Minggu, 15 Januari 2012

MENGKAJI PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2007 TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

A.    PERMASALAHAN

Hukum memiliki sifat dan ciri-ciri: eksplisit, ditegakkan secara terencana oleh organisasi kenegaraan dan bersifat normal. Hukum dikatakan eksplisit karena substansi kaedahnya cenderung dirumuskan secara tegas-tegas dalam kalimat-kalimat yang memiliki makna yang jelas. Hukum modern pada umumnya dirumuskan secara tertulis, lengkap dan berbagai penjelasan mengenai tafsir dan cara penafsiran. Keeksplisitan juga dibuktikan dengan fakta-fakta bahwa kaidah-kaidah hukum itu bersifat terbuka, berlaku umum dan mempunyai kepastian. Dengan adanya karakteristik-karakteristik itulah maka hukum dapat digunakan dalam jangka waktu tertentu yang relatif panjang.
Disamping itu, karena sifatnya yang eksplisit menyebabkan hukum memerlukan suatu struktur yang mengelolanya. Peranan struktur ini adalah membuat atau merumuskan kaidah-kaidah hukum yang eksplisit. Pada hakekatnya hukum dapat dibuat sebelum dan sesudah suatu kasus terjadi atau dibuat pada saat suatu kasus sedang diselesaikan. Dalam bentuk yang pertama, yaitu sebelum terjadi kasus, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan lainnya, disebut sebagai hukum in abstracto. Sedangkan bagi bentuk yang kedua hukum lahir bersamaan dengan jatuhnya keputusan yang menyelesaikan perkara, hukum ini disebut in concreto.
Struktur organisasi pembentukan hukum, yaitu lembaga legislatif. Di dalamnya terdiri wakil-wakil golongan politik yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi politik melalui proses-proses yang pada umumnya berwarna politik. Hasil lembaga ini diakui sebagai hukum yang berlaku umum dan bersifat netral. Akan tetapi sebenarnya dilihat dari prosesnya, merupakan proses yang penuh aspirasi politik. Sedangkan fungsi eksekutif atau pemerintah pada dasarnya merupakan lembaga pelaksana undang-undang, namun demikian dalam kenyataannya ia juga lembaga pembentuk hukum. Apabila pemerintah membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan, maka peraturan¬-peraturan dan keputusan-keputusan ini hendaklah diterima sebagai bagian usahanya untuk mengimplementasikan perintah undang-undang dan bukan membuat hukum yang tak berlandaskan pada kekuatan hukum yang lebih tinggi .
Sebagai pelaksana hukum (perundang-undangan), pemerintah dalam tindakan-tindakannya diberi kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan guna mengimplementasikan pelaksana undang-undang. Undang-undang umumnya kurang praktis untuk diterapkan langsung. Pelaksanaannya selalu memerlukan penjabaran-penjabaran dalam bentuk peraturan pelaksanaan sehingga penjabaran ini pada dasarnya merupakan produk-produk hukum.
Dari uraian tersebut maka penyusun terdorong untuk mengkaji mengkaji  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007  tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup  Dan Bidang Usaha Yang Terbuka  Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dari perspektif sosiologi hukum.

B.    ANALISIS PERMASALAHAN

Dalam sosiologi hukum fokus pada hukum sebagai himpunan moralitas sosial dan sebagai wahana untuk mencapai cita-cita nasional. Dengan demikian hukum menempati fungsi vital dalam kehidupan sosial. Hukum tidak hanya diartikan sebagai suatu fungsi sosial, melainkan juga sebagai suatu struktur sosial yang memiliki ciri-ciri institusionalnya sendiri yang menentukan cara kerjanya.
Menurut weber faktor yang mempengaruhi terhadap hukum yang baru terbentuk adalah kepentingan-kepentingan ekonomis baru yang sering kali merupakan sebab pertama yang telah mendorong pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari upaya-upaya hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya . Kekuasaan pun memainkan peranan menentukan di dalam pembentukan hukum. Ada tiga peranan yang dimiliki oleh kekuasaan. Pertama, sanksi yang diberikan oleh kekuasaanlah yang pada akhirnya menentukan kemanjuran sosial dari aturan-aturan hukum. Dengan demikian kekuasaan merupakan faktor penentu dalam pembentukan hukum, dengan menentukan hukum apa yang akan berlaku. Kedua, kepentingan-kepentingan administratif dari penguasa selalu merupakan suatu pengaruh besar terhadap pembentukan hukum. Ketiga, bentuk tertentu yang diambil oleh kekuasaan politik selalu merupakan faktor kondisional penting dengan dengan mengarahkan pembentukan hukum ke suatu arah tertentu.
Meskipun kepentingan ekonomis dan kekuasaan politik nampaknya penting dalam menentukan arah umum bagi pembentukan hukum, namun mereka tidak mampu untuk menjelaskan secara memuaskan kualitas sistem-sistem hukum yang terbentuk yang bersifat formal secara khusus dan khas “juristik”. Menurut weber bahwa kepentingan ekonomis dan administratif dapat dipenuhi dengan berbagai jalan yang berbeda-beda, sehingga mereka tak pernah akan dapat menjelaskan bentuk konkret dari hukum yang telah muncul karena kepentingan-kepentingan tersebut.
Kepentingan ekonomis dan kekuasaan merupakan sebab-sebab lahiriah yang mempengaruhi hukum dan pembentukan hukum dari luar. Untuk menjelaskan kualitas hukum yang juristik kita harus melihat kepada sebab-sebab yang bekerja di dalam hukumnya sendiri. Kapitalisme rasional yang modern membutuhkan tidak hanya cara-cara teknis produksi tetapi juga suatu sistem hukum yang dapat diperhitungkan serta administrasi dalam bentuk aturan-aturan formal.
Susunan tata hukum yang ideal tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan dunia ekonomi sebab keduanya berada dalam tingkat yang berlainan. Yang satu berada dalam dalam alam  ideal dari yang sepantasnya, sedangkan yang lainnya berada dalam alam yang ada yang nyata ini merupakan pengertian hukum. Berbeda pula dengan pengertian sosiologi bahwa hukum mempunyai hubungan yang erat satu sama lain yang berlaku secara empiris.
Hukum tidak akan dapat menyumbangkan banyak rasionalitas kepada masalah-masalah sosial, apabila hukum terisolasi dari dinamika kehidupan sosial serta dari apa yang diprihatinkan oleh rakyat. Meskipun demikian hukum dapat saja mengembangkan rasionalitasnya akan tetapi masyarakat akan berjalan sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri dan rasionalitas hukum tidak akan memberi dampak apa pun kepadanya; hukum akan kehilangan semua artinya secara sosial.
Hukum harus ada sifat responsif dimana hukum itu ada bukan demi hukum itu sendiri, juga tidak demi kepentingan apapun dari beragam pihak, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Hukum hanya dapat memiliki nilai karena hukum dapat menangani masalah-masalah sosial yang mendasar serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi rakyat. Hukum harus dapat menyediakan dua hal: pertama, jaminan prosedural untuk melindungi kepentingan-kepentingan rakyat yang vital seperti yang dipahami oleh mereka. Kedua, keterbukaan prosedural dalam bentuk saluran-saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan serta penanganannya secara hukum dan administratif.
Dalam perspektif sosiologi hukum untuk mengkaji apakah suatu bentuk peraturan telah mencerminkan kaidah-kaidah yang selaras dengan kepentingan rakyat, maka terdapat beberapa konsep sosiologi hukum, antara lain:
1.    Hukum berfungsi sebagai sarana social control (pengendalian sosial)
Hukum sebagai sosiol control: kepastian hukum, dalam artian UU yang dilakukan benar-benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik-konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat. Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
2.    Hukum berfungsi sebagai sarana social engineering
Hukum dapat bersifat social engineering: merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.
3.    Wibawa hukum
Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo , diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Dalam artian sebagai berikut :
•    Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
•    Norma-norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
•    Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
•    Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara itu
•    Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hukum yang berlaku

C.    KESIMPULAN

Dari uraian yang tertulis diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007  tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup  Dan Bidang Usaha Yang Terbuka  Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dari perspektif sosiologi hukum, antara lain:
1.    Menurut weber faktor yang mempengaruhi terhadap hukum yang baru terbentuk adalah kepentingan-kepentingan ekonomis baru yang sering kali merupakan sebab pertama yang telah mendorong pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari upaya-upaya hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya. Dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 ini mengarah kepada kepentingan ekonomi yang jauh lebih besar kepada kepentingan ekonomi asing yang tidak memperhatikan kepentingan nasional terutama kepentingan rakyat. Dimana sektor-sektor mengenai hajat hidup orang banyak diberi kesempatan seluas-luasnya bagi pihak asing dengan wujud kepemilikan modal 95% untuk sektor energi dan sumber daya mineral.
2.    Hukum tidak akan dapat menyumbangkan banyak rasionalitas kepada masalah-masalah sosial, apabila hukum terisolasi dari dinamika kehidupan sosial serta dari apa yang diprihatinkan oleh rakyat. Meskipun demikian hukum dapat saja mengembangkan rasionalitasnya akan tetapi masyarakat akan berjalan sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri dan rasionalitas hukum tidak akan memberi dampak apa pun kepadanya; hukum akan kehilangan semua artinya secara sosial. Dalam hal ini hukum yang diwujudkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 pun tidak dapat menyumbangkan rasionalitas kepada sosial. Karena produk hukum ini sangat sarat dengan kepentingan asing yang dilindungi bukannya kepentingan rakyat Indonesia.
3.    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tidak mencermati dan memasukkan hukum berfungsi sebagai sarana social control (pengendalian sosial). Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan.Wujud keadilan yang diharapakn tidak terwujud dalam bentuk alokasi kepemilikan modal.
4.    Hukum berfungsi sebagai sarana social engineering mempunyai arti hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern. Namun dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tidak diwujudkan maksud tersebut. Tergambarkan malah sebaliknya, bahwa pemerintah yang tidak berpikiran modern. Dimana negara yang modern ialah negara yang memperhatikan dan mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran sebesar-besar rakyat.
5.    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tidak menunjukkan wibawa hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Dan sangat menggelikan apabila Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga turut campur dalam mengurusi hal-hal yang menurut penulis sepele, contoh bidang usaha spa, ketangkasan, hotel melati, dst yang tercantum dalam peraturan ini. Mengapa hal-hal tersebut tidak diatur dalam peraturan Menteri yang memang tugasnya membantu Presiden.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Tidak ada komentar: