Jumat, 16 September 2011

PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Hukum berasal dari bahasa Arab ‘hukmu’ (mufrad)‘ahkam’ (jama') yang diderivasikan dari kata kerja ‘hakama-yahkumu-hukm’ yang berarti al-qadha` bi al-'adl, yakni memutuskan perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk jamaknya adalah al-hukkam[1].
Filsafat hukum islam merupakan terjemahan bebas terhadap  kajian al-Qawâ'id al-Maqâshidiyyah, oleh sebab itu materi ini mengkaji sama dengan objek kajian al-Qawâ'id al-Maqâshidiyyah. Serta membahas falsafah al-Tasyrî’ dan falsafah al-Syarî’ah. Filsafat hukum islam ini memiliki arti penting dalam kajian hukum islam ketika melakukan proses ijtihad dan ketika memahami hikmah yang termuat dalam setiap hukum syara’, sehingga dengan mengkaji materi ini diharapkan akan memiliki wawasan yang luas tentang masalah-masalah esensial dan substansial dalam kajian ushul-fiqh. Kemudian menguasai nilai-nilai filosofis yang dapat diterapkan dalam proses ijtihad dan mampu menjelaskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan hukum syara’[2].
Hukum islam sering dipahami oleh orang barat sebagai terjemahan dari “Islamic Law” yang menyamaknnya dengan istilah syari’at, tasyri’ dan fiqh. Untuk itu selnajutnya akan dijelaskan masing-masing dari istilah diatas.
1.      Syari’at
Kata syari’at dalam bahasa Arab berarti tempat air minum yang selalu menjadi tempat, baik tujuan manusia maupun binatang. Syari’at dalam pengertian ini kemudian berubah menjadi sumber air dalam arti sumber kehidupan yan dapat menjamin kebutuhan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu syari’at dalam arti hukum islam berarti hukum-hukum dan tata aturan yang disampaikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya. Syari’at berarti sumber islam yang tidak berubah sepanjang masa[3].
2.      Tasyri’
Dalam bahasa Arab dijumpai kata syara’a yang berarti membuat jalan raya, suatu jalan yang besar yang menjadi jalan utama. Berarti pembentukan hukum islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis[4].
3.      Fiqh
Fiqh dalam bahasa Arab berarti pengertian atau pengetahuan. Fiqh pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara keseluruhan, namun bersamaan dengan perkembangan islam, kata inipun berkembang hingga digunakan untuk nama-nama sekelompok hukum-hukum yang bersifat praktis[5].
Syari’at Islam, diturunkan secar bertahap dalam dua periode Mekkah dan Madinah. Keseluruhannya memakan waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sehubungan dengan ini muncul istilah teknis tasyri’ (legislasi atau pengundangan). Istilah ini dikemudian hari menjadi salah satu perbendaharaan istilah penting dalam kajian fiqh (hukum Islam). Jadi syari’at adalah produk atau materi hukumnya, tasyri adalah pengundangnya, dan yang memproduksi di sebut syari” (Allah)[6].
Penerapan peraturan-peraturan maupun syari’at islam diperlukan adanya suatu proses yang bertahap. Pemenuhan aqidah merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat sebagi tahap awal dalam pembentukan syari’at islam. Disamping itu pembenahan dan perbaikan moral ini merupakan awal pembentukan hukum islam yang menggunakan Alquran sebagai sumbernya. Karena Alquran merupakan petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupannya. Meskipun Indonesia merupakan negara hukum dalam konstitusinya, tidak berarti bahwa hukum islam tidak memberikan ruh dalam pembentukan hukum positivisme yang berlaku di Indonesia.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum islam telah menga1ami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.
Dengan bertitik tolak pada uraian di atas penyusun terdorong untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam mengenai perkembangan hukum islam di Indonesia.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perkembangan hukum islam di indonesia?















BAB II
PEMBAHASAN
Hukum islam adalah terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau al-syariah al-islamy dan yang penekanannya lebih besar adalah al-fiqh al-islamy, Hasbi Ash-shidieqi mendefinisikan,hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat[7].
Jika dalam sepanjang sejarah, kata hukum Islam (Islamic Law) diasosiasikan sebagai fiqh, maka dalam perkembangannya, produk pemikiran hukum Islam , tidak lagi didominasi oleh fiqh. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir muncul perkembangan pemikiran hukum islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik sudah tidak mampu atau paling tidak kurang relevan dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Yang demikian ini karena perbedaan antara konteks sosial yang melatarbelakangi munculnya fiqh klasik tersebut dengan kondisi sosial masa sekarang jauh berbeda. Dari perbedaan itu maka upaya memperbaharui formulasi fiqh dan perangkat metodologisnya adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari[8]. Pemahaman terhadap kitab-kitab fiqh klasik sudah seharusnya didekati dengan kerangka metodologis secara proporsional agar dicapai pemahaman yang kontekstual dan sesuai dengan tuntutan realitas sosial.
Syari’ah dan fiqh adalah dua istilah teknis keagamaan yang berbeda, yang oleh sebagian orang selalu dipandang identik. Padahal hakikat antara keduanya amat berlainan, kendatipun keduanya sama-sama berada di rana hukum islam. Syari’ah adalah al-nushus al-muqaddasah dari Al-quran dan al-sunnah al-Mutawatirah yang murni, tetap dan tidak boleh berubah sepanjang masa. Sementara, fiqh merupakan pemahaman dan interprestasi manusia tentang al-nushus al-muqaddasah dan al-sunnah al-mutawatirah tersebut[9]. Karena fiqh adalah pemahaman manusia atau dengan kata lain fiqh adalah produk manusia, maka fiqh bisa berubah karena kebenarannya pun bersifat relatif. Oleh karena itu agar tetap berdaya fiqh harus didekati dengan metode qira’ah maqashidiyyah[10] .
Terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat dimulai dengan menyerap nilai-nilai hukum universal secara proporsional. Nilai-nilai tersebut mencakup keadilan, kemanfaatan  dan kepastian. Nilai-niali tersebut merupakan tujuan utama diciptakannya syari’ah samawiyyah sebagai manifestasi kehendak Allah untuk menciptakan tatanan ilahiyah yang membawa rahmat bagi umat manusia.
Fiqh yang diartikan sebagi upaya manusiawi yan melibatkan penalaran dalam memahami, menggali dan mengelaborasi hukum dari sumber aslinya sering mengalami penyempitan makna anya sebatas membicarakan hukum-hukum taklifi dan wadl’I secara normatif[11]. Sedangkan dalam tataran pemaknaan sosial dalam kehidupan sehari-hari kurang teraktualisasi. Bahkan dalam batas tertentu fiqh dipahami masyarakat sebagi sesuatu yang identik dengan syari’ah. Sehingga dipandang sebagai bentuk formulasi pemikiran hukum yang resisten terhadap perubahan[12]. Pemahaman demikian menjadikan fiqh bercorak eksoterik (hitam putih) dan cenderung normatif-formalistik.
Mazhab secara metodologis dalam melakukan ijtihad/istinbat hukum dirasa sebagai sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh klasik sudah tidak lagi comaptible untuk memecahkan problem-problem masa kini, bahkan memahami fiqh secara tekstual merupakan aktifitas yang ahistoris dan paradoks dengan perkembangan zaman. Alasan inilah yang membenarkan bahwa manhajiy (metodologis) adalah merupakan alternatif yang tepat dalam memecahkan berbagai persoalan kontemporer.
Prosedur berijtihad/beristinbath secara manhajiy (metodologis) adalah dengan cara melakukan verifikasi terhadap persoalan-persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan yang termasuk furu’[13].Dalam melakukan verifikasi tersebut dilakukan klasifikasi dan identifikasi kebutuhan masyarakat yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dlaruriyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyat (kebutuhan lux). Ketiga kebutuhan tersebut merupakan maqashid al-syari’ahi (tujuan pokok syari’ah). Ketiga kebutuhan ini secara cerdas dan elegan bisa dikembangkan dalam konteks zaman yang menyertainya, sehoingga dalam sejarah panjang bisa menjadi penggerak lajunya peradaban islam[14]. Untuk itu operasionalisai fiqh harus selalu didasarkan atas skala prioritas kebutuhan. Rumusan tujuan syari’ah ini memberikan pemahaman bahwa islam tidak hanya berperan dalam aspek ibadah, namun sebaliknya kepentingan kemanusiaan (muamalah) juga harus diutamakan.
Metodologi qiyas yang oleh asy-Syafi’I dan oleh ulama dahulu dimaksudkan sebagai metode dan cara berfikir (mode of thought) yang produktif dalam menanggapi berbagai kenyataan kemanusiaan dan alam atau sebagai metode berfikir dari yang teosentris ke yang empiris. Pergeseran pola pikir ini akhirnya justru memposisikan qiyas berubah menjadi sumber hukum islam (masdhir al-ahkam) yang kurang kritis dalam membaca realitas sosial dan kealaman serta mengesampingkan aspek mashlahah (kepatutan umum) sehingga qiyas mengalami kemandulan metodologis[15]. Mashlahah adalah sentral tujuan penerapan hukum islam. Bahkan, mashlahah selalu dijadikan acuan syari’ah meskipun tetap berpegang kepada ushul fiqh, tradisi nabi, praktek sahabat dan fuqaha awal. Dalam proses penggalian hukum sikpa proporsional haruslah digunakan, tidak hanya mengikuti arus modernitas liberalis semata, namun juga tetap berada dalam frame kewahyuan. Inilah yang kemudian disitilahkan sebagai fiqh sosial[16].
Fiqh sosial adalah formulasi kajian ulama tentang persoalan hukum yang bersifat praktis yang diambil dari dalil syari’i yang berorientasi pada persoalan sosial kemasyarakatan. Ini penting dalam rangka upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial melalui pemurnian yang dinamis dalam gerakan tajdid (pembaharuan) menuju terciptanya paradigma baru dalam memahami dan menerapkan hukum islam (fiqh dalam arti sempit)[17]. Lima ciri dari paradigma tersebut yaitu:
1.        Melakukan interprestasi ulang dalam mengkaji teks fiqh untuk ditemukan konteksnya yang baru
2.        Makna bermazhab diubah dari tekstual (mazhab qawliy) ke bermazhab secara metodologis (manhajiy)
3.        Verifikasi mendasar untuk memilah antara ajaran pokok (ushul) dan ajaran cabang (furu’)
4.        Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif negara
5.        Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial dan budaya[18]
Fiqh tidak boleh terkontaminasi pada penjustifikasian dalam dunia praktis secara lebih jauh, sehingga dalam fiqh tidak harus stagnasi (tawaqquf), fiqh bersifat fleksibel.
Jika terjadi tawaqquf berarti fiqh jatuh ke jurang ketakberdayaan karena fiqh tak mampu memberikan jawaban atas masalah-masalah baru yang terjadi di sosial masyarakat. Dilihat dari segi perannya dalam memahami teks, fiqh sosial merupakan bentuk dekonstruksi teks yang membawa konsekuensi sosiologis yaitu membongkar pola pikir kaum feodal konservatif yang memutlakkan otoritas teks. Dengan demikian fiqh sosial telah membuka peluan demokratisasi penafsiran atas teks-teks fiqh yang kaku. Dengan menjadikan manusia sebagai sumber budaya, fiqh sosial telah membuka kemajemukan tafsir.
Dalam menghadapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, kehadiran fiqh sosial sebagai landasan operasional dalam merespon berbagai masalah dan untuk melakukan terapi sosial. Arti penting fiqh sosial adalah terletak pada keberpihakannya kepada kepentingan sosial dan mashlahah’ammah (kepatutan umum).
Setidaknya masih ada tiga jenis produk lainnya. Pertama, fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus daripada fiqh atau ijtihad secara umum[19]. Hal ini karena, boleh jadi fatwa yang dikeluarkan seorang mufti sudah dirumuskan dalam fiqh, hanya belum dipahami si peminta fatwa tersebut adalah bagi orang yang meminta fatwa saja. Kedua ,keputusan pengadilan. Produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan al-qadla’ atau al-hukm, yaitu ucapan (dan atau tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu (al-wilayat al-qada). Ketiga adalah Undang-undang. Yaitu peraturan yang dibuat suatu badan legislatif (sultah al-tasyri’iyah) yang mengikat kepada setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan,yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-undang sebagai hasil ijtihad kolektif (jama’iy) dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya, untuk mengubah suatu undang-undang ini, memang tidak setiap negara muslim mempunyainya.
Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa hukum islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan di formulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum: Fiqh, Fatwa, Keputusan pengadilan, dan Undang-undang- yang di pedomani dan di berlakukan bagi ummat islam di Indonesia.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telab dikodifikasikan dalam struktur hukuin nasionaI. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.
Transformasi hukum islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 peranan elite islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga Rancangan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dapat dikodifikasikan[20].
Gagasan transformasi hukum islam dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri[21].
Rousseau misa1nya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya. Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (valonte generale), di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu[22].
Konsep pengembangan hukum islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum islam yang secara fonnil maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, hukum islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source[23].
Sampai saat ini, kedudukan hukum islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Hukum Perkawinan No. 1 tahun 1974.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum islam secara yuridis formal[24].
Sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an Undang-Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal Undang-Undang No.14 tahun 1970 dalam pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat islam tidak redup dan kehilangan arah, agar tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
BAB III
PENUTUP
Dapat dipahami bahwa perubahan hukum karena perubahan kondisi dan situasi itu dibenarkan oleh islam. Tidak saja pada masa nabi Muhammad SAW, tetapi juga pada masa sepeninggalnya. Agar kita selalu menjelaskan secara lebih lugas gagasan reaktualisasi atau kontekstualisasi ajaran islam, tidak hanya memahami secara tekstual ayat-ayat Al-quran atau Sunnah. Tetapi pendekatan kita harus lebih kontekstual atau bahkan situasional dengan mengutamakan esensi Al-quran dan Sunnah, serta didasarkan dengan keyakian bahwa hukum islam itu bersifat fleksibel. Dalam menyelesaikan masalah yang terkait hukum syari’at bertujuan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan yang mudharat dengan tujuan syari’ah islam.
Dalam rangka kontekstalisasi pemahaman terhadap teks fiqh selalu menjadikan mashlahah atau maqashid al-syari’ah sebagi fokus dalam melihat permasalahan. Corak pemikiran ini tergolong kompromistik dan mengmabil jalan tengah, dalam artian masih mengakui sisi positif teks-teks fiqh dan ushul fiqh klasik (keharusan bermazhab) dan tidak mengabaikan realita.
Oleh karena itu, pada bagian akhir ini dapat penulis katakan bahwa hukum islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik itu melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum islam ke dalam sistem hukum nasional







DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku-buku
Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia, dalam Mimbar Hukum  No. 1 tahun V , al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 2004.
Abdul wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Beirut, 1978.
Abu Ishaq asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, Dar al-Makrifah, tt, Beirut.
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung, 1994.
Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Al-Ma’arif, Bandung, 1976.
Amin Abdullah et al., Rekonstruksi Metodologi Islamic Studies Madzhab Yogyakarta, Suka Press, Yogyakarta, 2007.
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Ctk Kedua, Angkasa Raya, Padang, 1993.
Didi Kusnadi, Hukum Islam Di Indonesia, Makalah, Kuningan, 2010.
Fazlur Rahman, Islam, Ctk. Kedua, Chicago University Press, Chicago-London, 1979.
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Unisba, Bandung, 1995.
Maftukhin, Logika al-Risalah al-Syafi’I (Analisis Jacques Derrida), UIN, Yogyakarta, 2007.
Mahsun Mahfudz dan Baedhowi, Mencermati Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, Edisi 7 Vol. IV, 2008.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, LKiS, Yogyakarta, 1994.
Soehino, llmu Negara, Liberty, Yogyakarta,  1980
Sumanto al-Qurthuby, Era Baru Fiqih Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999.
B.       Data Elektronik
Filsafat Hukum Islam”, http:// www.google.com/filsafat hukum/preview.html. 24 Agustus 2011, 16.40.
 “Kaidah-Kaidah Filsafat Hukum Islam”, http://www.google.com/filsafat hukum/index.php.htm, 24 Agustus 2011, 16.42.


[1]Filsafat Hukum Islam”, http:// www.google.com/filsafat hukum/preview.html. 24 Agustus 2011, 16.40.
[2]Kaidah-Kaidah Filsafat Hukum Islam”, http://www.google.com/filsafat hukum/index.php.htm, 24 Agustus 2011, 16.42.
[3] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Unisba, Bandung, 1995, hlm. 10.
[4] Ibid, hal. 11.
[5] Fazlur Rahman, Islam, Ctk. Kedua, Chicago University Press, Chicago-London, 1979, hlm. 100.
[6]Kaidah-Kaidah Filsafat Hukum Islam”, http://www.google.com/filsafat hukum/index.php.htm, 24 Agustus 2011, 16.42.
[7] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Ctk Kedua, Angkasa Raya, Padang, 1993, hlm. 16-17.
[8] Mahsun Mahfudz dan Baedhowi, Mencermati Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, Edisi 7 Vol. IV, 2008, hlm. 56.
[9] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 7.
[10] Abu Ishaq asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, Dar al-Makrifah, tt, Beirut, hlm. 529.
[11] Abdul wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Beirut, 1978, hlm. 101-102.
[12] Mahsun Mahfudz dan Baedhowi, Mencermati…op.cit.,  hlm. 61.
[13] Sumanto al-Qurthuby, Era Baru Fiqih Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999, hlm. 116.
[14] Amin Abdullah et al., Rekonstruksi Metodologi Islamic Studies Madzhab Yogyakarta, Suka Press, Yogyakarta, 2007.
[15] Maftukhin, Logika al-Risalah al-Syafi’I (Analisis Jacques Derrida), UIN, Yogyakarta, 2007.
[16] Mahsun Mahfudz dan Baedhowi, Mencermati...op.cit.,, hlm. 64.
[17] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 65.
[18] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, LKiS, Yogyakarta, 1994, hlm. viii.
[19] Mahsun Mahfudz dan Baedhowi, Mencermati…op.cit., hlm. 56.

[20] Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Al-Ma’arif, Bandung, 1976,  hIm. 35-48.

[21] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998,  hlm. 64-65.
[22] Soehino, llmu Negara, Liberty, Yogyakarta,  1980,  hlm. 156-160.
[23] Didi Kusnadi, Hukum Islam Di Indonesia, Makalah, Kuningan, 2010, hlm. 14.
[24] Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia, dalam Mimbar Hukum  No. 1 tahun V , al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 4 , hIm. 94-106.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Tidak ada komentar: