingga menimbulan multitafsir dan menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat mengundang konflik
2.    Kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif atau dinilai kurang memperhatikan kepentingan rakyat banyak atau kebijakan yang menimbulkan kritik sehingga menimbulkan polarisasi pendapat dan ketegangan dikalangan masyarakat.
Hukum yang diperkaitkan dengan masyarakat luas yang menjadi latar belakangnya dapat pula dilihat sebagai suatu pernyataan kehendak dari para anggota masyarakat.  Hukum itu tidak akan terlepas dari gagasan-gagasan pendapat-pendapat serta kemauan-kemauan yang hidup di kalangan anggota masyarakat .
Beroperasinya hukum di masyarakat (ius operatum) atau law in ation dan pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat; dari segi statiknya (struktur), kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosal, dari segi dinamiknya (proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (sosial institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan sosial yang manifest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normatif tetapi secara konstektual sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika sosial dalam rangka seaching for the meaning . Diharapkan dapat menjelaskan fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normatif, disparitas hukum, terjadinya dieviani behavior, anomaly hukum, ketidak patuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah melalui pendekatan ini. Sebaiknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-olah hukum tertulis menjadi tidak diperlukan, tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum, bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum yang membawa masyarakat kearah kekerasan. Perwujudan dari masyarakat yang tidak percaya dengan hukum.
Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role accupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seseorang itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan  yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap  peraturan hukum merupakan fungsi perturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan. Disinilah ketegasan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum sebagai upaya dalam memerankan tugas dan fungsinya untuk melindungi masyarakat. Bagaimana para pembuat  undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial menjadi hal yang berpengaruh salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supermasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti. Kaidah sosial dan kaidah hukum sulit dibedakan: dikarenakan karena keduanya teroperasi secara bersama dalam masyarakat. keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol, terjadi saling tark di antara kedua-duanya. Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi: kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.  Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara universal. Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
Ada empat fungsi bekerjanya hukum (four law jobs) : Fungsi pertama, memandang hukum sebagai suatu persetujuan untuk dapat menyelesaikan masalah akibat suatu persengketaan secara tertib dan luar biasa. Kedua, sebagai saluran pencegahan dan suatu penuntun dan harapan untuk mencegah konflik. Ketiga, mengalokasikan suatu kewenangan dalam suatu kelompok. Keempat, batas pengarah suatu organisasi dan harmonisasi dari berbagai aktifitas antara kelompok yang menyediakan arah dan insenktif bagi setiap anggota masyarakat.
Parson mengakui akan adanya sistem sosial yang harus dikendalikan oleh hukum, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi kajian bagaimana sistem sosial tersebut berfungsi untuk melayani suatu masyarakat . Pertama, pencapaian tujuan (goal attaintment) dengan mengharuskan sistem selalu bergerak secara berkelanjutan mencapai tujuan. Kedua, pola pemeliharaan sistem sosial, menciptakan, memelihara dan mengembalikan energi, motif dan sistem nilai dari anggota masyarakat sehingga seluruh pola dan sistem nilai dan energi dalam suatu masyarakat selalu menghasilkan suatu produk. Ketiga, adaptasi bahwa sistem dalam suatu arena lebih luas dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan termasuk di dalam lingkungan fisiknya.
Hukum memiliki tugas yang khusus untuk mempromosikan keterpaduan dari berbagai perbedaan elemen dari kehidupan bersama. Sebab di negara-negara barat modern, otonomi hukum diperoleh dari implikasi fungsi khusus suatu badan/organisasi. Sejauh ini keteraturan hukum dan hubungan-hubungan kekuasaan yang dalam berbagai cara memberikan kontribusi terhadap stabilitas sosial . Stabilitas sosial tersebut timbul dan untuk selanjutnya menimbulkan bentuk-bentuk perlindungan terhadap solidaritas sosial yang ada dan bahkan dalam keadaan komplek sekalipun, berbeda-beda dan membuat masyarakat kontemporer bersebrangan. Karena itu sejauh solidaritas tersebut masih ada dalam masyarakat yang komplek, maka adanya koordinasi merupakan keniscayaan. Sebagaimana dipahami Durkheim, aturan sosial diperlukan untuk menyediakan suatu koordinasi dan mengkomunikasikan pertanggungjawaban umum dan khusus terkait dengan individu dan kelompok yang berbeda diantara solidaritas masyarakat. Dengan kata lain, komunikasi dan koordinasi merupakan dua elemen penting dalam kohesi sosial melalui solidaritas organik.
Terdapat tiga tingkat untuk memahami adanya perubahan sosial yang membawa dampak luar biasa : Pertama, perubahan dapat membawa dampak terhadap perubahan pola tingkah laku dan perbuatan seseorang. Kedua, secara fundamental perubahan terjadi karena berimbas pada perubahan norma-norma kelompok atau merubah pola normatif hubungan individual dan kelompok (perubahan pada bidang ekonomi, politik dan sistem sosial). Ketiga, perubahan juga terjadi karena timbulnya imbas perubahan pada kebiasaan dan nilai-nilai dasar.


BAB III
PENUTUP


Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Sesuai dengan topik diskusi konflik yang dibahas hanya yang bersifat masal yang untuk tujuan analisis dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horizontal dan vertikal dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerinth/penguasa dengan warga masyarakat. Bentrok beraroma agama yang melibatkan penganut Sunni vs Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur merupakan salah satu dari perwujudan konflik horizonal.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konfik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial menjadi hal yang berpengaruh salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supermasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti. Kaidah sosial dan kaidah hukum sulit dibedakan : dikarenakan karena keduanya teroperasi secara bersama dalam masyarakat. keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol, terjadi saling tark di antara kedua-duanya. Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi: kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.  Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara universal. Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
Hukum memiliki tugas yang khusus untuk mempromosikan keterpaduan dari berbagai perbedaan elemen dari kehidupan bersama.



DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku-buku
Jawahir Thontowi, “Hukum Sebagai Sarana Penciptaan Ketertiban dan Keadilan Masyarakat”, Makalah disampaikan Sebagai Bahan Ajar Mata Kuliah sosisologi Hukum di Magister Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 12 September  2011.
Jawahir Thontowi, “Sosiologi Hukum Kontemporer”, Makalah disampaikan Sebagai Bahan Ajar Mata Kuliah sosisologi Hukum di Magister Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Juni 2011.
“Policing dan Kamtibmas Dalam Rangka Pemeliharaan Kedamaian Pasca Konflik Di Indonesia”, Disampaikan Dalam FGD ProPatria Institute Suistainable Peace in Post Conflict Indonesia, Di Hotel Ambhara, Jakarta, Tanggal 11 Maret 2009.
Satjipto Rahardjo, “Hukum dan Masyarakat”, Penerbit Angkasa Bandung, tahun 1980.

B.    Data Elektronik
http://www.setara-institute.org/id/content/konflik-agama-makin-rumit, “Konflik Agama Makin Rumit”, Akses 24 Januari 2012.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/12/29/17232/provokatif-tak-tahu-diri-pusat-sekte-syiah-sampang-dibakar-oreng-madure/, “Sekte Syi’ah Provokatif dan Tak Tahu Diri”, Akses 24 Januari 2012.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/12/29/17232/provokatif-tak-tahu-diri-pusat-sekte-syiah-sampang-dibakar-oreng-madure/, “Sekte Syi’ah Provokatif dan Tak Tahu Diri”, Akses 24 Januari 2012.
http://www.depsos.go.id/unduh/Abu_Hanifah.pdf, “Toleransi Dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial”, Akses 26 Jauari 2012.
http://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/features/2389/menelisik-konflik-yang-disebut-antara-sunni-dan-syiah-di-sampang-awalnya-konflik-keluarga-aparat-telat-menangani.html, Akses 25 Januari 2012.
http://www.indopos.co.id/index.php/berita-indo-rewiew/19689-sda-bentuk-tim-khusus-investigasi-kasus-sampang.html, Akses 24 Januari 2012.
http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2011/04/11/, “Teori Hukum Positivistik dan Teori Hukum Sosiologis Dalam Percaturan Perkembangan Teori Hukum”, Akses 25 Januari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,


PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PEMBENTUKAN ATURAN HUKUM PIDANA


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum di Indonesia dalam kenyataan tampak tersendat-sendat dan bahkan sering terjadi stagnasi, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya. Pendekatan legalistik yang berorientasi repressif hanya merupakan pengobatan simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang ampuh, sehingga diperlukan pendekatan dan kebijakan komprehensif baik keilmuan hukum maupun pendekatan di luar keilmuan hukum seperti pendekatan sosiologi, kultural, keagamaan, ekonomi, manajemen dalam penyelenggaraan negara . Dengan pendekatan yang bersifat komprehensif diharapkan ditemukan solusi dalam pencegahan pelanggaran hukum dan penegakan hukum yang lebih optimal dan efektif.
Pandangan tentang perbedaan yang besar antara teori dan praktik mengandung kebenaran namun bersifat relatif dan terkadang bersifat subyektif, namun demikian adanya pandangan tersebut tidak berarti bahwa perbedaan tidak dapat diatasi atau didekatkan karena pengalaman yang benar sering memerlukan juga perubahan-perubahan terhadap teori-teori yang telah dibangun sebelumnya. Bersikukuh kepada teori tanpa mempertimbangkan pengalaman yang benar juga bukanlah merupakan suatu pendirian atau langkah bijaksana. Dalam konteks tersebut di atas, sering dihadapkan kepada kendala, baik kendala hukum materil maupun hukum formil, kendala birokrasi, maupun kendala sosial dan psikologis. Teori-teori hukum pidana yang telah dikembangkan selama ini sering kurang mendukung langkah-langkah konkrit aparat penegak hukum, bahkan teori pembuktian dalam hukum pidana sering kurang relevan lagi dengan perkembangan sosial masyarakat.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peranan politik hukum pidana dalam pembentukan aturan hukum pidana?



BAB II
PEMBAHASAN


Politik hukum ialah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum .
Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rakngkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto , istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:
1.    Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;.
2.    Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.
Hubungan antara politik dan hukum bahwa hukum merupakan produk politik . Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dapat dirumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disni hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakkannya.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling tidak, untuk dua hal : Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.
Dua hal ini penting karena keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan ‘jembatan’ antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Politik hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau basic policy) Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Pemberlakuan” atau enactment policy). 
Suatu ketentuan, khususnya dalam bentuk undang-undang yang akan dibentuk selalu diletakkan lebih dulu politik hukumnya (legal policy) atas suatu pembentukan undang-undang, maka dalam hal ini menyangkut apakah perlu dilakukan pembentukan atau perubahan atas suatu undang-undang yang sudah ada, seberapa jauh perubahan harus dilakukan dan bentuk-bentuk perubahan yang diperlukan dalam rangka untuk merespon dan mengakomodir kepentingan pihakpihak yang akan diatur. Dengan demikian, bahwa payung politik hukum (legal policy) yang utama dalam setiap ketentuan perundang-undangan harus selalu bermuara pada tujuan negara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 .
Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan .
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Paul Scholten menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logikal bahan-bahan positif, yakni undang-undang dan vonis . Bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan.
     Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati . Melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka . Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen.
Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas :
1.    Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
2.    Dalam arti yang lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
3.    Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy) . Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Karena bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya satu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah mengenai dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science disamping criminology dan criminal law .
Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Dalam kaitan ini kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan . Sedangkan pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodiputro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat . Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial.
Jika demikian politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan benar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya .
Pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya dalam pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut .
Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana .
    Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan ada habisnya mengingat justru aspek pidana inilah bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana . Masalah pidana sering dijadikan tolok ukur sampai seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan .
Dalam menghadapi masalah sentral yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut :
1.    Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakanperbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
4.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejumlah mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat .
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif . Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan .
Upaya pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Tidak efektifnya hukum dalam memainkan fungsi dan perannya di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh tidak layaknya Pancasila  sebagai paradigma tetapi sebaliknya disebabkan oleh penyimpangan dari paradigma Pancasila itu .
Beberapa pakar sosiolog sering mengatakan bahwa bagaimanapun baik suatu peraturan perundang-undangan, namun kalau substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu merupakan huruf-huruf mati. Oleh karena itu, hendaknya kalau membuat peraturan hendaknya memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu : (1) Undang-undang yang dibuat harus jauh berlaku ke depan (predictability), (tidak mudah merubah karena alasan-alasan tertentu); (2) Dapat diimplementasikan (applicable); (3) Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di dalamnya kepastian hukum (certainty). Di samping itu menurut Ion Fuller ada 8 (delapan) asas yang harus diperhatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu :
1.    Harus mengandung peraturan;
2.    Peraturan yang telah diatur harus diumumkan;
3.    Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4.    Peraturan harus dirumuskan sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti;
5.    Suatu susunan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya;
6.    Peraturan tidak boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan;
7.    Tidak boleh terlalu cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum kehilangan orientasinya;
8.    Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan peraturan pelaksanaanya.

Untuk itu, maka diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai penegakannya (enforceability) yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria yaitu :
1.    necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis dan terencana;
2.    adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi,
3.    legal certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;,
4.    actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;
5.    feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya;
6.    verifiability, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji secara objektif;
7.    enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar diaati dan dihormati; dan
8.     provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.

Salah satu kelemahan dalam pembangunan hukum kita saat ini adalah dalam tataran implementasinya bukan dalam tataran pembentukan hukumnya (penciptaan hukum positif, karena soal penciptaan hukum normative Indonesia luar biasa hebatnya), karena begitu suatu undang-undang disahkan atau diberlakukan, maka dengan berbagai macam kendala akan timbul, karena persoalan hukum bukan sekedar hanya persoalan susunan norma-norma atau untaian kata-kata manis, tetapi menjadi persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya dll .
Belum lagi kalau kita berbicara mengenai kelemahan dalam berbagai substansi peraturan perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk diimplementasikan, overlapping substansi antara satu undang-undang dengan undang-undangan lainnya, saling rebutan kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya phenomena tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena sesama pejabat publik atau civil servant tidak perlu rebutan kewenangan, karena tujuan keberadaan civil servant adalah melakukan tugas sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh negara. Namun karena kewenangan atau kekuasaan sering dijadikan sebagai sarana untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan (abuse of power), maka ada kecenderungan untuk selalu meminta kekuasaan yang lebih melalui suatu UU.



BAB III
PENUTUP

Politik hukum ialah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. Melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional.
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-buku
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum di Indonesia, Makalah Slide 2005, Disampaikan Pada Mata Kuliah Hukum dan Pembangunan di FH UII, 15 Januari 2012.
Laporan Simposium, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Semarang, 1980.
A.    Lon L. Fuller, The Morality of Law,  Yale University Press, Nw Haven and London, 1969.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge&Kegan Paul, London, 1965.
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan), dalam Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1994
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Mudzakkir, Sistem Pengancaman Pidana Dalam Hukum Pidana, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993.
Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.
Panggabean, Tanggapan Atas Ruu Tentang Sistem Peradilan Anak, Disampaikan Dalam Acara Sosialisasi RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Medan, Tanggal 18 Juni 2010.
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Dalam Seri Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbitan Tak Berkala No. 1, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997.
Sahetapy, Hukum Dalam Konteks Politik dan Budaya, Dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari), XXII), No. 1, 1993.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983.
Teguh Prasetyo&Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban Perbuatan Pemerintah (bestuurshandeling): Suatu Kajian dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, (Jurnal Magister Hukum UMS “Jurisprudence”, Vo. 2 Thn. 2004.

B.    Data Elektronik
“Politik Hukum Pidana Dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, http://pa-tilamuta.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:politik-hukum-pidana-dalam-perspektif-penegakan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia&catid=39:artikel&Itemid=60, 21 Januari 2012.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH