BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tuntutan reformasi adalah adanya keadilan dalam bidang politik dan ekonomi bagi masyarakat daerah. Kurangnya keadilan inilah yang dianggap oleh sebagian pakar dan pengamat politik sebagai salah satu sebab munculnya ketidak puasan daerah yang dalam beberapa hal menjurus menjadi tuntutan untuk membentuk negara federasi. Bahkan di daerah tertentu berkembang menjadi tuntutan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Sentralisasi yang terjadi dan semakin kuat di masa Orde Baru telah menyebabkan pincangnya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dampaknya yang serius adalah berkembangnya perasaan daerah bahwa daerah hanya menjadi obyek pemerasan oleh pusat
Diantara beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya sentralisasi dan kurang adilnya pembagian keuangan antara pusat dan daerah adalah Undang-Undang Dasar No 5 Tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kemudian pasca bergantinya rezim, dengan ditandai tumbangnya Orde Baru maka lahirlah Undang-Undang No 22 Tahun 1999. Akan tetapi, karena dipandang oleh kaum reformis dan para pakar otonomi daerah UU ini banyak mengandung kelemahan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi maka diusulkan untuk dilakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Maka, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999, dan bersamaan dengan itu kemudian disusul dengan lahirnya UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Dalam UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang dalam ketentuan formalnya melaksanakan: asas dekonsentrasi, yaitu: pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, asas desentralisasi, yaitu: pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan asas pembantuan, yaitu: penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan secara bersama-sama dan seimbang. Namun realitanya daerah merasakan bahwa otonomi tersebut lebih mengutamakan asas dekonsentrasi yang mengakibatkan penekanan kepada prinsip penyeragaman sentralisasi kekuasaan kepada pemerintah pusat. Sedangkan di daerah lebih mengutamakan kewenangan eksekutif, sehingga fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat wewenangnya kurang maksimal.
Daerah-daerah menuntut dilakukan peninjauan kembali serta pembaharuan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pelaksanaan asas desentralisasi. Dengan demikian akan lebih menjamin perkembangan demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dengan jalan memberdayakan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan mampu mengembangkan inisiatif serta check and balance dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sidang Istimewa MPR tahun 1998, menghasilkan Tap MPR No. XV/MPR/1998 yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut ketetapan ini daerah diberi kewenangan yang luas dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pembagian keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimanakah Hukum Otonomi Daerah Pasca Reformasi?
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hukum otonomi daerah pasca reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Dari awal kemerdekaan, pelaksanaan pemerintahan daerah merupakan bentuk realisasi amanat yang tertuang dalam salah satu pasal UUD 1945, yaitu Pasal 18. Jadi memang merupakan suatu tekad lama yang telah diberikan oleh The Founding Fathers Indonesia, agar pemerintahan daerah menjadi bagian dari sistem pemerintah Indonesia. Sebelum diamandemen Pasal 18 UUD 1945 menegaskan tentang sistem pemerintah daerah sebagai berikut ; Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul daerah yang bersifat istimewa.
Inti Pasal 18 tersebut adalah bahwa dalam negara Indonesia terdapat pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut terdiri dari daerah besar dan daearah kecil. Daerah besar yang dimaksud di sini adalah provinsi sedangkan daerah kecil adalah kabupaten/kota dan desa, dasar pembentukanya dengan permusyawaratan dengan mempertimbangkan asal-usul daerah yang bersangkutan sebagai keistimewaan.
Otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan yang menarik sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia.
Dalam pembahasan RUU pemerintahan daerah yang diajukan oleh pemerintah yang sangat mendasar dalam undang-undang baru adalah: memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi, kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasi‐regulasi yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, “bidang kewenangan lain” sebagaimana disebutkan dalam undang‐undang yang ada masih saja memberikan peluang multi tafsir serta peran yang lebih besar bagi pemerintah pusat untuk mengendalikan pemerintah daerah melalui proses perencanaan dan anggaran yang masih bercorak Jakarta sentris. Hal ini seolah menjadi bargaining yang cukup kuat bagi pusat untuk menentukan hitam putih pelaksaaan otonomi daerah. Apalagi melihat selama ini corak sentralistik yang sedemikian kuat berakar pada orde baru serta sejarah kerajaan‐kerajaan besar di Indonesia yang dikuatkan dengan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk tetap mengenyam manisnya sumbersumber daya Indonesia, corak sentralistik mejadi sangat kental dan sulit dihilangkan. Puncak dari sentralistik ini bisa dikatakan adalah orde baru, namun melihat dari sejarah pola hubungan ini sudah muncul sejak jaman Majapahit, kolonial Belanda dan Jepang dengan pola yang lebih rigid. Hal ini terus dilestariakn oleh penguasa mengingat sentralistik memberikan kemudahan pengendalian dan pengawasan atas daerah‐daerah yang ada di bawahnya. Berangkat dari kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang berlaku, khususnya berkaitan dengan aspek sumber daya manusia. Selanjutnya akan coba disodorkan alternatif pemikiran yang relevan sebagai upaya memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah, dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. UU No. 22 Tahun 1999 tersebut mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 1999, terlahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR – RI Nomor XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga dalam kerangka UUD 1945. Seperti proses lahirnya beberapa UU Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, UU No. 22 Tahun 1999 ini juga terkesan merupakan pergeseran, sesuai dengan kondisi politik saat itu. UU No. 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran dari kondisi sentralistis ke arah desentralisasi yang lebih luas. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, asas pemerintahan yang digunakan adalah asas desentralisasi dengan memperkuat fungsi DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. Akan tetapi, karena dipandang oleh kaum reformis dan para pakar otonomi daerah UU ini banyak mengandung kelemahan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi maka diusulkan untuk dilakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Maka, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999. Maraknya berbagai tuntutan demokratisasi di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara pada era reformasi ini, sektor pembangunan hukum mutlak membutuhkan pembenahan secara integral baik dari segi penegakan supremasi hukum, juga dalam pembentukan dan penciptaan suatu produk hukum yang responsif terhadap dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat secara nasional.
Latar belakang Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dilahirkan karena sedang giat-giatnya sosialisasi kegiatan pembangunan sebagai satu-satunya jalan terdekat menuju masyarakat adil dan makmur dengan trilogi pembangunan khususnya terciptanya stabilitas nasional yang semakin mantap.
Untuk itu diperlukan pemerintah yang stabil dan berwibawa yang didukung terselenggaranya pemerintah daerah. Maka dibuat undang-undang yang materinya mengeliminir pengaruh parpol dalam pelaksanaan pemerintah daerah dengan:
- Menghapus keberadaan Badan Pemerintah Harian (BPH) sebagai lembaga penasehat kepala daerah yang menampung perwakilan parpol di daerah
- Kuatnya kedudukan kepala daerah serta kewenangannya yang dimiliki, dimana kepala daerah hanya memberikan keterangan jalannya pemerintahan dan pembangunan satu tahun sekali kepada DPRD. Namun DPRD tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keterangan tersebut
- Tidak berfungsinya fungsi DPRD, khususnya dalam bidang pengawasan dengan tidak dilaksanakan hak enquete (hak penyelidikan)
Asas pemerintahan yang digunakan adalah: asas dekonsentrasi, asas desentralisasi dan asas pembantuan. Namun yang paling utama ialah asas dekonsentrasi lebih menonjol dalam pasal-pasalnya, hal ini ditunjukkan dengan:
- Kewenangan menentukan kepala daerah
- Pengawasan preventif pembuatan perda dimana Menteri Dalam Negeri berwenang menentukan kepala daerah untuk tingkat propinsi, gubernur berwenang untuk menentukan kepala daerah untuk perda kabupaten/kota
Berkaitan dengan hal tersebut, para reformis yang dimotori oleh para cendekiawan (pakar politik maupun tata negara) mencoba melakukan formulasi ulang, merekonstruksi UU No. 5/1974. Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaksanaan undang‐undang tersebut belum konsisten sehingga perlu dibentuk percontohan otonomi di satu daerah tingkat II di masing‐masing propinsi. Keengganan pemerintah pusat mendelegasikan wewenang kepada daerah sangat berlebihan, sebaliknya corak sentralistik yang sedemikian lama terbentuk menjadikan pemerintah daerah tidak berani untuk mengoreksi penyimpangan yang terjadi. Pendapat kedua, menginginkan agar undang‐undang tersebut diganti sama sekali karena tidak relevan.
Dalam Pasal 121 UU No 22/1999 disebutkan bahwa sebutan Propinsi Dati I, Kabupaten Dati II dan Kotamadya Dati II, sebagaimana dimaksud dalam UU No 5/1974 berubah masing-masing menjadi Propinsi, Kabupaten dan Kota. Sedangkan untuk daerah propinsi tetap merupakan daerah otonom dengan kewenangan yang terbatas. Kewenangannya meliputi urusan/kewenangan antar daerah otonom kabupaten/kota, urusan yang tidak dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota serta wilayah administrasi, yaitu wilayah dekonsentrasi yang dibebankan kepada kepala daerah propinsi sebagai perangkat pemerintah pusat.
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 adalah:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokratisasi dan dengan memperhatikan keanekaragaman daerah
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dalam arti penyaluran kewenangan pemerintah yang secara nyata dilaksanakan di daerah
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan di kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah propinsi adalah otonomi terbatas
4. Pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah
5. otonomi daerah harus lebih mengutamakan kemandirian daerah otonom sehingga dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi atau kawasan khusus yang dibuat oleh pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pelabuhan udara, kawasan perkotaan baru, kawasan pertambangan dan semacamnya
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai lembaga pengawas atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dijalankan oleh lembaga eksekutif daerah
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan yang tidak diserahkan kepada daerah
Terdapat prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, antara lain:
1. Asas desentralisasi yang dianut dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 mencakup pengertian:
a. Pemberian wewenang yang luas pada daerah otonom, kecuali wewenang dalam bidang:
- Pertahanan dan keamanan
- Politik luar negeri
- Peradilan
- Moneter, fiskal serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya
b. Proses pemerintahan daerah otonom yang baru berdasar asas desentralisasi atau mengakui adanya daerah otonom yang sudah dibentuk berdasar perundang-undangan sebelumnya
2. Asas dekonsentrasi yang dianut mencakup pengertian:
a. Pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada perangkat daerah
b. Pemerintahan propinsi sebagai wilayah administrasi dan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur
3. Dalam pemerintahan daerah tidak ada lagi perangkat (pembantu gubernur, pembantu bupati)
4. Pemerintah pusat dapat menugaskan kepada daerah otonom untuk melaksanakan tugas tertentu
5. Penyelenggaran pemerintahan daerah wajib meningkatkan kemakmuran daerah dan tetap dapat memelihara hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan
Munculnya UU No. 22/1999 dan yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan seputar rekonstruksi hubungan pusat‐daerah. Produk‐produk hukum tersebut menjadi suatu formulasi yang akan memberi warna baru dalam upaya memperbaiki hubungan pusat daerah sebagaimana dijabarkan oleh Pratikno (2003) antara lain:
1. Mengubah simbolisasi pada nama daerah otonom dengan dihapuskannya istilah Daerah Tingkat (Dati) I dan II dan digantikan dengan istilah yang lebih netral yakni propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini juga untuk menghindari citra bahwa Dati I lebih tinggi dan lebih berkuasa dibandingkan Dati II.
2. Melepaskan intervensi yang kuat pada kabupaten dan kota, sehingga tidak terjadi rangkap jabatan sebagai kepala daerah otonom (local selfgovernment) dan kepala wilayah administratif (field administration).
3. Pemilihan bupati dan walikota secara mandiri dan jauh dari campur tangan propinsi maupun pusat.
4. Mengenalkan Badan Perwakilan Desa sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat desa.
5. Memberikan keleluasaan kewenangan bidang pemerintahan kepada daerah otonom selain politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, fiskal dan moneter, agama serta ‘kewenangan bidang lain’.
6. Kewajiban bagi pemerintah pusat untuk memberikan alokasi anggaran kepada daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya sekurang‐kurangnya 25 % dari penerimaan dalam negeri APBN.
7. Semangat pemerataan antar‐daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Dana Darurat yang besarnya sesuai dengan kondisi keuangan tahunan.
Konsep otonomi daerah yang dimunculkan melalui UU No. 22/1999 memiliki substansi otonomi yang lebih jelas di dalam kerangka negara yang demokratis (selama ini orde baru lebih dikenal dengan rejim yang otoriter, demokrasi prosedural daripada substantif) dengan pokok‐pokok pikiran sebagai berikut :
1. Redistribusi kekuasaan
Mengembalikan kewenangan pemerintah daerah yang dapat mengatur pemerintahannya sendiri ini dilakukan sebagai jawaban atas pertanyaan sentralisasi yang begitu kuat pada level pemerintah pusat.
2. Pemberdayaan komunitas dan pemerintahan daerah
Proses redistribusi kekuasaan diikuti secara nyata dengan penyerahan urusan‐urusan kepada pemerintah daerah seperti pengelolaan SDA, serta urusan lain sebagaimana digariskan dalam UU.
3. Efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan
Dengan ditempuhnya langkah‐langkah tersebut di atas maka diharapkan dapat menciptakan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, terjadi distribusi urusan dan kewenangan yang jelas sesuai dengan porsi dan kapasitasnya.
Setelah amandemen yang keempat, Pasal 18 UUD 1945 mengalami beberapa perubahan. Ketentuan Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam BAB VI yang terdiri dari Pasal 18, 18A dan 18B dengan ketentuan sebagai berikut
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah , yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan pembantuan.
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang
Pasal 18 A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dengan adanya amandemen tersebut maka daerah besar dan daerah kecil menjadi jelas. Daerah besar adalah provinsi sedangkan daerah kecil adalah kabupaten/kota dan desa atau dengan nama lain. Bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah baik provinsi, kabupaten/kota berdasarkan asas otonomi dan pembantuan. Yang dimaksud disini adalah asas desentralisasi dan medebewind (tugas pembantuan).
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diterbitkan sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah juga menganut sistem Open and arrangement atau general competence. Dalam Pasal 10 ayat (3) undang-undang ini, disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sedangkan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah diluar yang ditentukan untuk pemerintah pusat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut Zudan Arif, pembagian urusan pemerintahan diatur dalam 4 (empat) model urusan pemerintahan yaitu:
1. Urusan absolut yaitu urusan yang secara mutlak menjadi urusan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat (3) )
2. Urusan bersama, yaitu urusan yang dapat dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten
3. Urusan wajib pemerintah daerah. Meliputi urusan wajib pemerintah daerah provinsi (Pasal 13) dan urusan wajib pemerintah daerah kabupaten (Pasal 14)
4. Urusan pilihan pemerintah daerah. Meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan kondisi dan potensi unggulan daerah (Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2)).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba melakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota. Ada tiga kriteria yang dipakai sebagai pedoman dalam pembagian urusan pemerintahan tersebut. Kriteria tersebut adalah kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Mengacu kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut:
1. Pemerintah pusat; mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk norma, standar, prosedur dan kriteria yang dijadikan acuan bagi pemda provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap pemda, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).
2. Pemda provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pusat.
3. Pemda kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pusat.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang (negative list). Di bidang Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal serta Agama.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Sepanjang pelaksanaan undang‐undang mengenai pemerintah daerah mulai 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 serta nyata‐nyata masih muncul praktik‐praktik penyimpangan maupun pelaksanaan yang kontra produktif dengan semangat regulasi itu sendiri. Paling tidak hal tersebut dapat terekam di dalam fakta‐fakta sebagai berikut:
1. Bagi‐bagi kekuasaan/semua “merasa” berkuasa
UU No. 22/1999 ditengarai telah mendorong terciptanya executive heavy, yang mana, tidak ada sinergi di antara penyelenggara pemerintahan di daerah. Upaya untuk memberikan keseimbangan kekuasaan kepada legislatif berlanjut menjadi dominasi legislatif atas eksekutif, sehingga merasa satu berkuasa atas lainnya.
2. Pemasungan kreatifitas berkaitan dengan manajemen keuangan dan pengawasannya
Masih saja pemerintah pusat memegang kendali atas perencanaan dan anggaran melalui mekanisme DAU, DAK, hibah dan bantuan, baik APBN maupun asing. Mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan masih simpang siur antara BPK maupun BPKP di level pusat.
3. Tarik ulur urusan‐urusan pemerintahan
Masih saja terjadi tarik‐ulur dalam urusan pemerintahan seperti menyangkut redistribusi pajak (PKB dan BBN di tingkat provinsi), serta hal-hal yang sifatnya antar wilayah, misalnya menyangkut jalan raya, sungai, wilayah perairan. Muncul kecenderungan ego sektoral antar pemerintah daerah.
BAB III
PENUTUP
Dalam UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang dalam ketentuan formalnya melaksanakan: asas dekonsentrasi, yaitu: pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, asas desentralisasi, yaitu: pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan asas pembantuan, yaitu: penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan secara bersama-sama dan seimbang. Namun realitanya daerah merasakan bahwa otonomi tersebut lebih mengutamakan asas dekonsentrasi yang mengakibatkan penekanan kepada prinsip penyeragaman sentralisasi kekuasaan kepada pemerintah pusat.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah, dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Munculnya UU No. 22/1999 dan yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan seputar rekonstruksi hubungan pusat‐daerah. Bentuk realisasi terjadinya amandemen keempat UUD 1945, khususnya Pasal 18 UUD. Produk‐produk hukum tersebut menjadi suatu formulasi yang akan memberi warna baru dalam upaya memperbaiki hubungan pusat daerah.
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diterbitkan sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah juga menganut sistem Open and arrangement atau general competence. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba melakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Amin Rahmanurrasjid, Akuntabilitas Dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Daerah (Studi di Kabupaten Kebumen), Semarang : Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008
B. N. Marbun, Otonomi Daerah 1945 – 2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda,Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, cetakan ke-1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005
Dzunuwanus Ghulam Manar, “Otonomi Daerah Dalam Kerangka Sumber Daya Manusia: Di Antara Harapan Dan Kenyataan”, Disampaikan Pada Studium General Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, 18 November 2008
Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim, ed., Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya”, dalam Syamsuddin Harris, ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005)
Winarna Surya Adisubrata, Otonomi Daerah Di Era Reformasi, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002, hlm. vii.
B. Jurnal
Muntoha, “Otonomi Daerah Dan Perkembangan Peraturan-Peraturan Daerah Bernuansa Syari’ah”, Jurnal Hukum, Edisi No. 2 Vol. 260 – 280, 15 April 2008
C. Data Elektronik
Rivan Mubaroq, “Implementasi Normatif Umum Otonomi Daerah Menurut UU No 32/2004”, dalam http://politikana.com/baca/2011/01/18/implementasi-normatif-umum-otonomi-daerah-menurut-uu-no-32-2004.html, Akses 09 Februari 2012.
http://saepudinonline.wordpress.com/2010/07/12/penyelenggaraan-otonomi-dan-legislasi-daerah-menurut-uu-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/, Akses 09 Februari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar