Minggu, 15 Januari 2012

PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Permasalahan

Pemberantasan korupsi telah lama dilakukan dengan berbagai upaya untuk memberantasnya telah ditempuh dengan perubahan peraturan perundang-undangan dibidang korupsi, menempatkan korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun hingga saat ini belum juga memperoleh hasil yang memadai karena jumlah kasus korupsi tidaklah berkurang serta pengembalian kerugian negara belum juga optimal dilakukan sehingga tetap saja korupsi di Indonesia masih merajalela dengan berbagai bentuk dan modus operandinya.
Upaya untuk membuat “corruption doesn’t pay” telah dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam atmosfir proses pembentukan dan penegakan hukum (law making process and law enforcement process) di Indonesia (Romli Atmasasmita: 2003). Terlebih lagi dengan adanya kecenderungan semakin tidak terkendalinya tindak pidana korupsi dalam orde sekarang ini, sehingga upaya pengungkapan maupun pembuktiannya di pengadilan masih jauh dari harapan. Diperparah lagi dengan adanya sinyalemen bahwa berbagai oknum profesional tertentu (akuntan, financial analyst, lawyer dan notaris) kerap memberikan jasa menghapus jejak-jejak white collar crime itu. Belum lagi economic power dan bureaucratic power yang membuat para koruptor beyond the law (Indriyanto Seno Adji: 2006), semakin memupus harapan terlaksananya penegakan hukum secara adil. Sementara itu, suatu penelitian di India menunjukkan differential association theory dari Sutherland, telah terbukti dari sisi lain, yaitu meningkatnya korupsi karena “meneladani” kesuksesan ekonomi para koruptor (Gaur: 2002). “Criminal behavior is not invented but learned”, termasuk menyebabkan sementara orang menjadi “berkeinginan” korupsi karena belajar dari kesuksesan ekonomi para koruptor. Oleh karena itu, “pencegahan” dan “penanggulangan” tindak pidana korupsi, yang keduanya dapat diadopsi dalam istilah “pemberantasan” (Bagir Manan: 2005), bukan hanya diarahkan pada penanganan perkaranya, berupa penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan, melainkan juga diupayakan untuk “menghalangi” ataupun “menutup kemungkinan” para koruptor menikmati hasil kejahatannya. Tanpa mengembangkan sikap antipati kepada korupsi, termasuk untuk membuatnya “tidak menarik” atau “tidak menguntungkan” untuk dilakukan, dan mensinergikan hal itu dalam kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan, tidak akan membuat efek tangkal hukum korupsi membaik. Diantaranya yang mungkin untuk itu adalah membangun mekanisme pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.
Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga kwalitas : “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi .
Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengungkapkan aspek hukum pengembalian kerugian keuangan negara

B.    Rumusan Masalah
1.    Aspek hukum pengembalian kerugian keuangan negara









BAB II

PEMBAHASAN

Kebiasaan memberikan sesuatu untuk mencapai kepentingan baik pribadi/kelompok menjadi suatu hal yang wajar, dahulu disebut dengan pemberian atau ”upeti”. Fenomena demikian berkembang sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri/ kelompoknya, sehingga termasuk delik pidana. Biasanya korupsi dilakukan berjamaah, diam-diam, terselubung dan bahkan terorganisir, sehingga tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi digolongkan sebagai kejahatan extraordinary crimes. Maka diperlukan upaya pemberantasannya juga secara luar biasa.
Salah satu contohnya kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana didasarkan atas kebijakan Pemerintah akibat adanya krisis moneter tahun 1997/1998 dengan tujuan untuk memulihkan/menyelamatkan stabilitas perekonomian negara. Namun belakangan dana tersebut justru diselewengkan, artinya tidak dipergunakan sesuai tujuan, tetapi sebaliknya, dana tersebut tidak dikembalikan ke negara dalam tempo yang ditentukan, malah dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (dengan melibatkan para pejabat negara), untuk itu negara telah dirugikan, akibatnya goncangan perekonomian bangsa bertambah hebat.
Kasus tersebut tidak dapat diselesaikan melalui KUHP. Karena KUHP sebagai hukum positif, tidak mengakomodir tindak pidana korupsi, untuk itu harus diselesaikan melalui ketentuan hukum di luar KUHP.   
Secara umum penanggulangan kejahatan, dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, Pertama, dengan cara penerapan hukum pidana/penal (criminal law aflication) kedua, dengan cara tanpa pidana/ non penal (prevention without punishment) dan ketiga, campuran antara penal dan non penal.
Pembaharuan Undang-Undang kembali dilakukan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang baru ini memuat beberapa pembaharuan hukum yang luar biasa, antara lain pemanfaatan aspek perdata dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di samping memuat secara tegas tentang pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil. Maka menurut penulis pilihan cara tersebut dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus BLBI, dengan tidak mengabaikan asas ultimum remedium.
Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime dan julukan lain yang menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan layak.
Bahkan pernah tercetus ide untuk memperluas rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Korupsi, sehingga mencakup tiga kelompok (yang ada sekarang hanya dua kelompok), yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana setelah terjadi korupsi. Hal yang tersebut terakhir ini adalah penarikan money laundering menjadi tindak pidana korupsi dan kriminalisasi bentuk-bentuk pembantuan setelah tindak pidana korupsi terjadi (Barda N. Arief: 2001).   
Upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP). Bagi tindak pidana korupsi, hal ini dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannnya (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Namun demikian, seluruh ketentuan di atas belum benar-benar membuat corruption doesn’t pay, mengingat umumnya hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Dengan bantuan tekonologi informasi hasil-hasil kejahatan korupsi rupanya mendapat sentuhan “modernisasi’, yaitu ditempatkan didalam yurisdiksi hukum dari negara lain. Ternyata kejahatan pun mengalami modernisasi. Modernisasi yang menggambarkan adanya seluruh jenis perubahan sosial (Sztompka, 2004), ternyata juga termasuk perubahan dalam arti “kemajuan” dalam bidang kejahatan. “Modernitas adalah globalisasi”, ternyata juga sangat diperhatikan oleh pelaku kriminal. Aset hasil korupsi dapat saja disembunyikan di luar negeri sehingga sulit dilacak, dibekukan, disita, apalagi ditarik kembali ke dalam negeri. Modernisasi atau globalisasi ternyata menjadi faktor kriminogen (Muladi: 2002), yaitu pendorong terjadi transnational crime. Memang umumnya para ahli sepakat bahwa korupsi bukan lagi semata-mata masalah lokal (domestik) suatu negara, melainkan telah menjadi masalah global, masalah bagi keseluruhan masyarakat dunia tanpa terkecuali.
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No 1 Tahun 2004). Unsur-unsur kerugian negara/daerah
-    Kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya;
-    Perbuatan melawan hukum;
-    Kausalitas perbuatan melawan hukum dengan kekurangan yang terjadi;
-    Subjek penanggungjawab kerugian.
Mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu Badan Pemeriksaan Kekuasaan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan hasil audit Badan Pemeriksaan Kekuasaan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit Badan Pemeriksaan Kekuasaan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ini sudah mengarah pada audit adanya “melawan hukum” yang bukan merupakan “zona wewenangnya”. Kewenangan Badan Pengawas Keuangan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dalam melakukan audit adalah dalam zona accounting, sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan penyidik dan penuntut umum .
Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”, konstruksi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 harus dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Pengembalian kerugian negara setelah hasil pemeriksaan yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan tidak serta merta Badan Pengawas Keuangan tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya kerugian negara oleh Badan Pengawas Keuangan dari hasil audit yang dilakukannya harus dilaporkan kepada instansi yang berwenang (Kejaksaan dan POLRI) untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak.
Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”. Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana . Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit Badan Pengawas Keuangan harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang penyidik, yang mana secara “dominis litis” eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan .
Kaitan antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang menjadi inti definisi tentang korupsi, baik yang dipahami oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional, baik itu lembaga seperti International Monetary Found (IMF) maupun Transparancy International (TI). United Nations Convention Against Corruption, 2003 (selanjutnya disingkat UNCAC) di antaranya juga mengaitkan korupsi dengan kekuasaan, yang disebut dengan “pejabat publik” (public official). Pejabat publik dimaksud sebagaimana disebut dalam Article 2 meliputi  :
1.    Orang-orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif, administratif atau kehakiman dari suatu negara peserta, baik ditunjuk atau dipilih, tetap atau sementara, dibayar atau tidak, tanpa melihat senioritas orang tersebut;
2.    Orang-orang yang menjalankan fungsi publik, termasuk lembaga publik atau perusahaan publik, atau memberikan layanan publik seperti ditentukan dalam peraturan perundang-undangan negara peserta dan diterapkan dalam area yang berhubungan dengan hukum negara peserta;
3.    Orang-orang yang ditentukan sebagai “pejabat publik” dalam peraturan perundang-undangan negara peserta. Bagaimanapun juga, untuk tujuan orang-orang yang menjalankan fungsi publik atau layanan publik seperti ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara peserta dan seperti yang diterapkan dalam area yang berhubungan dengan hukum negara peserta.
4.    Hubungan antara korupsi dan “pejabat publik” tersebut, dalam UNCAC dikenal konsep “illicit enrichment” (memperkaya secara tidak sah), seperti diatur dalam Article 20 UNCAC. Illicit enrichment atau memperkaya secara tidak sah tersebut diartikan sebagai “a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income” (suatu peningkatan yang signifikan atau berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitannya dengan pendapatannya yang sah).
Esensi pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya ada 2 (dua) hal yang paling pokok, yaitu: sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif tersebut terkait dengan adanya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi, harapannya masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah represif meliputi pemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan sekaligus mengupayakan semaksimal mungkin kerugian negara yang telah dikorupsi bisa kembali. Hal tersebut bisa dikaji dalam dalam UU PTPK yang menentukan adanya langkah keperdataan kepada pelaku atau ahli warisnya jika tidak diketemukan cukup bukti (Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 UU PTPK).
Di samping itu ditentukan pula putusan bebas tidak menghalangi bagi negara untuk mengajukan gugatan keperdataan kepada pelaku atau ahli warisnya, dan apabila ada barang atau benda yang belum dilakukan penyitaan maka jaksa sebagai pengacara negara dapat melakukan tuntutan penyitaan atas barang atau benda tersebut (Pasal 38 UU PTPK) .
Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UU PTPK  mengetengahkan konsep “upaya pengembalian kerugian keuangan negara”. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan kerugian keuangan negara.
UU PTPK  mengatur 6 (enam) hal dalam kaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara, terdiri dari 5 (lima) meliputi gugatan perdata dan 1 (satu) melalui pidana tambahan, yaitu :
1.    Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara yang nyata disebabkan setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup bukti, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU PTPK;
2.    Gugatan perdata disebabkan karena adanya putusan bebas sedangkan secara nyata ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU PTPK;
3.    Gugatan perdata dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 33 UU PTPK;
4.    Gugatan perdata dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 34 UU PTPK;
5.    Gugatan perdata terhadap tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih terdapat harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, seperti diatur dalam Pasal 38 C UU PTPK;
6.    Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK.
Pengaturan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi menandai bahwa norma-norma hukum pidana saja tidak cukup memadai untuk pengembalian kerugian keuangan negara, setidak-tidaknya dalam keadaan-keadaan tertentu. Apabila UU PTPK  dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan pidana, maka diaturnya upaya gugatan perdata dalam undang-undang tersebut menunjukkan pula bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat sekaligus mengandung aspek hukum pidana maupun perdata, bahkan juga hukum administrasi.
Proses pengembalian kerugian keuangan negara yang di satu sisi menjadi bagian dari pemeriksaan perkara pidananya (dalam hal pidana tambahan) dan di sisi lain terpisah dari pemeriksaan perkara pidananya tentu potensial memunculkan problem tersendiri. Problem tersebut di samping terkait dengan persoalan prosedural juga persoalan substansial gugatan, yang pada akhirnya berujung pada soal berhasil tidaknya upaya hukum tersebut. Ketidakberhasilan gugatan bukan saja menyangkut persoalan kegagalan upaya pengembalian kerugian negara, namun juga terjadinya inefisiensi proses peradilan perkara korupsi.
Gugatan perdata dalam rangka pengembalian kerugian negara akibat suatu tindak pidana korupsi dengan demikian menjadi sangat problematis dalam kerangka penegakan UU PTPK. Ironis apabila suatu peristiwa hukum yang memungkinkan diwujudkannya suatu ketentuan ternyata gagal akibat bangunan konsepnya kurang tepat.
Bergantung pada ketepatan pijakan filsafat hukum maupun teoritisnya sebagai  upaya menemukan  kembali filsafat hukum dan teori hukumnya yang tepat sebagai pijakan konsep tersebut. Tidak kalah penting juga asas yang merupakan ratio legis dari peraturan hukum tersebut. Hukum pidana memiliki tujuan sendiri yang berbeda dengan hukum perdata, baik menyangkut aspek hukum materiil atau substantif maupun aspek hukum formil atau acara.   Aturan-aturan hukum pidana termasuk UU PTPK lebih jauh  memiliki kepentingan tersendiri yang hendak dilindungi, yang secara umum berbeda pula dengan kepentingan yang hendak dilindungi oleh aturan-aturan hukum perdata.













BAB III

PENUTUP

Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk dapat mengupayakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, bukan hanya memerlukan penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana (korupsi), tetapi juga bidang hukum lain seperti hukum perdata dan administrasi negara, termasuk hukum acaranya.
Esensi pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya ada 2 (dua) hal yang paling pokok, yaitu: sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif tersebut terkait dengan adanya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi, harapannya masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah represif meliputi pemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan sekaligus mengupayakan semaksimal mungkin kerugian negara yang telah dikorupsi bisa kembali
Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.














DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta: FH UII Press, 2005.
Barda N. Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Erman Rajagukguk, Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: Prof. Seno Adji & Rekan, 2006.
K. D. Gaur (ed.), Criminal Law & Criminology, Deep& Deep Publication, 2002.
 “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”, Makalah ini disampaikan pada RAKERNAS APPSI di Pontianak, Kalimantan Barat, tanggal 9 Juli 2007
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002.
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Unair, Surabaya, 2006.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada Media, 2003.


“Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian I)”, www.google.com, diakses tanggal 03 Januari 2012


Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Tidak ada komentar: