BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus bailout Bank Century berawal dari keputusan Bank Indonesia (BI) untuk memberikan dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century ini telah bergulir lebih dari setahun. Kasus Bank Century ini dimulai pada sekitar bulan Oktober tahun 2008 lalu. Diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century dan akhirnya gagal bayar. Bank Century pun menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008 itu, CAR atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush. Keputusan tersebut disampaikan kepada KSSK dengan surat BI no 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.
Melalui proses pembahasan, dalam Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tanggal 21 November 2008 dan dengan Keputusan No 04/KSSK/2008, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menetapkan :
1. PT Bank Century Tbk sebagai bank gagal yang berdampak sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No. 01/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008; dan
2. Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk dilakukan penanganan sesuai dengan Undang-Undang No 24 tahun 2004 tentang LPS. Sesuai Pasal 21 ayat (3) UU LPS, LPS melakukan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (KK) menyerahkan penanganannya pada LPS. Keputusan KSSK tersebut kemudian dijadikan pertimbangan oleh KK untuk mengeluarkan Keputusan KK no 01/KK.01/2008 tanggal 2008 yang menetapkan:
a. Menyerahkan penanganan PT Bank Century Tbk yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS, dan
b. Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud pada diktum pertama dilakukan
Dikucurkannya modal penjaminan untuk Bank Century (century) sebesar Rp 6,76 triliun berdasarkan hasil pembahasan dan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berbuah masalah. Keputusan penggelontoran dana Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dipertanyakan banyak pihak, baik dari sisi masyarakat, mau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan munculnya usulan hak angket kasus century. Alasan penetapan Bank Indonesia bahwa bank century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik juga disinyalir penuh rekayasa dan memiliki dasar yang kurang kuat . Kasus yang ditengarai sebagai cikal-bakal munculnya kekisruhan politik dan hukum ini harus didudukkan dengan terang agar publik secara luas mengetahui dan dapat bersama-sama mengawal penuntasan dari kasus ini. Diserahkannya hasil audit investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada panitia hak angket DPR RI pada tanggal 20 November 2009 memberikan gambaran yang cukup gamblang terkait kasus bank century. Hasil audit ini meskipun dinilai belum mengungkap semuanya, misalkan aliran dana dari para aktor yang dipandang menikmati kucuran dana century, akan tetapi sudah dipandang cukup untuk menunjukan adanya indikasi awal korupsi dan kejahatan perbankan yang terjadi dengan indikasi keterlibatan banyak pihak baik dari sisi otoritas pengawasan perbankan, pemerintah dan pihak pemilik bank. Diharapkan dengan adanya pemetaan yang lebih terang terkait berbagai indikasi pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang, kasus ini dapat ditindaklanjuti secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait indikasi tindak pidana korupsi dan kepolisian terkait indikasi tindak pidana pencucian uang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sedikitnya empat dugaan penyimpangan dalam hasil audit investigasi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terkait skandal Bank Century yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 6,7 triliun. Keempat jenis penyimpangan itu adalah tindak pidana perbankan, tindak pidana pencucian uang (money laundering), manipulasi prosedur administrasi, serta tindak pidana korupsi .
Dengan bertitik tolak pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan kebijaksanaan penanganan bank century persepektif hukum administrasi negara
B. Rumusan Masalah
1. Kebijaksanaan penanganan bank century persepektif hukum administrasi negara
BAB II
PEMBAHASAN
Di mata pemerintah, kebijakan bailout Bank Century dianggap rasional meskipun harus mengeluarkan uang negara hingga Rp. 6,7 triliun. Pemerintah melalui BI dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya bank tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu. Kebijakan tersebut, berdasarkan audit BPK dinilai tidak wajar dan transaksi-transaksi yang terjadi dalam Bank Century banyak yang dicurigai. Oleh karena itu, DPR mengajukan hak angket untuk meminta penjelasan kepada pemerintah yang berkuasa saat itu mengenai pemberian dana talangan tersebut.
Mengenai potensi adanya kerugian negara terhadap bailout Bank Century tersebut memicu persilangan pendapat dari para ahli hukum. Prof. Erman Rajagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa dana penyelamatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century bukan uang negara. Pasalnya, modal negara kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sehingga menjadi badan hukum tersendiri. Begitu pula dananya terpisah dari anggaran negara. Sedangkan Prof. A. Syarifuddin Natabaya, mantan hakim konstitusi berpendapat lain bahwa ia menegaskan bahwa posisi dana yang dimiliki LPS berasal dari keuangan negara. Sesuai UU No 17 Tahun 2003, dana yang bersumber dari pihak lain, namun menggunakan fasilitas negara, merupakan keuangan negara dan persoalan yang membedakan saat ini adalah status badan hukum LPS .
A. Keuangan Negara
Keuangan negara ialah hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian juga segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi: hak menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam dan hak memaksa. Sedangkan kewajiban negara meliputi: menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat dan membayar hak-hak tagihan pihak ketiga .
Pada Pasal 3 UU No. 17/1965 jo UU No. 5/1973 dijumpai perumusan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan Keuangan Negara dalam UU ini adalah segala kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, baik terpisah maupun tidak. Dalam penjelasan Tambahan Lembaran Negara No. 2776 sebagai berikut: “Dengan keuangan negara tidak hanya dimaksud uang negara, tapi seluruh kekayaan negara termasuk di dalamnya segala hak serta kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan itu berada dalam penguasaan dan pengurusan pada pejabat-pejabat dan/atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun berada dalam penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hukum publik ataupun privat perusahaan-perusahaan negara dan usaha-usaha dimana pemerintah mempunyai kepentingan khusus serta dalam penguasaan dan pengurusan pihak lain manapun juga berdasarkan perjanjian dengan penyertaan (partisipasi) pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah”.
Perubahan ketiga UUD 1945, khususnya ketentuan Undang-Undang Dasar yang mengatur bidang keuangan negara, telah membawa dampak hukum yang sangat serius bagi pemerintah maupun badan usaha baik milik negara, daerah maupun milik swasta . Ditambah dengan hadirnya tiga paket undang-undang yang mengatur keuangan, yakni Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pengertian keuangan negara sebagaimana termaktub dalam pasal 1 butir 1 UU No. 17 Tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan negara dikuasakan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dimana setiap pengelolaan keuangan negara harus digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.
Sedangkan keuangan negara menurut penjelasan pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaan pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun daerah
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Penyelengaraan keuangan negara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Administrasi keuangan negara merupakan bagian dari administrasi negara maka ia tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan tersebut. Atas dasar itu maka administrasi keuangan negara diartikan sebagai bagian dari administrasi negara yang objek pengurusannya adalah kegiatan dalam urusan keuangan negara yang meliputi tahap-tahap kegiatan :
1. Merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan keuangan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan.
2. Menyusun organisasi yang diperlukan untuk menjalankan kebijaksanaan antara lain terdapat pada:
a. RAB
b. SK. Menteri Keuangan
c. SK/Instruksi Menteri/Ketua Lembaga dan keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
B. Konsep perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi
Secara teoritis dalam hukum administrasi negara tindakan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan (bestuurhandeling) dapat di pisahkan antara tindakan nyata (feitelijke handelingen) dan tindakan hukum (rechts handelingen). Tindakan dalam bidang hukum dapat dibagi menjadi tindakan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum privat. Tindakan dalam hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum publik. Sedangkan tindakan hukum privat artinya tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum privat.
Peraturan perundang-undangan harus menjadi sumber wewenang bagi setiap tindakan pemerintah. Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan (bevoegdheids). Melalui kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan tersebut pemerintah melakukan tindakan hukum. Pemberian wewenang tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Administrasi Negara, yang dilekati dengan kewenangan atau penyandang hak dan kewajiban hukum publik adalah jabatan. Sedangkan dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat adalah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum. Subyek hukum dalam hal ini adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, atau menyandang hak dan kewajiban serta dapat berwujud manusia dan badan hukum.
Pengertian jabatan ini adalah fiksi dalam hukum. Oleh karena itu, jabatan dilaksanakan oleh pejabat, yaitu manusia yang menduduki jabatan itu agar berjalan secara nyata. Jabatan adalah merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang tak terpisahkan dari pejabat yang menjabat jabatan tersebut. Jabatan diberi wewenang agar dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban. Tanggung gugat sehubungan dengan suatu perbuatan hukum publik adalah pada pejabat. Dengan demikian gugatan dalam sengketa tata usaha negara ditujukan kepada pejabat yang membuat keputusan. Terkait dengan pengertian jabatan, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai subyek hukum. Subyek hukum yang bersengketa dalam perspektif Hukum Administrasi Negara adalah orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pejabat adalah yang bertindak untuk dan atas nama jabatan. Hal tersebut karena jabatan yaitu suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Oleh karena jabatan merupakan fiksi atau abstraksi yang oleh hukum diangkat menjadi realita hukum, yang merupakan personifikasi yang diciptakan oleh hukum. Tindakan jabatan tersebut dilakukan oleh wakil, yaitu seseorang yang pada satu pihak sebagai manusia (natuurlijke persoon) yang tunduk pada hukum privat, pada pihak yang lain adalah untuk dan atas nama jabatan sebagai pejabat yang tunduk pada hukum publik. Pejabat ini juga disebut alat perlengkapan negara.
Untuk memberi penilaian kewenangan seorang pejabat dalam membuat suatu kebijakan harus dilihat sumber kewenangan pejabat yang membuat kebijakan. Kewenangan dapat berasal dari atribusi, yaitu terjadinya pemberian wewenang yang baru oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Kewenangan dapat juga bersumber pada suatu delegasi atau mandat. Legislator yang kompeten untuk memberi atribusi wewenang dibedakan antara yang berkedudukan sebagai original legislator dan delegated legislator (Ridwan HR, 2007).
Istilah perbuatan melanggar hukum pada dasarnya berasal dari hukum perdata atau yang lebih dikenal dengan perbuatan melanggar hukum . Pasal yang mengatur tentang hal ini adalah Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal ini sempat mengalami pasang surut dalam penerapannya.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melanggar hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan
2. Perbuatan tersebut dari pihak pelaku
3. Adanya kerugian bagi korban
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Kelima unsur yang terkandung dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini merupakan unsur mutlak yang harus terpenuhi bila seseorang atau pemerintah yang melakukan suatu perbuatan disebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum .
Dalam perkembangan mengenai gugatan terhadap perbuatan melanggar hukum oleh penguasa ini, Mahkamah Agung telah memutus suatu perkara yang kemudian menjadi suatu yurisprudensi . Tiga hal yang dapat disarikan dan dijadikan sebagai tolok ukur apakah terdapat suatu perbuatan penguasa yang melanggar hukum atau tidak adalah:
1. Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus diukur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan formal yang berlaku
2. Harus diukur dengan keputusan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh penguasa
3. Penilaian tentang faktor sosial ekonomi (dari penyewa dan pemilik) adalah pelengkap wewenang kepala daerah sebagai penguasa yang termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar dan peraturan atau melewati batas-batas kepatutan dalam masyarakat yang harus dipenuhi oleh penguasa
Mahkamah Agung dalam lokakarya pembangunan hukum melalui peradilan di Bandung (30 Mei-1 Juni 1977), sewaktu membicarakan yurisprudensi perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) mengemukakan dan menyimpulkan, antara lain :
1. Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa dengan tegas mengandung tiga ukuran:
a. Pelanggaran terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan formal (peraturan perundang-undangan)
b. Kepatutan yang harus diperhatikan oleh penguasa
c. Kebijaksanaan yang tidak dinilai oleh hakim perdata, hakim tata usaha negara
2. Pengertian perbuatan melanggar hukum oleh penguasa dalam prakteknya, membedakan antara perbuatan penguasa selaku penguasa dan perbuatan penguasa selaku perorangan khusus
3. Kaidah kepatutan dalam perbuatan penguasa yang berakibat pada hukum publik dapat menimbulkan perseorangan yang berhubungan dengan kebijaksanaan penguasa
4. Norma kepatutan ini dalam hubungannya dengan kebebasan kebijaksanaan mempunyai batas-batas pada hal-hal yang disebut kewenangan (abus de pouvoir, abus de droit) dan detournement depouvoir, sehingga batas-batas tersebut dapat merupakan dasar bagi sifat melanggar hukum dari perbuatan penguasa.
Sebagai konsekuensi berkembangnya konsep the welfare state (negara kesejahteraan) , dalam arti tujuan negara tidak lain untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka untuk menyelenggarakan kesejahteraan tersebut peranan pemerintah melalui aparaturnya menjadi sangat penting dan mendasar dalam menentukan berhasil tidaknya misi pemerintah dan disinilah pemerintah memiliki kebebasan bertindak sesuai asas diskresi yang dimilikinya. Dengan alasan demi kepentingan umum tercapainya kesejahteraan masyarakat, bukan hal yang tidak mungkin pejabat administrasi tersebut melanggar kepentingan administrable.
Penerapan asas diskresi ini menurut Prajudi Atmosudirdjo , diperlukan hanya sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan undang-undang. Maksud pelengkap tersebut tentunya lebih luas dari undang-undang, sebab yang dimaksud asas legalitas ini ialah bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain asas diskresi ini mempunyai arti bahwa pejabat atau penguasa tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya. Oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas juridikitas dan asas legalitas .
Makna abuse de droit atau willekeur menurut S.F. Marbun ada dua hal: Pertama, timbulnya perbuatan hukum publik atau dikeluarkannya keputusan oleh pejabat administrasi itu dapat terjadi karena tidak semua fakta yang relevan dikumpulkan dan dipertimbangkan, sehingga keputusan itu dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap. Kedua, hakim administrasi dalam menguji perbuatan hukum publik atau keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi atas dasar sewenang-wenang ini bersifat terbatas (marginal), karena hakim harus menghormati kebebasan yang diberikan kepada pejabat administrasi dengan mentolerir pertimbangan yang didasarkan atas kebijaksanaan tersebut, tetapi hakim baru diperbolehkan memasuki lingkup kebijaksanaan itu apabila menilai menimbang-nimbang bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi itu tidak dapat diterima menurut nalar .
Ultra vires atau detournment de pouvoir menurut Prajudi Atmosudirdjo , di Indonesia istilah itu sering disepadankan dengan istilah asing lainnya, yaitu detournment de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang, yakni apabila suatu wewenang yang dilaksanakan oleh pejabat yang bersangkutan bertentangan dengan atau menyimpang sebagaimana ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang (dalam arti materiil dan dalam arti luas).
Perbuatan lain yang pada hakekatnya perbuatan melanggar hukum, ialah apa yang disebut dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad). Menurut Sjachran Basah , baik perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), penyalahgunaan wewenang (detournment de pouvoir) atau perbuatan sewenang-wenang (abuse de droit) oleh pejabat administrasi, merupakan perbuatan yang sangat sukar dipisah-pisahkan, karena pada hakekatnya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan mendatangkan kerugian kepada pihak yang terkena akibat perbuatan hukum publik dari pejabat administrasi tersebut.
Lebih lanjut Sjachran Basah menyatakan, apabila hendak juga mengadakan pembedaan bukan pemisahan, maka :
1. Perbuatan administrasi negara yang melanggar hukum (onrechtmatige overheids daad) adalah perbuatan yang disengaja maupun tidak yang melanggar undang-undang, peraturan-peraturan formal yang berlaku dan juga kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh penguasa yang menimbulkan kerugian bagi yang terkena
2. Perbuatan administrasi negara yang menyalahgunakan wewenang (detournment de pouvoir) adalah perbuatan yang menggunakan wewenang yang mencapai kepentingan umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan, yang menjadi dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kepentingan orang lain atau golongan lain
3. Perbuatan administrasi negara yang sewenang-wenang (abus de droit) adalah perbuatan yang berada di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.
Secara teoritis hukum tidak tertulis dalam lingkup hukum publik adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik sedangkan dalam salah satu asasnya adalah larangan melanggar asas detournment de pouvoir . Oleh karena itu pelanggaran asas detournment de pouvoir sama artinya dengan onrechtmatige. Sebaliknya tiap perbuatan pejabat administrasi yang onrechtmatige belum tentu melanggar asas detournment de pouvoir bisa saja melanggar peratuan perundang-undangan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kewenangan KSSK bersumber pada atribusi yang tersebut pada Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK, yang antara lain mengatur tujuan JPSK, fungsi dan tugas KSSK. Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Sedangkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dibentuk untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. Adapun tugas dan fungsi KSSK adalah mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik; menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/ Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik; dan menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/ Lembaga Keuangan Buakan Bank (LKBB) yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Fungsi KSSK adalah menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis (Pasal 7). Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugasnya, KSSK dibantu oleh sekretariat. KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden.
Dari dasar hukum diatas, tidak ada cacat kewenangan dalam pengambilan keputusan oleh KSSK, baik cacat dari unsur onbevoegdheid ratione materiae karena diputuskan oleh pejabat yang berwenang yaitu Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam Perppu No 4 Tahun 2008, unsur onbevoegdheid ratione loci, karena keputusan yang diambil oleh pejabat yang berada di dalam wilayah kerjanya; dan unsur onbevoegdheid ratione temporis, karena keputusan dibuat oleh pejabat yang masih berwenang untuk mengeluarkan keputusan dengan landasan pada tanggal 21 November 2008 adalah masih berlakunya Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK.
Disamping itu juga dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang di dalamnya terkandung asas tidak mencampuradukkan kewenangan. Rumusan penyalahgunaan wewenang ini dengan meminjam aturan UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan dalam pasal 53 ayat 2 b bahwa “ Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut “ Meskipun pasal ini sudah dicabut dengan UU No 9 Tahun2004 dan diganti dengan asas-asas pemerintahan yang baik, tetap bahwa Keputusan KSSK No 04/KSSK.03/2008 yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan meminta LPS untuk menangani berdasarkan UU LPS, tidak menyimpang dari maksud dan tujuan serta fungsi KSSK yaitu menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Agus Budi Susilo, “Perbuatan Hukum Yang Melanggar Hukum Dapat Digugat Ke Pengadilan Administrasi”. Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2006
Prajudi Atmosudirdjo, “Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara”, Makalah Pada Simposium Peradilan Tata Usaha Negara BPHN, Binacipta, Bandung, 1977
S.F. Marbun, “Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih Di Indonesia”, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2001
Sjachran Basah, “Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia”, Alumni, Bandung, 1985
Sri Soemantri dan Bintan R. Saragih, “Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Subagio, “Hukum Keuangan Negara RI”, CV. Rajawali, Jakarta, 1991
B. Data Elektronik
http://gayindonesiaforum.com/gay-chat-room2/hasil-investigasi-bpk-atas-kasus-century-t2090.html, “Hasil Investigasi BPK Atas Kasus Century”, Akses 28 Januari 2012.
http://xa.yimg.com/kq/groups/26305099/1339576763/name/Laporan+ICW+tentang+Century.pdf, “Skema Indikasi Korupsi Kasus Bank Century (Berdasarkan Hasil Audit BPK – 20 November 2009)”, Akses 28 Januari 2012.
http://www.kabarbisnis.com/read/287952, Akses 28 Januari 2012.
http://lk2fhui.org/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=42, “Kewenangan Melakukan Pengawasan Terhadap Keuangan Negara”, Akses 01 Februari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,