BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum diciptakan guna memelihara hak-hak manusia dan tanggung jawab manusia, entah itu sifatnya individu maupun kolektif, sebagaimana tujuan dari hukum itu sendiri mengatur tata tertib masyarakat. Agar tujuan hukum dapat tercapai, maka hukum melahirkan norma-norma yang berisikan perintah dan larangan. Hukum merupakan salah satu dari empat macam norma yang terdapat pada kehidupan masyarakat. Keempat macam norma tersebut adalah: norma hukum, norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Yang membedakan norma hukum dari ketiga norma tersebut di atas adalah bahwa hukum memiliki sanksi yang tegas dan nyata terhadap para pelanggar. Inilah ciri kas dari hukum itu sendiri[1].
Perkembangan hukum senantiasa selaras dengan perkembangan dan kemajemukan masyarakat. Dengan demikian maka terdapat paralelisme antara hukum dengan masyarakat. Definisi hukum menurut para pakar hukum dunia beragam macam dan bervariasi. Yang kemudian muncul masyarakat madani yang tentram dan damai, namun ini semua bukan sebuah persoalan yang mudah karena banyak tindakan-tindakan yang mengotori hukum yang kemudian timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negara ini.
Membincangkan hukum dengan perspektif sosiologi hukum maka kita sesunguhnya tengah menarik diri untuk melihat hukum dari luar kotak, yaitu keluar dari ruang lingkup hukum positif atau hukum peraturan perundang-undangan. Pemahaman tersebut menarik kita untuk memahami hukum sebagai suatu yang tidak terikat pada konteks peraturan maupun doktrin-doktrin yang mendasarinya. Dengan kata lain, konteks pembahasan yang diketengahkan oleh sosiologi hukum adalah hukum tidak dipahami sebagai suatu yang abstrak dan normatif sebagaimana bunyi ketentuan undang-undang, melainkan hukum dilihat sebagai persoalan yang memiliki signifikansi sosial yang nyata dalam masyarakat[2].
Salah satu titik awal refleksi studi sosiologi hukum adalah menyoroti dan menjelaskan jurang menganga antara idealitas hukum yang dicita-citakan dengan kondisi senyatanya hukum di tengah-tengah masyarakatnya (legal gap). Realitas bekerjanya hukum di dua dunia yaitu antara harapan yang dirumuskan dalam undang-undang dengan dunia implementasinya dalam masyarakat seringkali bertolak belakang. Perbedaan antara harapan dan realitas tersebut sangat terkait dengan faktor variabel sosial lainnya. Relasi dan silang pengaruh tersebut harus dipahami bahwa hukum tidak kedap pengaruh dari kekuatan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Gerakan hukum juga harus dimaknai terkait dengan berbagai perubahan sosial di mana hukum itu berada. Hukum merefleksikan latar belakang sosial dimana hukum itu berlaku. Maka sesungguhnya hukum mempunyai watak sesuai dengan kosmologi masyarakatnya karena muncul dan dimunculkan dari a peculiar form of sosial life[3]. Menjadi tidak heran kemudian apabila watak hukum suatu negara dengan negara atau sistem hukum dengan sistem hukum yang lain mempunyai watak yang berbeda-beda.
Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang praktis, antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang ada dalam kenyataan dilakukan. Standard dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat disebut sebagai contoh : pencurian, perzinahan, ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik orang yang baik-baik, dan semacamnya. Semua contoh itu merupakan bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan persoalan di dalam masyarakat, baik masyarakat yang sederhana maupun masyarakat modern. Didalam situasi yang demikian, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan mempertahankan eksistensinya.
Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law enforcement, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi adagium yang universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum itu memuburuk, otomatis tingkat main hakim sendiri akan meningkat, demikian sebaliknya. Untuk itu sangat beralasan dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi raksasa dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut.
Salah satu sumber utama konflik dan kekerasan diberbagai daerah adalah kondisi penegakan hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan sosial-ekonomi, politik, dan pemanfaatan sumber daya alam, bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidak adilan dan ketidak puasan umum pun berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.
Tindak kekerasan oleh massa dalam bentuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, pada saat ini telah menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Main hakin sendiri terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga korban. Karena korban dan/atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban kerkewajiban untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap pebuat korban secara langsung. Korban dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih kerasa dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus menerus maka anggota masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan. Oleh karena itu perlu segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh anggota masyarakat yang bersangkutan[4]
Akhir-akhir ini dalam masyarakat kita telah terjadi pergeseran nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi namun karena sesuatu hal penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan itu terabaikan. Salah satu contoh pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti pelaku pencurian yang dihakimi massa dengan cara dibakar sampai meninggal dunia. Fenomena kasus main hakim sendiri atau disebut juga “peradilan massa” seperti ini telah menjadi bahan pemberitaan media massa sementara anggota masyarakat tidak menunjukkan penyesalan bahkan justru menyatakan kepuasannya.
Dengan bertitik tolak pada uraian tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI “EIGENRICHTING” DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Penyusun memilih untuk mengangkat judul tersebut karena penyusun ingin mengetahui kondisi peradilan Indonesia saat ini, fungsi pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya praktik main hakim sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dalam makalah ini penyusun merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi peradilan Indonesia?
2. Bagaimana fungsi pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat?
3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktik main hakim sendiri?
C. Tinjauan Pustaka
Manusia, walaupun pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun dia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain, naluri yang dinamakan gregariousness. Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain yang penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi semakin luas. Hal ini terutama disebabkan karena keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berada disekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Kesemua ini menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social group didalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tadi merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan antara mereka[5]. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong. Dengan demikian, maka suatu kelompok sosial mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. Setiap warga kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan,
2. Ada hubungan timbal balik antara warga yang satu dengan warga-warga lainnya (interaksi),
3. Terdapat suatu faktor (atau beberapa faktor) yang dimiliki bersama oleh warga kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain,
4. Ada struktur,
5. Ada perangkat kaidah-kaidah
6. Menghasilkan sistem tertentu.
Mempelajari kelompok sosial merupakan hal yang penting bagi hukum, oleh karena hukum merupakan abstraksi dan interaksi sosial yang dinamis didalam kelompok-kelompok sosial tersebut. Interaksi sosial yang dinamis tersebut lama kelamaan karena pengalaman, menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup didalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang yang dianggap baik dan tidak baik dalam pergaulan hidup. Nilai-nilai sosial tersebut biasanya telah berkembang sejak lama dan telah mencapai suatu kemantapan dalam jiwa bagian terbesar warga masyarakat dan dianggap sebagai pedoman atau pendorong bagi tata kelakuannya. Nilai-nilai sosial yang abstrak tersebut mendapatkan bentuk yang konkret dalam kaidah yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat bersangkutan. Betapa pentingnya kelompok-kelompok sosial bagi pembentukan hukum maupun pelaksanaannya kiranya menjadi jelas dengan adanya uraian diatas[6].
Meskipun demikian perlu kiranya dikemukakan bahwa bila suatu pelanggaran hukum dilakukan oleh satu atau dua orang saja, mudah bagi penegak hukum untuk menerapkan hukum padanya. Kekuatan penegak hukum lebih besar dari kekuatan si pelanggar hukum. Akan tetapi bila yang melanggar hukum itu suatu “massa”, dalam arti banyak orang yang bersama-sama berbuat sesuatu untuk melanggar hukum maka kekuatan penegak hukum (khusus polisi) mungkin sekali tidak cukup untuk menerapkan hukum secara seharusnya[7]. Kalau perbuatan massa itu merupakan perbuatan temporer saja, seperti perbuatan massa yang marah pada saat unjuk rasa atau perbuatan massa dengan melakukan tindakan penganiayaan atau membunuhan yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik yang terjadi diberbagai daerah seperti apa yang terjadi di negeri ini misalnya di Poso, Sampit dan Maluku yang justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau konflik[8].
Apabila individu atau kelompok telah melakukan tindakan diluar jalur hukum, maka disebut tindakan menghakimi sendiri, aksi sepihak atau “eigenrichting”. Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan sanksi atau kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak terkendali[9].
Dalam kondisi demikian tentunya kebijaksanaan yang harus dilakukan terhadap mereka atau massa yang melakukan tindakan anarki sangat sulit ditemukan dalam bidang hukum. Namun demikian fungsi hukum sebagai pengubah masyarakat minimal ada 4 faktor yang harus diperhatikan yaitu :
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran hukum.
2. Melakukan studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan perundang-undangan serta dampak yang ditimbulkan dari Undang-undang itu.
3. Melakukan studi tentang peraturan perundang-undangan yang efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum tentang bagaimana suatu hukum itu muncul dan bagaimana diterapkan dalam masyarakat.
Selain empat faktor diatas, yuris yang beraliran sosiologis melihat hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat disempurnakan melalui usaha-usaha manusia yang dilakukan secara cendekia dan menganggap sebagai kewajiban mereka untuk menemukan cara-cara yang paling baik untuk memajukan dan mengarahkan usaha itu[10].
D. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah dan tinjauan pustaka.
BAB II PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang kondisi peradilan Indonesia saat ini, fungsi pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya praktik main hakim sendiri.
BAB IV PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Peradilan Indonesia
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan[11].
Dalam bidang hukum secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan hukum dan penegakan hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat dirinci sebagai berikut :
1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;
2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;
3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih)
4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;
5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten[12].
Buku Reformasi Hukum di Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakan hukum di Indonesia menyatakan antara lain :
1. Kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum;
2. Tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan;
3. Management pengadilan sangat tidak efektif;
4. Peranan yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat terhadap pengadilan;
5. Penegakan hukum yang berbau praktek korupsi , dan keberpihakan yang menguntungkan pemerintah[13].
Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa prilaku sebagai bangsa terjajah masih nampak di kalangan para hakim. Dari sisi ini paling tidak ada tiga hal yang dapat dilihat yaitu : Pertama, hakim-hakim tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia. Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap berkualitas untuk kasus itu. Ketiga, menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu[14].
Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal system ) Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut[15]:
1. Dilihat dari substansi hukum, asas dan kaidah hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahakan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut[16]. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang selalu melekat pada administrasi negara. Yang menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan aspek “doelmatigheid” dari pada “rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum yang dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum.
5. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan.
7. Keadaan hukum kita, khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date). Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah sekali tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekosongan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Penciptaan berbagai peraturan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru timbul kondisi “hiperregulated” tersebut membuat masyarakat lebih apatis. Sementara itu institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa memperdulikan substansial justice sehingga segala sesuatu dilihat dari dua hal yang jukstaposisional saja yaitu benar – salah, hitam putih, menang kalah, halal haram dan sebagainya. Sementara itu arus reformasi yang tidak terkendali (kebablasan) telah menciptakan masyarakat yang berperilaku atau berbudaya membabi buta (blind society). Kondisi keterpurukan ke tiga komponen sistem hukum tersebut telah menjadikan hukum tidak berfungsi sama sekali dan apa yang disebut sistem hukum nasional Indonesia menjadi sulit diterima.
Peradilan merupakan suatu macam penegakan hukum, karena aktivitasnya tidak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum itu. Terdapat perbedaan antara peradilan dan pengadilan. Peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedangkan pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan dan advokat. Hasil akhir dari proses peradilan tersebut berupa putusan pengadilan.
Bagi ilmu hukum, bagian penting dalam proses mengadili terjadi saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Pada dasarnya yang dilakukan oleh hakim adalah memeriksa kenyataan yang terjadi, serta menghukuminya dengan peraturan yang berlaku. Pada waktu itu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang berlaku untuk satu kasus. Pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya. Hans Kelsen menyebutkan bahwa proses penegakan hukum yang dijalankan oleh hakim demikian disebut sebagai Konkretisierung.
Dalam persfektif sosiologi, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multi fungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative processing “, ceremonial changes of status”, “settlement negotiation”, “mediations and arbitartion” dan “warfare”[17].
Sacipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat[18]:
1. Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki;
2. Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya;
3. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;
4. Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum.
B. Fungsi Pengendalian Sosial Dalam Kehidupan Bermasyarakat
1. Pengendalian sosial
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang atau membangkang.
Secara rinci beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut (Soekanto, 181:45)[19]
a. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
b. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
c. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
d. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
a. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
b. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
c. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
d. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri) dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat atas dasar kekuatan otoritasnya mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat atas dasar kekuatan otoritasnya mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosial pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
a. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
b. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma dan tidak menurut kemauan individu-individu.
c. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaidah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
a. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
b. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
c. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
a. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
b. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
c. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
2. Cara dan fungsi pengendalian sosial
a. Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1). Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2). Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
a. Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1). Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2). Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain) biasanya bersifat informal, spontan dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarakat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3). Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukum formal
Kekuatan dan kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
3). Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukum formal
Kekuatan dan kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu diberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
1). Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
2). Pengendalian dengan kekerasan (koersi); biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram.
1). Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
2). Pengendalian dengan kekerasan (koersi); biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram.
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi[20].
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi (pervasion) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi (pervasion) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
b. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
1). Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma
2). Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma
3). Mengembangkan rasa malu
4). Mengembangkan rasa takut
5). Menciptakan sistem hukum
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
1). Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma
2). Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma
3). Mengembangkan rasa malu
4). Mengembangkan rasa takut
5). Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial di dalam arti mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar selalu tetap nyaman dengan keharusan-keharusan norma. Hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi. Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masyarakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1). Sanksi yang bersifat fisik,
2). Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3). Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman) dan sanksi ekonomik (karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan tingkah lakunya yang salah. Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1). Incentive yang bersifat fisik;
2). Incentive yang bersifat psikologik; dan
3). Incentive yang bersif ekonomik.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1). Sanksi yang bersifat fisik,
2). Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3). Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman) dan sanksi ekonomik (karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan tingkah lakunya yang salah. Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1). Incentive yang bersifat fisik;
2). Incentive yang bersifat psikologik; dan
3). Incentive yang bersif ekonomik.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib )? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu[21] :
1). Menarik tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan
2). Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu
3). Beragam tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu
4). Besar-kecilnya dan bersifat anomie tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan
5). Toleran tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1). Menarik tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan
2). Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu
3). Beragam tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu
4). Besar-kecilnya dan bersifat anomie tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan
5). Toleran tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1). Menarik tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga yang bersangkutan
Pada umumnya kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah laku warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing, apabila terjadi pelanggaran dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Pada umumnya kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah laku warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing, apabila terjadi pelanggaran dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2). Otonom tidaknya kelompok masyarakat itu
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok.
3). Beragam tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian atau apabila bertentanganmaka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya.
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian atau apabila bertentanganmaka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya.
4). Besar kecilnya dan bersifat anomie tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal) semakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya” dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal) semakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya” dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
5). Toleran tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan melainkan karena sikap toleran agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan.
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan melainkan karena sikap toleran agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a). Ekstrim tidaknya pelanggaran norma itu
b). Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi
c). Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran
d). Asasi tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
a). Ekstrim tidaknya pelanggaran norma itu
b). Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi
c). Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran
d). Asasi tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
C. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktik main hakim sendiri
Apabila individu atau kelompok telah melakukan tindakan diluar jalur hukum, maka disebut tindakan menghakimi sendiri, aksi sepihak atau “eigenrichting”. Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak terkendali[22].
Smelser mempertanyakan kenapa perilaku kolektif terjadi? Dia merinci enam faktor yang menurutnya menentukan untuk terjadinya perilaku atau kekerasan kolektif, enam faktor tersebut adalah[23] :
1. Adanya pendorong struktural (structural condusivenness)
2. Ketegangan struktural (structural strain)
3. Tumbuh dan menyebarnya suatu kepercayaan yang digeneralisasikan (Growth and spread of generalized belief)
4. Factor-faktor pencetus (precipitating factors)
5. Mobilitas para pemeran serta pada tindakan (Mobilization of Partifsipants for action)
6. Bekerjanya pengendalian sosial (The operation of social control)
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam kerangka teori Smelser ini faktor-faktor penentu perilaku kolektif tersebut diorganisasikan dengan konsep nilai tambah. Menurut Smelser, faktor-faktor terdahulu perlu ada sebelum faktor berikutnya dapat terwujud. Dengan demikian faktor-faktor penyebab tingkah laku tersebut membentuk kombinasi menurut suatu pola yang pasti.
Faktor penentu perilaku kolektif pertama, structural conduciveness, ialah segi-segi struktural dari situasi sosial yang memungkinkan terjadinya perilaku kolektif tertentu. Hal ini terlihat misalnya dengan adanya kejadian penyerangan, perusakan dan pembakaran terhadap aset-aset milik perorangan/kelompok dengan tanpa adanya reaksi aparat terkait, dan pembiaran dari masyarakat luas.
Faktor kedua structural strain, menurut Smelser mengacu pada berbagai tipe ketegangan struktural yang tidak memungkinkan terjadinya perilaku kolektif. Namun agar perilaku kolekif dapat berlangsung perlu ada kesepadanan antara ketegangan struktural ini dengan dorongan struktural yang mendahuluinya. Namun keadaan itu tidak akan melahirkan tingkah laku kolektif, karena memerlukan kondisi lanjutan.
Faktor ketiga Growth and spread of a generalized belief adalah tumbuh dan berkembangnya kepercayaan /keyakinan bersama. Misalnya cap dan klaim terhadap suatu aliran sebagai sesat. Pemahaman seperti itu menyebar dan dipahami secara sama oleh anggota kelompok. Keadaan ini mengacu pada ketika situasi menjadi bermakna bagi orang-orang yang berpotensi menjadi pelaku-pelaku kolektif dengan adanya penyebarluasan gagasan yang dapat membuka wawasan individu kearah yang lebih dinamis. Kondisi ini dapat menimbulkan perilaku kolektif dari individu yang telah mengalami perkembangan pemikiran. Makna yang harus dipahami itu terkandung dalam generalized belief yang mampu mengidentifikasi sumber ketegangan menentukan sumber tersebut dan merinci tanggapan terhadap sumber itu. Kendatipun faktor penentu sudah sampai pada tahapan ini, namun untuk munculnya tingkah laku kolektif diperlukan adanya kondisi khusus yaitu faktor penentu.
Faktor keempat Precipatating factors, merupakan faktor situasional yaitu adanya suatu peristiwa yang menegaskan pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan umum rentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya tingkah laku kolektif. Namun kendatipun ke empat faktor diatas sudah terakumulasi belum akan melahirkan tingkah laku kolektif. Untuk terjadinya tingkah laku kolektif masih memerlukan faktor berikutnya.
Faktor kelima, Mobillization of partisipants for actions, menurut Smelser tinggal inilah yang perlu untuk dipenuhi untuk kemudian terjadi tingkah laku kolektif. Dalam proses ini peranan figur yang dapat memberikan simpati kepada masyarakat untuk melakukan tindakan kolektif sangat diperlukan.
Faktor keenam, The opreration of social control, memegang peranan penting bagi terjadinya tingkah laku kolektif. Dalam setiap tahap proses tersebut diatas, bila pranata pengendalian sosial dapat mengintervensi tahapan-tahapan faktor penentu tingkah laku kolektif diatas, maka timbulnya tingkah laku kolektif dapat dihindarkan[24].
BAB IV
PENUTUP
Kondisi peradilan di Indoesia dalam penegakan hukum saat ini masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan.
Kekerasan terhadap pelaku kejahatan yang terjadi saat ini menunjukkan kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan bukan merupakan suatu budaya hukum masyarakat kita. Bahwa kesadaran hukum bukanlah budaya hukum karena budaya hukum yang baik akan melahirkan sebuah proses sosial, yaitu kesadaran hukum. Beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya tindakan main hakim sendiri (peradilan massa) diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.
Tindakan menghakimi sendiri merupakan pelaksanaan sanksi yang dilakukan oleh suatu kelompok atau kekuatan massa secara kolektif yang oleh Smelser diistilahkan sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile frustration (ledakan tumpukan kekecewaan) yang tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menjadi pemicu terjadinya tindakan yang bersifat anarkis.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Aidul Fitriciada Azhari, Hukum dan Biografi Kekerasan, Kompas, 17 April 2001.
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993.
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999.
Diagnostik Assesment of Legal Development in Indonesia, 1999, World Bank Project, Pengadilan Tinggi Siber Konsultan (Reformasi Hukum di Indonesia ) yang disusun oleh Kantor Konsultan Hukum A.B.N.R)
Iswanto, Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek Kriminologi-Viktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri oleh Masyarakat. Diselenggarakan atas Kerjasama UBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas. Purwokerto, 05 Agustus 2000.
Neil Smelser, Theory of collective Behavior, The Free Press, New York, 1962.
R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Esai-Esai Terpilih, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988.
Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta , 2003.
Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara, 2004.
Zudan Arif Fakrullah, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001
B. Data Elektronik
“Faktor-Faktor Yang Melahirkan Ketidak Percayaan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum”, http://www.google.com/Sosiologi hukum/faktor-faktor-yang-melahirkan-ketidak.html, 09 September 2011, 16.20.
“Faktor-Faktor Yang Melahirkan Peradilan Massa Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana” http://www.google.com /Sosiologi hukum/index.php.htm, 09 September 2011, 15.10.
http://www.google.com/Sosiologi hukum/jenis-macam-pengendalian-sosial-dan-pengertian pengendalian-sosial-pengetahuan-sosiologi.htm, 09 September 2011, 14.00.
http://www.google.com /Sosiologi hukum/index.php.htm, 09 September 2011, 13.00.
[1] “Faktor-Faktor Yang Melahirkan Ketidak Percayaan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum”, http://www.google.com/Sosiologi hukum/faktor-faktor-yang-melahirkan-ketidak.html, 09 September 2011, 16.20.
[2] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Esai-Esai Terpilih, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. vi.
[3] Ibid, hlm. vii.
[4] Iswanto, Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek Kriminologi-Viktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri oleh Masyarakat. Diselenggarakan atas Kerjasama UBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas. Purwokerto, 05 Agustus 2000. hlm. 1.
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988, hlm. 83
[6] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 278-279.
[7] Soerjono Soekanto, Pokok... op.cit., hlm. 35.
[8] Aidul Fitriciada Azhari, Hukum dan Biografi Kekerasan, Kompas, 17 April 2001.
[9] Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta , 2003, hlm, 23.
[10] “Faktor-Faktor Yang Melahirkan Peradilan Massa Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana” http://www.google.com /Sosiologi hukum/index.php.htm, 09 September 2011, 15.10.
[11] Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara, 2004, hlm. 3.
[12] R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi,, Jakarta, 2001, hlm. 2.
[13] Diagnostik Assesment of Legal Development in Indonesia, 1999, World Bank Project, Pengadilan Tinggi Siber Konsultan (Reformasi Hukum di Indonesia ) yang disusun oleh Kantor Konsultan Hukum A.B.N.R)
[14] Zudan Arif Fakrullah, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001.
[15] Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999, hlm. 238 – 245.
[16] Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993, hlm. 2.
[17] Sunarmi., Membangun… op.cit., hlm. 11.
[18] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 107.
[19] http://www.google.com /Sosiologi hukum/jenis-macam-pengendalian-sosial-dan-pengertian-pengendalian-sosial-pengetahuan-sosiologi.htm, 09 September 2011, 14.00.
[20] http://www.google.com /Sosiologi hukum/jenis-macam-pengendalian-sosial-dan-pengertian-pengendalian-sosial-pengetahuan-sosiologi.htm, 09 September 2011, 14.00.
[21] http://www.google.com /Sosiologi hukum/jenis-macam-pengendalian-sosial-dan-pengertian-pengendalian-sosial-pengetahuan-sosiologi.htm, 09 September 2011, 14.00.
[22] Sudikno Metrokusumo, Mengenal… Log.cit.
[23] http://www.google.com /Sosiologi hukum/index.php.htm, 09 September 2011, 13.00.
[24] Neil Smelser, Theory of collective Behavior, The Free Press, New York, 1962, hlm. 15-17.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar