Minggu, 15 Januari 2012

TIPE NEGARA WELFARE STATE

    BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pada rana kenegaraan yang perlu kita ketahui adalah bagaimana menjadikan masyarakat sejahtera dan makmur, tanpa melepaskan sendi-sendi keutamaan sebuah negara itu berdiri. Negara  hukum dan pemerintahan yang demokrasi semua itu adalah persyaratan yang urgen dalam sebuah pembangunan negara dan menjadikan negara itu jelas dari tipe sejarah maupun dari kacamata hukum.
Seperti yang diteorikan oleh George Jellinek dan Jean Bodin bahwa negara itu berdaulat yang dimana hukum ada karena adanya negara dan tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Dari teori tersebut kita bisa mengulas sebuah konsep bahwa negara itu adalah sistem yang betul-betul berkuasa terhadap kehidupan seluruh yang ada didalamnya demi mensejahterahkan rakyatnya .
Tema kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik lebih banyak retorika politik yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini perlu menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare state in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare state (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare state (1958).
Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau kebersarnaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong .
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengungkapkan pemahaman konsep negara welfare state

B.    Rumusan Masalah
1.    Pemahaman konsep negara welfare state









BAB II

PEMBAHASAN

Dalam pandangan teori klasik tentang negara, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, mencakup lima hal . Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya, misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan mengurus barang-barang publik dan warga. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar fungsi pelayanan publik berjalan secara efektif dan profesional. Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomidan membuka lapangan kerja bagi warga. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga.
Kelima peran klasik negara itu dapat terlaksana dalam situasi “normal” dimana negara mempunyai kekuasaan politik yang besar dan mempunyai basis materi (ekonomi) yang memadai. Negara menjadi pelaku tunggal yang menjalankan peran mengumpulkan basis material sampai dengan membagi material itu kepada rakyat. Dalam mencapai kesejahteraan, dibutuhkan peran “normal” negara untuk menciptakan pembangunan yang seimbang (balanced development), yaitu keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial.
Melihat konsep negara sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat, maka muncullah konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya pertama kali muncul di Inggris dengan ditandatanganinya Undang-Undang Kemiskinan (the poor relief act) pada tahun 1598 (diamandemen beberapa kali) dilanjutkan pada saat dimulainya upaya rekonstruksi sosial dan ekonomi pasca Perang Dunia I dan II (1940an).   
Perkembangan welfare state (negara kesejahteraan) sebetulnya dimulai sejak Bapak Sosialisme Demokrat Jean Jacques Rousseau, menerbitkan Discours sur l’original et Fondament de l’Inegality parmi les Hommes pada tahun 1775, yang mendahului terbitnya karya Adam Smith The Wealth Nation 1776 yang mendasari pengembangan model kapitalisme dan karya Karl Marx Das Capital 1848 yang mendasari Komunisme. Jean Jacques Rousseau melontarkan diskursus tentang penyebab ketimpangan sosial yang dialami manusia
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik (Spicker, 1995). Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis .
Dalam paham demokrasi sosial (social democracy), negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dam kapitalisme terus berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kehidupan umat manusia melalui arus globalisasi yang terus meningkat, tetapi aspirasi ke arah sosialisme baru di seluruh dunia juga berkembang sebagai penyeimbang. Oleh karena itu, konsep welfare state merupakan keniscayaan dinamis yang terus mengikuti situasi dan perkembangan masyarakat. Demikian pula pengaruh globalisasi yang menciptakan adanya modifikasi terhadap konsep negara kesejahteraan (Jimly Asshiddiqe, 2006).
Negara Kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak warga negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik dan hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi. Hal sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dupenuhi pada abad ke-18, hak politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20. Negara Kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikan hak setiap warga sebagai ”alasan utama” kebijakan sebuah negara. Negara dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai ’penganugerahan hak-hak sosial’ kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasar atas dasar kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas .
Negara berperan lebih besar dalam menjamin kesejahteraan sosial secara terencana, melembaga, dan berkesinambungan. Konsep ini mencapai puncaknya di era “golden age” pasca Perang Dunia II. Faktor utama pendorong berkembangnya negara kesejahteraan menurut Pierson adalah industrialisasi yang membawa perubahan dramatis dalam tatanan tradisional penyediaan kesejahteraan dan ikatan keluarga, seperti akselerasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan populasi penduduk, munculnya pembagian kerja (divison of labour), perubahan pola kehidupan keluarga dan komunitas, maraknya pengangguran siklikal, terciptanya kelas pekerja nirlahan (landless working class) beserta potensi mobilisasi politis mereka. Perkembangan negara kesejahteraan ini mengalami penyesuaian dengan kondisi di masing-masing negara. Kini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yaitu :
1.      Model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
2.      Model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
3.      Model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
4.      Model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu menggiur.
Konsep negara kesejahteraan memang lahir dari rahim liberalisme, terutama liberalisme modern yang menganggap negara harus turut bertanggung jawab atas rakyatnya, tidak hanya sebagai penjaga malam seperti yang dipahami aliran liberalisme klasik. Namun, cita-cita akan adanya negara kesejahteraan nampaknya hadir pula dalam benak sosialis seperti Sjahrir. Bagi Sjahrir, negara kesejahteraan akan dapat mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, stabilitas sosial,  inklusi sosial dan efisiensi ekonomi. Secara ideologis, cita-cita Sjahrir merupakan bentuk peralihan antara kapitalisme laissez-faire menuju sosialisme sehingga konsekuensi yang paling mungkin adalah bentuk negara kesejahteraan, Universalist Welfare State, yaitu rezim kesejahteraan sosial demokrat dengan jaminan sosial universal dan kelompok target yang luas, serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif .
Kesejahteraan negara atau welfare state, baik sebagai konsep maupun model pembangunan kesejahteraan, memiliki wajah yang beragam. Ia tidak vakum, melainkan dinamis mengikuti denyut perubahan dan tuntutan masyarakat di negara yang bersangkutan . Kesejahteraan negara tidaklah mati sebagaimana dimitoskan banyak orang. Ia juga tidak hanya milik negara-negara maju secara ekonomi. Dengan political will, komitmen dan visi yang jelas mengenai investasi sosial dan manusia, negara-negara berkembang mampu menjalankan pendekatan pembangunan kesejahteraan ini.
Kata ‘negara’ pada ‘kesejahteraan negara’ tidak berarti bahwa sistem ini hanya melibatkan negara saja. Sebagaimana dipraktekkan di banyak negara, sistem ini juga melibatkan civil society, organisasi-organisasi sukarela dan perusahaan swasta. Dengan konsep welfare pluralism seperti ini, jenis-jenis pelayanan dan bahkan sistem pengorganisasiannya bisa dilakukan secara terdesentralisasi sesuai dengan karakteristik dan keperluan masyarakat setempat. Yang terpenting, framework dan substansi dari pendekatan itu tetap sejalan dengan ruh kesejahteraan negara yang menekankan pentingnya perlindungan sosial sebagai hak warga negara.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan negara dalam hal ini pemerintah amat strategis dan penting dalam melayani dan mendampingi masyarakat dalam mengelola dan memberdayakan potensi bangsa yang sudah merdeka ini. Kehadiran sebuah kedaulatan rakyat dalam negara merdeka tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak ada pemerintah dengan pejabat pemerintahan sebagai instrumen dalam mengelola potensi bangsa untuk menjaga kedaulatan tersebut. Negara yang berdaulat tidak memiliki kewibawaan di hadapan bangsa lain apabila potensi negara tidak mampu diurus dan dikelola secara baik dan benar oleh pemerintah. Sebaliknya, kehadiran dan keberadaan sebuah pemerintah (Government) dalam sebuah negara yang merdeka tidak memiliki makna apabila pemerintah tersebut tidak memiliki dukungan dan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang memiliki dukungan dan relasi yang baik dari rakyat (society) .
Di setiap penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) sepakat membangun negara kesejahteraan merujuk konsep orisinal, yang semula berkembang di Eropa Barat (Inggris dan Jerman) dan negara-negara Skandinavia (Finlandia, Swedia, Norwegia). Jika memiliki kesamaan cita-cita membangun negara kesejahteraan, namun dalam banyak hal yang amat fundamental pihak legislatif sering berseberangan dengan eksekutif, terutama berkenaan dengan policy prescriptions, dalam membangun perekonomian negara .
Dalam rangka menata dan menjaga hubungan baik antara negara dan rakyat maka diperlukan sebuah norma dan hukum. Hukum atau norma yang mengatur substansi hubungan publik dan negara lebih dikenal dengan hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara menjadi landasan kerja bagi administrasi negara, yang mengemban tugas servis publik. Kecenderungan penyimpangan oleh pemerintah dan mengharapkan ketaatan serta kepatuhan dari rakyat menjadi alasan adanya norma atau hukum yang mengatur hubungan di antara keduanya. Artinya, sebagai negara hukum, maka Indonesia harus mampu menghadirkan instrumen hukum yang mengatur hubungan antara warga dan negara.
Setidaknya ada 2 (dua) hal yang melatarbelakangi pentingnya hukum yang mengatur hubungan warga dan negara. Pertama, hukum dan norma amat penting sebagai kontrol yuridis dari warga kepada pemerintah yang diwakili pejabat pemerintahan yang sedang melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam konteks demokratisasi dalam sebuah bangsa yang merdeka, maka pilar hukum menjadi amat penting sebagai check and balances bagi pemerintah.
Adanya kebijakan publik dari negara yang diperankan oleh pejabat pemerintah sebagai konsekuensi dari perwujudan negara kesejahteraan yang menjadi platform negara Indonesia. Bahkan konsep welfare state tersebut di dalam perundang-undangan kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah ”negara pengurus” . Dalam pengertian dasarnya, ”negara kesejahteraan” merupakan sebuah konsepsi, paradigma dan kerangka aksi tentang pemerintahan di mana sektor negara menjalankan peran kunci di dalam hal memberikan proteksi dan atau melakukan promosi kesejahteraan bagi setiap warga negara. Konsepsi ini secara jelas menempatkan negara dalam hal ini pejabat pemerintahan wajib melaksanakan agenda yang berbasis kepada kesejahteraan bagi publik. Dalam menyusun dan merealisasikan agenda kesejahteraan tersebut, pejabat pemerintah menerbitkan berbagai macam regulasi dan kebijakan.
Esensi dari negara kesejahteraan untuk memberikan pelayanan yang mensejahterakan bagi publik tidak serta merta berjalan dalam koridor idealitas yang sesungguhnya. Dalam situasi negara belum maksimal melaksanakan mandat untuk mensejahterakan kondisi rakyat, maka hal itu harus dipahami bahwa salah satu dari wajah buruk dari konsepsi negara kesejahteraan adalah munculnya rezim korup dan otoriter yang tampil dengan wajah seorang budiman. Dalam hal ini, pemerintah menampilkan berbagai macam data dan pertanggung jawaban formil atas upaya peningkatan kesejahteraan. Namun di sisi lain, secara riil tindakan pemerintah sesungguhnya banyak yang menyimpang dan dikelola secara otoriter dan koruptif. Negara kesejahteraan yang mencitakan pelayanan terbaik baik publik tetap menyisakan potensi pemerintahan yang korup dan menyimpang. Potensi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah amat besar, mengingat semua kendali pembangunan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan kebijakan dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang berbeda ketika sebuah negara memilih haluan atau sistem Kapitalisme atau Liberalisme yang pada dasarnya menihilkan peran negara dalam pengeloaan pembangunan . Pada posisi negara memiliki kendali yang amat besar dan tidak ada kekuatan yang cenderung melakukan kontrol terhadap negara, maka kekuasaan yang dimiliki negara akan menjadi absolut, tirani atau diktator.
Salah satu faktor yang mendorong bergesernya wajah negara kesejahteraan berubah menjadi pemerintahan yang korup adalah lemahnya kontrol dari publik (society) dalam rangka mengkritisi bahkan menolak kebijakan pemerintah yang secara nyata menyimpang dari esensi kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan cenderung tidak terbatas bahkan akan terjadi penumpukan kekuasaan apabila tidak ada kontrol dari publik. Salah satu penyebab lemahnya kontrol terhadap negara adalah tidak memadainya kesadaran dan pemahaman dari publik bahwa negara dapat dikontrol dan dikendalikan melalui mekanisme kontrol yuridis. Sebagai negara hukum, secara konstitusional telah disepakati bahwa semua tindakan elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun publik harus mampu dikontrol melalui mekanisme hukum. Dalam konteks relasi publik dan negara, menarik mengutip pendapat Prof. M. Hadjon tentang Negara Hukum; Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan pemerintah dan rakyat; (b) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.





BAB III

PENUTUP

Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Kesejahteraan negara atau welfare state, baik sebagai konsep maupun model pembangunan kesejahteraan, memiliki wajah yang beragam. Ia tidak vakum, melainkan dinamis mengikuti denyut perubahan dan tuntutan masyarakat di negara yang bersangkutan. Kesejahteraan negara tidaklah mati sebagaimana dimitoskan banyak orang. Ia juga tidak hanya milik negara-negara maju secara ekonomi. Dengan political will, komitmen dan visi yang jelas mengenai investasi sosial dan manusia, negara-negara berkembang mampu menjalankan pendekatan pembangunan kesejahteraan ini.
Good Governance menjadi agenda utama dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) bagi bangsa yang merdeka. Good Governance meniscayakan pemerintah yang akuntabel dan dan transparan yang siap melayani publik secara profesional.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik









    DAFTAR PUSTAKA

Anwar, R., Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
“Tipe-tipe Negara”, www.google.com, 07 Januari 2012
“Konsep Negara Kesejahteraan (Welfarestate)”, http://www.kesimpulan.com/2009/04/konsep-negara-kesejahteraan-welfare.html, 07 Januari 2012
“Kewajiban Negara Terhadap Kesejahteraan Rakyat”, http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/11/27/kewajiban-negara-terhadap-kesejahteraan-rakyat-5119802/, 07 Januari 2012.
“ Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdf, 07 Januari 2012.
“Masyarakat Tanpa Kelas dalam Konsep Negara Kesejahteraan, Sebuah Harapan atau Utopia?”. http://luthfihutomi.blogspot.com/2011/06/masyarakat-tanpa-kelas-dalam-konsep.html, 07 Januari 2012.
 “Upaya Peningkatan Kontrol Yuridis Dari Publik”, http://cakimptun4.wordpress.com/artikel/upaya-peningkatan-kontrol-yuridis-dari-publik/, 07 Januari 2012
“Konsep Negara Kesejahteraan (Welfarestate)”, http://www.kesimpulan.com/2009/04/konsep-negara-kesejahteraan-welfare.html, 07 Januari 2012
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Tidak ada komentar: