Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terus berupaya dalam peningkatan perekonomiannya. Kestabilan perekonomian sangat erat kaitannya dengan kestabilan perbankan. Peran industri perbankan dalam perekonomian suatu negara seringkali diibaratkan sebagai peran jantung dalam sistem tubuh manusia, karena bank mengerahkan dana masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya dalam bentuk kredit dalam rangka mengerakkan perekonomian. Untuk dapat berfungsi secara efektif, jantung perekonomian tersebut perlu dijaga agar selalu dalam kondisi sehat, stabil, serta bertumbuh (Harry Prasetya, http://www.lps.go.id).
Peranan dunia perbankan dalam masyarakat adalah dengan dijadikannya bank sebagai tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti tempat mengamankan uang, melakukan x pinjaman dana, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran atau melakukan penagihan. Dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit, telah menempatkan bank pada posisi yang strategis dalam rangka pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Dalam posisi bank sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit itulah bank disebut sebagai agen pembangunan.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menjelaskan bahwa posisi perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi dan sebagai agen pembangunan. Sehubungan dengan itu maka diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, bank dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.
Peran stategis yang dimiliki perbankan dalam perekonomian nasional telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan, tetapi tidak semua kebijakan dan aturan yang pernah diterapkan terhadap dunia perbankan nasional membawa dampak yang positif. Pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan. Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Paket deregulasi ini sangat memberikan kemudahan bagi pertumbuhan bank-bank swasta. Materi yang diatur oleh Pakto 1988 adalah :
1. Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan dengan syarat mempunyai modal setor hanya sebesar Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
2. Seluruh bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seluruh wilayah Indonesia asalkan memenuhi persyaratan 24 (dua puluh empat) bulan terakhir tergolong sehat.
3. Perluasan kesempatan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dan memperluas kewenangannya.
4. Mempermudah pengakuan atau pemberian status kepada bank devisa.xi
5. Mempermudah bank asing untuk membuka cabang-cabangnya di 5 (lima) kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
6. Mempermudah pendirian bank-bank campuran (patungan) di 5 (lima) kota besar tersebut. (Munir Fuady, 2003:30)
Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sesudah Pakto 1998, jumlah bank dan jumlah kantor bank meningkat dengan pesat. Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Indonesia 1988/1989 dan 1990/1991 jumlah bank bertambah dari 112 pada Maret 1998 menjadi 176 bank pada Maret 1991 (A. Deni Daruri dan Djoni Edward, 2004:38). Pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia yang mengakibatkan sektor-sektor ekonomi mengalami penurunan. Salah satu sektor yang sangat mempengaruhi kegiatan sektor riil yaitu jasa keuangan (perbankan) di Indonesia, akibatnya 16 (enam belas) bank terpaksa dilikuidasi atau dibekukan kegiatannya akibat ketidakmampuan bank tersebut dalam mengelola operasionalnya. Likuidasi terhadap bank-bank yang bermasalah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia menurun akibatnya terjadi penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dalam jumlah yang signifikan. Pada dasarnya bank adalah lembaga kepercayaan, karena kemauan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga. Usaha pemerintah dalam meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, yaitu dengan memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat. Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Selain memberikan penjaminan menyeluruh terhadap simpanan nasabah, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) yang bertujuan untuk mengambil alih dan menyehatkan bank yang bermasalah.
Pelaksanaan penjaminan oleh pemerintah atas seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) terbukti dapat menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun demikian luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya tindakan kurang hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral hazard) baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin pasar (http://www.lps.go.id).
Upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman dan nyaman bagi nasabah penyimpan dana serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas dan diperlukan sebuah lembaga yang independen, transparan dan akuntabel untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dana. Pasal 37B ayat (2) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) menyebutkan bahwa “Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan”. Akhirnya tanggal 22 September 2004 telah ditetapkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut Undang-Undang LPS). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi pada tanggal 22 September 2005. Dengan mulai beroperasinya LPS, sistem penjaminan menyeluruh atas dana simpanan nasabah penyimpan oleh pemerintah akan berakhir dan digantikan dengan program penjaminan terbatas. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada satu sisi penjaminan terbatas sangat merugikan bagi nasabah besar, karena rata-rata dari mereka memiliki simpanan yang jumlahnya melebihi simpanan yang dijamin oleh LPS. Di sisi lain apabila penjaminan menyeluruh tetap diberlakukan, dikhawatirkan pengelola bank akan melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko yang digariskan. Terlebih lagi melalui Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dikeluarkan oleh otorita moneter, Bank Indonesia, dalam rangka memperkuat struktur permodalan bank di Indonesia, menetapkan modal inti minimal bank umum pada akhir tahun 2007 sebesar Rp. 80 miliar, dan pada 2010 jumlah bank BUMN maupun Bank Swasta akan diciutkan menjadi sekitar 60 dari 132 bank saat ini dengan menetapkan ketentuan jumlah modal inti yang harus
dimiliki di atas Rp. 100 miliar (Khomarul Hidayat, www.sinarharapan.co.id). Pada saatnya nanti hanya ada beberapa bank yang mengarah ke bank internasional, yakni bank yang mampu memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Bank Indonesia dengan modal di atas Rp. 50 triliun. Kemudian ada beberapa bank saja yang memiliki cakupan usaha yang luas dan beroperasi secara nasional, yang kriterianya harus memiliki modal antara Rp. 10 triliun sampai Rp. 50 triliun. Adapun perbankan yang memiliki tingkat permodalan Rp. 100 miliar, disebut bank dengan fokus daerah, korporasi, ritel dan yang lainnya. Sementara bank yang modalnya di bawah Rp. 100 miliar, hanya boleh melakukan kegiatan usaha terbatas atau masuk dalam kategori Bank Perkreditan Rakyat (Dzeiban, Rosyidah, http://adln.lib.unair.ac.id). Hal tersebut tentu bukan pekerjaan mudah dan dengan waktu yang cepat untuk memenuhi ketentuan jumlah modal inti yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Bagi bank dengan modal kecil, untuk dapat memenuhi apa yang dipersyaratkan Bank Indonesia, salah satu alternatifnya adalah menempuh jalan merger dengan bank yang bermodal besar. Jika tidak berhasil memenuhi syarat yang ditentukan, harus siap keluar dari bisnis perbankan. Hal ini tentu membuat nasabah penyimpan dana semakin khawatir dengan dana yang disimpannya di bank. Untuk itu ketentuan di dalam Undang-Undang LPS harus dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yakni menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya
Peranan dunia perbankan dalam masyarakat adalah dengan dijadikannya bank sebagai tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti tempat mengamankan uang, melakukan x pinjaman dana, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran atau melakukan penagihan. Dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit, telah menempatkan bank pada posisi yang strategis dalam rangka pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Dalam posisi bank sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit itulah bank disebut sebagai agen pembangunan.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menjelaskan bahwa posisi perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi dan sebagai agen pembangunan. Sehubungan dengan itu maka diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, bank dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.
Peran stategis yang dimiliki perbankan dalam perekonomian nasional telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan, tetapi tidak semua kebijakan dan aturan yang pernah diterapkan terhadap dunia perbankan nasional membawa dampak yang positif. Pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan. Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Paket deregulasi ini sangat memberikan kemudahan bagi pertumbuhan bank-bank swasta. Materi yang diatur oleh Pakto 1988 adalah :
1. Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan dengan syarat mempunyai modal setor hanya sebesar Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
2. Seluruh bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seluruh wilayah Indonesia asalkan memenuhi persyaratan 24 (dua puluh empat) bulan terakhir tergolong sehat.
3. Perluasan kesempatan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dan memperluas kewenangannya.
4. Mempermudah pengakuan atau pemberian status kepada bank devisa.xi
5. Mempermudah bank asing untuk membuka cabang-cabangnya di 5 (lima) kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
6. Mempermudah pendirian bank-bank campuran (patungan) di 5 (lima) kota besar tersebut. (Munir Fuady, 2003:30)
Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sesudah Pakto 1998, jumlah bank dan jumlah kantor bank meningkat dengan pesat. Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Indonesia 1988/1989 dan 1990/1991 jumlah bank bertambah dari 112 pada Maret 1998 menjadi 176 bank pada Maret 1991 (A. Deni Daruri dan Djoni Edward, 2004:38). Pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia yang mengakibatkan sektor-sektor ekonomi mengalami penurunan. Salah satu sektor yang sangat mempengaruhi kegiatan sektor riil yaitu jasa keuangan (perbankan) di Indonesia, akibatnya 16 (enam belas) bank terpaksa dilikuidasi atau dibekukan kegiatannya akibat ketidakmampuan bank tersebut dalam mengelola operasionalnya. Likuidasi terhadap bank-bank yang bermasalah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia menurun akibatnya terjadi penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dalam jumlah yang signifikan. Pada dasarnya bank adalah lembaga kepercayaan, karena kemauan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga. Usaha pemerintah dalam meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, yaitu dengan memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat. Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Selain memberikan penjaminan menyeluruh terhadap simpanan nasabah, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) yang bertujuan untuk mengambil alih dan menyehatkan bank yang bermasalah.
Pelaksanaan penjaminan oleh pemerintah atas seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) terbukti dapat menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun demikian luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya tindakan kurang hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral hazard) baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin pasar (http://www.lps.go.id).
Upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman dan nyaman bagi nasabah penyimpan dana serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas dan diperlukan sebuah lembaga yang independen, transparan dan akuntabel untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dana. Pasal 37B ayat (2) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) menyebutkan bahwa “Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan”. Akhirnya tanggal 22 September 2004 telah ditetapkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut Undang-Undang LPS). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi pada tanggal 22 September 2005. Dengan mulai beroperasinya LPS, sistem penjaminan menyeluruh atas dana simpanan nasabah penyimpan oleh pemerintah akan berakhir dan digantikan dengan program penjaminan terbatas. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada satu sisi penjaminan terbatas sangat merugikan bagi nasabah besar, karena rata-rata dari mereka memiliki simpanan yang jumlahnya melebihi simpanan yang dijamin oleh LPS. Di sisi lain apabila penjaminan menyeluruh tetap diberlakukan, dikhawatirkan pengelola bank akan melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko yang digariskan. Terlebih lagi melalui Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dikeluarkan oleh otorita moneter, Bank Indonesia, dalam rangka memperkuat struktur permodalan bank di Indonesia, menetapkan modal inti minimal bank umum pada akhir tahun 2007 sebesar Rp. 80 miliar, dan pada 2010 jumlah bank BUMN maupun Bank Swasta akan diciutkan menjadi sekitar 60 dari 132 bank saat ini dengan menetapkan ketentuan jumlah modal inti yang harus
dimiliki di atas Rp. 100 miliar (Khomarul Hidayat, www.sinarharapan.co.id). Pada saatnya nanti hanya ada beberapa bank yang mengarah ke bank internasional, yakni bank yang mampu memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Bank Indonesia dengan modal di atas Rp. 50 triliun. Kemudian ada beberapa bank saja yang memiliki cakupan usaha yang luas dan beroperasi secara nasional, yang kriterianya harus memiliki modal antara Rp. 10 triliun sampai Rp. 50 triliun. Adapun perbankan yang memiliki tingkat permodalan Rp. 100 miliar, disebut bank dengan fokus daerah, korporasi, ritel dan yang lainnya. Sementara bank yang modalnya di bawah Rp. 100 miliar, hanya boleh melakukan kegiatan usaha terbatas atau masuk dalam kategori Bank Perkreditan Rakyat (Dzeiban, Rosyidah, http://adln.lib.unair.ac.id). Hal tersebut tentu bukan pekerjaan mudah dan dengan waktu yang cepat untuk memenuhi ketentuan jumlah modal inti yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Bagi bank dengan modal kecil, untuk dapat memenuhi apa yang dipersyaratkan Bank Indonesia, salah satu alternatifnya adalah menempuh jalan merger dengan bank yang bermodal besar. Jika tidak berhasil memenuhi syarat yang ditentukan, harus siap keluar dari bisnis perbankan. Hal ini tentu membuat nasabah penyimpan dana semakin khawatir dengan dana yang disimpannya di bank. Untuk itu ketentuan di dalam Undang-Undang LPS harus dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yakni menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH