BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan manusia dewasa ini sarat dengan persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Salah satu persoalan krusial ialah masalah reformasi hukum pidana. Keberadaan sanksi pidana menjadi semacam ultimum remedium atau sarana hukum yang paling ampuh terhadap segenap persoalan hukum masyarakat, bangsa dan negara. Namun saran hukum berupa peraturan dan undang-undang (pidana) belum sesuai bahkan tidak memadai justru pada saat muncul keinginan besar dari segenap elemen masyarakat guna mewujudkan masa depan hukum (ius constituendum) yang baik.
Upaya reformasi dalam rangka penegakan hukum pidana ini perlu segera dilakukan dengan cara memperbarui, membentuk dan mengubah undang-undang lama sebagai ius operatum dengan sanksi pidana yang dapat menjerakan atau mencegah setiap orang melanggar hukum.
Hakikat reformasi dalam hukum pidana adalah bersentuhan erat dengan isu atau persoalan hukum dari ketentuan hukum positif (ius constitutum) dalam undang-undang sebagai konsekuensi Indonesia adalah negara hukum.
Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang peranan hukum dan pembangunan dalam pembaharuan hukum pidana.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan hukum dan pembangunan dalam pembaharuan hukum pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
Kemunculan kajian Law and Development terkait fenomena transplantasi hukum di banyak negara yang baru merdeka dalam melakukan pembangunan (selanjutnya disebut “Negara Berkembang”). Di tahun 1960an, banyak negara berkembang tidak menyia-nyiakan waktu untuk melakukan konsolidasi dan berupaya keras mengambil kebijakan untuk memakmurkan rakyatnya.
Pada awalnya dalam melakukan proses pembangunan, keberadaan hukum tidak terlalu diperhatikan. Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari hukum sebagai penghambat pembangunan itu sendiri hingga peran hukum yang berbeda di Negara Berkembang dengan negara di Eropa atau negara yang memiliki tradisi Eropa (selanjutnya disebut ”Negara Barat” atau ”Negara Maju”).
Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Law and Development merupakan studi yang terkait dengan keberadaan atau berlakunya hukum di negara-negara yang sedang membangun yang merupakan bagian dari Developmental Studies.
Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern. Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.
Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat””law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. Ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya; Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan “fungsi hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”.
Arus reformasi telah bergulir di Indonesia mulai tahun 1998. Reformasi menuntut adanya demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan juga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pembaruan hukum pidana (criminal law reform) kini telah menjadi suatu harga mati untuk adanya perubahan mendasar dalam rangka mencapai tujuan dari pidana, tindakan, kebijakan dan pemidanaan. Kebutuhan tersebut, sejalan pula dengan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan suatu penegakan hukum (law enforcement) yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum pidana dalam era reformasi ini.
Keinginan untuk dilakukannya pembaruan hukum pidana sudah ada sejak tahun 1946 dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Menurut Sudarto, pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal sudah pada tempatnya dan sudah pada waktunya segera dilaksanakan. KUHP sebagai suatu umbrella act atau undang-undang payung akan mempengaruhi pula formulasi pembentukan undang-undang pidana khusus, sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam era kemerdekaan dan keterbukaan pada abad ke-21.
Usaha pembaharuan hukum pidana sudah dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia, yaitu saat diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dijakarta. Guna menghindari kekosongan hukum, UUD 1945 memuat tentang Aturan Peralihan. Pada Pasal II Aturan Peralihan dikatakan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Di bidang hukum pidana materiil, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie masih tetap berlaku dan diterapkan di pengadilan selama belum ada yang baru, dalam arti belum ada suatu produk legislatif yang menyatakan bahwa WvS atau beberapa pasal dari WvS tidak berlaku lagi oleh pemerintah Indonesia saat itu.
Hukum pidana memuat tentang aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu pada suatu akibat berupa pidana. Sejalan dengan hal itu, setiap KUHP memuat dua hal pokok. Pertama, memuat lukisan dari perbuatan-perbuatan oarang yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Kedua, KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang-orang yang melakukan perbuatan dilarang itu. Pada hukum pidana modern, rekasi tidak hanya berupa pidana, akan tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Menurut Sudarto, sedikitnya ada tiga alasan mengapa perlu segera dilakukan suatu pembaruan hukum pidana Indonesia, yaitu: Pertama, alasan politis, Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945 sewajarnya mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri. Kedua, alasan sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologi politik suatu bangsa di mana hukum itu berkembang. Ketiga, alasan praktik, teks yang tercantum selama ini dalam KUHP merupakan terjemahan belaka, terjemahan partikelir dan bukan pula terjemahan resmi yang disahkan oleh suatu ketentuan undang-undang.
Fungsi primer atau utama dari hukum pidana yaitu menanggulangi kejahatan, sedangkan fungsi sekunder yaitu menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsi menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, di samping usaha nonpenal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut, pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum.
Kebutuhan pembaruan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis. Dogma-dogma, ajaran-ajaran, prinsip atau asas dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara eksplisit di dalam KUHP maupun terkandung secara implisit pada pemikiran atau konsep atau paham yang melatarbelakangi terbentuknya KUHP tersebut.
Pada era reformasi ini, ada tiga faktor tatanan hukum pidana positif yang sangat mendesak dan harus segera diperbarui. Pertama, hukum pidana positif untuk mengatur aspek kehidupan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sebagaian tatnan hukum hukum pidana positif merupakan produk hukum peninggalan kolonial Belanda. Kedua, sebagian ketentuan hukum pidana positif tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, kemandirian, HAM dan demokrasi. Ketiga, penerapan ketentuan hukum pidana positif menimbulkan ketidakadilan terhadap rakyat, khususnya para aktivis politik, HAM dan kehidupan demokrasi di negeri ini. Reformasi hukum pidana harus bisa mengacu kepada kebijakan hukum pidana supaya sinergi dengan kepentingan penegakan hukum. Kebijakan itu meliputi tentang apa saja yang dapat dikriminalisasikan di dalam undang-undang pidana agat tidak menimbulkan penentangan keras dari masyarakat luas.
Pembaruan hukum pidana erat kaitannya dengan keberadaan hukum acara pidana. Indonesia sudah memiliki UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai karya agung bangsa yang bercirikan dan bercorak nasional. Secara nalar yang sehat, seyogyanya kita mempunyai suatu KUHP Nasional terlebih dahulu baru kemudian bagaimana memikirkan prosedur atau tata cara untuk menegakkan, melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil tersebut melalui hukum acara pidana.
Keberadaan KUHP Nasional dibentuk dengan tujan untuk mendidik terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat lainnya akan tetapi, juga untuk melindungi dan memberikan ketenangan, kemanan dan keadilan bagi masyarakat luas. Rumusan tujuan pidana dalam KUHP Nasional selain untuk melindungi masyarakat juga memperhatikan kepentingan terpidana. Perhatian kepentingan terpidana ini berpengaruh kepada kepentingan masyarakat, yakni jika narapidana selesai menjalani hukuman masih berperilaku kurang baik, maka akan mengganggu kedamaian dan keamanan masyarakat.
Pemahaman bersama tentang kebutuhan KUHP baru dalam suasana Indonesia yang telah berubah ini, perlu memperhatikan pada karateristik hukum pidana dengan ciri khas kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Moeljatno mengemukakan bahwa: perlu dicari konsepsi baru dalam hukum pidana yang tidak asing bagi bangsa Indonesia. Ketentuan hukum pidana itu dapat digali dari hukum tidak tertulis atau hukum adat dengan dua syarat, yaitu: Pertama, ia harus hidup di dalam kalangan masyarakat Indonesia; Kedua, tidak akan menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur, yaitu bahwa aturan hukum tidak tertulis harus disertai dengan ancaman pidana. Adanya ancaman pidana dalam hukum tidak tertulis tersebut bertujuan agar delik adat lambat laun akan meluas menjadi hukum nasional sehingga hakim berwenang pula menentukannya sebagai suatu perbuatan pidana.
Sebaliknya Satochid Kartanegara dengan mengacu pada penafsiran Pasal 1 ayat (1) KUHP tidak setuju menggunakan hukum adat, karena hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat atau hukum tidak tertulis yang lain.
Sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Aktivitas ini dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Ketentuan hukum pidana akan selalu mendapat pengaruh modernisasi. Dalam hal ini perlu dikutip pendapat Muladi bahwa ada lima karakteristik bagi operasional hukum pidana materiil Indonesia pada masa mendatang yang dapat dimuat dalam pembentukan KUHP baru. Pertama, hukum pidana nasional mendatang dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis, politis dan praktis namun secara sadar harus disusun dalam kerangka ideologi Pancasila. Kedua, hukum pidana masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa Indonesia. Ketiga, hukum pidana masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab. Keempat, hukum pidana masa mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif atau pencegahan kejahatan. Kelima, hukum pidana masa mendatang harus selalu tanggap terhadap setiap bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas fungsinya dalam masyarakat.
Karakteristik hukum pidana nasional mendatang sangat erat kaitannya dengan prinsip penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum bersamaan dan berkeadilan. Nigel Walker mengemukakan bahwa: hukum pidana sebagai ultimum remedium jangan sampai terlalu mudah digunakan sembarangan untuk (1) tujuan pembalasan; (2) bilamana korbannya tidak jelas; (3) mencapai tujuan tertentu, manakala tujuan tersebut masih dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan kerugian lebih kecil; (4) bilamana kerugian akibat pemidanaan lebih besar daripada kerugian akibat tindak pidana itu sendiri; (5) bilamana hasil sampingan yang ditimbulkan lebih merugikan jika dibandingkan perbuatan yang dikriminalisasikan; (6) apabila tidak mendapat dukungan dari masyarakat secara luas dan (7) apabila sudah diprediksi tidak akan lebih efektif.
Menurut Muladi, penggunaan hukum pidana perlu memperhatikan lima masalah, yaitu (1) hukum pidana harus dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan di antara pihak kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; (2) penggunaan huku pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan lain yang bersifat non penal; (3) perumusan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogen; (4) perbuatan tindak pidana harus tepat dan teliti dalam menggambarkan suatu perbuatan yang dilarang; dan (5) prinsip diferensiasi pada kepentingan yang dirusak, perbuatan yang dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas.
Hukum pidana dengan ancaman sanksi pidananya oleh Herbert L. Packer bukan dimaksudkan sebagai prime guarantor and prime thereatener of human freedom. Penggunaan sanksi pidana secara sembarangan dan tidak pandang bulu atau menyamaratakan serta digunakan secara paksa menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancam utama bagi warga masyarakat yang mengharapkan tegaknya hukum dan keadilan. Padahal sanksi pidana dimaksudkan untuk memulihkan situasi semula akibat dari pelanggaran hukum.
Penegakan hukum berkaitan erat dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagai politik kriminal yang dilakukan oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum dalam rangka mewujudkan keadilan. Kebijakan hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan bidang hukum pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Kebijakan hukum pidana akan melalui tiga tahapan, yaitu (1) tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang yang disebut dengan kebijakan legislatif sebagai tahap formulasi hukum; (2) tahap penegakan hukum in concrito pada penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dari pihak kepolisian sampai pengadilan yang disebut dengan kebijakan yudikatif sebagai tahap aplikasi hukum; dan (3) tahap penegakan hukum in concrito pada pelaksanaan pidana berupa pidana penjara oleh petugas pelaksana pidana atau pidana penjara yang disebut dengan kebijakan eksekutif sebagai tahap administrasi eksekusi hukum.
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat””law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan”. Kebutuhan pembaruan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis. Dogma-dogma, ajaran-ajaran, prinsip atau asas dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara eksplisit di dalam KUHP maupun terkandung secara implisit pada pemikiran atau konsep atau paham yang melatarbelakangi terbentuknya KUHP tersebut.
Pemahaman bersama tentang kebutuhan KUHP baru dalam suasana Indonesia yang telah berubah ini, perlu memperhatikan pada karateristik hukum pidana dengan ciri khas kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Aktivitas ini dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Ketentuan hukum pidana akan selalu mendapat pengaruh modernisasi. Menurut Muladi, penggunaan hukum pidana perlu memperhatikan lima masalah, yaitu (1) hukum pidana harus dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan di antara pihak kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; (2) penggunaan huku pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan lain yang bersifat non penal; (3) perumusan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogen; (4) perbuatan tindak pidana harus tepat dan teliti dalam menggambarkan suatu perbuatan yang dilarang; dan (5) prinsip diferensiasi pada kepentingan yang dirusak, perbuatan yang dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas.
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
-------------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford University Press, 1968.
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: CV. Mandar Maju, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Penerbit Bina Cipta, tanpa tahun.
-------------------------------, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Binacipta, 1995.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Muladi, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, London: Allen Lane, The Penguin Press, 1969.
Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Bandung: Alumni, 2002.
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983.
----------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Teguh Sulistia&Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
B. Jurnal
Didik Endro Purwoleksono, Sekilas Tentang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal, Justitia et Pax, No. 5, Vol. XVI, Yogyakarta: FH Unika Atmajaya, 2002.
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi dalam Reformasi Hukum Pidana, Jurnal, Hukum, No. 11, Vol. 6, Yogyakarta: FH UII, 1999.
C. Makalah
Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi di Indonesia, Bahan Ajar Kuliah Hukum dan Pembangunan, Yogyakarta, 2012
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, Tanpa Tahun
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.
Moeljatno, Atas Dasar atau Azas-azas Apakah Hendaknya Hukum Pidana Kita Dibangun Prasaran, Kongres II Persahi, Surabaya, 25 Juli 1964.
Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Makalah, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, FH Undip-BPHN, (Jakarta: Binacipta, 1980),
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan manusia dewasa ini sarat dengan persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Salah satu persoalan krusial ialah masalah reformasi hukum pidana. Keberadaan sanksi pidana menjadi semacam ultimum remedium atau sarana hukum yang paling ampuh terhadap segenap persoalan hukum masyarakat, bangsa dan negara. Namun saran hukum berupa peraturan dan undang-undang (pidana) belum sesuai bahkan tidak memadai justru pada saat muncul keinginan besar dari segenap elemen masyarakat guna mewujudkan masa depan hukum (ius constituendum) yang baik.
Upaya reformasi dalam rangka penegakan hukum pidana ini perlu segera dilakukan dengan cara memperbarui, membentuk dan mengubah undang-undang lama sebagai ius operatum dengan sanksi pidana yang dapat menjerakan atau mencegah setiap orang melanggar hukum.
Hakikat reformasi dalam hukum pidana adalah bersentuhan erat dengan isu atau persoalan hukum dari ketentuan hukum positif (ius constitutum) dalam undang-undang sebagai konsekuensi Indonesia adalah negara hukum.
Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang peranan hukum dan pembangunan dalam pembaharuan hukum pidana.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan hukum dan pembangunan dalam pembaharuan hukum pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
Kemunculan kajian Law and Development terkait fenomena transplantasi hukum di banyak negara yang baru merdeka dalam melakukan pembangunan (selanjutnya disebut “Negara Berkembang”). Di tahun 1960an, banyak negara berkembang tidak menyia-nyiakan waktu untuk melakukan konsolidasi dan berupaya keras mengambil kebijakan untuk memakmurkan rakyatnya.
Pada awalnya dalam melakukan proses pembangunan, keberadaan hukum tidak terlalu diperhatikan. Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari hukum sebagai penghambat pembangunan itu sendiri hingga peran hukum yang berbeda di Negara Berkembang dengan negara di Eropa atau negara yang memiliki tradisi Eropa (selanjutnya disebut ”Negara Barat” atau ”Negara Maju”).
Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Law and Development merupakan studi yang terkait dengan keberadaan atau berlakunya hukum di negara-negara yang sedang membangun yang merupakan bagian dari Developmental Studies.
Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern. Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.
Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat””law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. Ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya; Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan “fungsi hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”.
Arus reformasi telah bergulir di Indonesia mulai tahun 1998. Reformasi menuntut adanya demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan juga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pembaruan hukum pidana (criminal law reform) kini telah menjadi suatu harga mati untuk adanya perubahan mendasar dalam rangka mencapai tujuan dari pidana, tindakan, kebijakan dan pemidanaan. Kebutuhan tersebut, sejalan pula dengan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan suatu penegakan hukum (law enforcement) yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum pidana dalam era reformasi ini.
Keinginan untuk dilakukannya pembaruan hukum pidana sudah ada sejak tahun 1946 dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Menurut Sudarto, pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal sudah pada tempatnya dan sudah pada waktunya segera dilaksanakan. KUHP sebagai suatu umbrella act atau undang-undang payung akan mempengaruhi pula formulasi pembentukan undang-undang pidana khusus, sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam era kemerdekaan dan keterbukaan pada abad ke-21.
Usaha pembaharuan hukum pidana sudah dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia, yaitu saat diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dijakarta. Guna menghindari kekosongan hukum, UUD 1945 memuat tentang Aturan Peralihan. Pada Pasal II Aturan Peralihan dikatakan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Di bidang hukum pidana materiil, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie masih tetap berlaku dan diterapkan di pengadilan selama belum ada yang baru, dalam arti belum ada suatu produk legislatif yang menyatakan bahwa WvS atau beberapa pasal dari WvS tidak berlaku lagi oleh pemerintah Indonesia saat itu.
Hukum pidana memuat tentang aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu pada suatu akibat berupa pidana. Sejalan dengan hal itu, setiap KUHP memuat dua hal pokok. Pertama, memuat lukisan dari perbuatan-perbuatan oarang yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Kedua, KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang-orang yang melakukan perbuatan dilarang itu. Pada hukum pidana modern, rekasi tidak hanya berupa pidana, akan tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Menurut Sudarto, sedikitnya ada tiga alasan mengapa perlu segera dilakukan suatu pembaruan hukum pidana Indonesia, yaitu: Pertama, alasan politis, Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945 sewajarnya mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri. Kedua, alasan sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologi politik suatu bangsa di mana hukum itu berkembang. Ketiga, alasan praktik, teks yang tercantum selama ini dalam KUHP merupakan terjemahan belaka, terjemahan partikelir dan bukan pula terjemahan resmi yang disahkan oleh suatu ketentuan undang-undang.
Fungsi primer atau utama dari hukum pidana yaitu menanggulangi kejahatan, sedangkan fungsi sekunder yaitu menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsi menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, di samping usaha nonpenal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut, pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum.
Kebutuhan pembaruan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis. Dogma-dogma, ajaran-ajaran, prinsip atau asas dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara eksplisit di dalam KUHP maupun terkandung secara implisit pada pemikiran atau konsep atau paham yang melatarbelakangi terbentuknya KUHP tersebut.
Pada era reformasi ini, ada tiga faktor tatanan hukum pidana positif yang sangat mendesak dan harus segera diperbarui. Pertama, hukum pidana positif untuk mengatur aspek kehidupan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sebagaian tatnan hukum hukum pidana positif merupakan produk hukum peninggalan kolonial Belanda. Kedua, sebagian ketentuan hukum pidana positif tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, kemandirian, HAM dan demokrasi. Ketiga, penerapan ketentuan hukum pidana positif menimbulkan ketidakadilan terhadap rakyat, khususnya para aktivis politik, HAM dan kehidupan demokrasi di negeri ini. Reformasi hukum pidana harus bisa mengacu kepada kebijakan hukum pidana supaya sinergi dengan kepentingan penegakan hukum. Kebijakan itu meliputi tentang apa saja yang dapat dikriminalisasikan di dalam undang-undang pidana agat tidak menimbulkan penentangan keras dari masyarakat luas.
Pembaruan hukum pidana erat kaitannya dengan keberadaan hukum acara pidana. Indonesia sudah memiliki UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai karya agung bangsa yang bercirikan dan bercorak nasional. Secara nalar yang sehat, seyogyanya kita mempunyai suatu KUHP Nasional terlebih dahulu baru kemudian bagaimana memikirkan prosedur atau tata cara untuk menegakkan, melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil tersebut melalui hukum acara pidana.
Keberadaan KUHP Nasional dibentuk dengan tujan untuk mendidik terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat lainnya akan tetapi, juga untuk melindungi dan memberikan ketenangan, kemanan dan keadilan bagi masyarakat luas. Rumusan tujuan pidana dalam KUHP Nasional selain untuk melindungi masyarakat juga memperhatikan kepentingan terpidana. Perhatian kepentingan terpidana ini berpengaruh kepada kepentingan masyarakat, yakni jika narapidana selesai menjalani hukuman masih berperilaku kurang baik, maka akan mengganggu kedamaian dan keamanan masyarakat.
Pemahaman bersama tentang kebutuhan KUHP baru dalam suasana Indonesia yang telah berubah ini, perlu memperhatikan pada karateristik hukum pidana dengan ciri khas kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Moeljatno mengemukakan bahwa: perlu dicari konsepsi baru dalam hukum pidana yang tidak asing bagi bangsa Indonesia. Ketentuan hukum pidana itu dapat digali dari hukum tidak tertulis atau hukum adat dengan dua syarat, yaitu: Pertama, ia harus hidup di dalam kalangan masyarakat Indonesia; Kedua, tidak akan menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur, yaitu bahwa aturan hukum tidak tertulis harus disertai dengan ancaman pidana. Adanya ancaman pidana dalam hukum tidak tertulis tersebut bertujuan agar delik adat lambat laun akan meluas menjadi hukum nasional sehingga hakim berwenang pula menentukannya sebagai suatu perbuatan pidana.
Sebaliknya Satochid Kartanegara dengan mengacu pada penafsiran Pasal 1 ayat (1) KUHP tidak setuju menggunakan hukum adat, karena hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat atau hukum tidak tertulis yang lain.
Sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Aktivitas ini dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Ketentuan hukum pidana akan selalu mendapat pengaruh modernisasi. Dalam hal ini perlu dikutip pendapat Muladi bahwa ada lima karakteristik bagi operasional hukum pidana materiil Indonesia pada masa mendatang yang dapat dimuat dalam pembentukan KUHP baru. Pertama, hukum pidana nasional mendatang dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis, politis dan praktis namun secara sadar harus disusun dalam kerangka ideologi Pancasila. Kedua, hukum pidana masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa Indonesia. Ketiga, hukum pidana masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab. Keempat, hukum pidana masa mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif atau pencegahan kejahatan. Kelima, hukum pidana masa mendatang harus selalu tanggap terhadap setiap bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas fungsinya dalam masyarakat.
Karakteristik hukum pidana nasional mendatang sangat erat kaitannya dengan prinsip penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum bersamaan dan berkeadilan. Nigel Walker mengemukakan bahwa: hukum pidana sebagai ultimum remedium jangan sampai terlalu mudah digunakan sembarangan untuk (1) tujuan pembalasan; (2) bilamana korbannya tidak jelas; (3) mencapai tujuan tertentu, manakala tujuan tersebut masih dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan kerugian lebih kecil; (4) bilamana kerugian akibat pemidanaan lebih besar daripada kerugian akibat tindak pidana itu sendiri; (5) bilamana hasil sampingan yang ditimbulkan lebih merugikan jika dibandingkan perbuatan yang dikriminalisasikan; (6) apabila tidak mendapat dukungan dari masyarakat secara luas dan (7) apabila sudah diprediksi tidak akan lebih efektif.
Menurut Muladi, penggunaan hukum pidana perlu memperhatikan lima masalah, yaitu (1) hukum pidana harus dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan di antara pihak kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; (2) penggunaan huku pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan lain yang bersifat non penal; (3) perumusan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogen; (4) perbuatan tindak pidana harus tepat dan teliti dalam menggambarkan suatu perbuatan yang dilarang; dan (5) prinsip diferensiasi pada kepentingan yang dirusak, perbuatan yang dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas.
Hukum pidana dengan ancaman sanksi pidananya oleh Herbert L. Packer bukan dimaksudkan sebagai prime guarantor and prime thereatener of human freedom. Penggunaan sanksi pidana secara sembarangan dan tidak pandang bulu atau menyamaratakan serta digunakan secara paksa menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancam utama bagi warga masyarakat yang mengharapkan tegaknya hukum dan keadilan. Padahal sanksi pidana dimaksudkan untuk memulihkan situasi semula akibat dari pelanggaran hukum.
Penegakan hukum berkaitan erat dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagai politik kriminal yang dilakukan oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum dalam rangka mewujudkan keadilan. Kebijakan hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan bidang hukum pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Kebijakan hukum pidana akan melalui tiga tahapan, yaitu (1) tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang yang disebut dengan kebijakan legislatif sebagai tahap formulasi hukum; (2) tahap penegakan hukum in concrito pada penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dari pihak kepolisian sampai pengadilan yang disebut dengan kebijakan yudikatif sebagai tahap aplikasi hukum; dan (3) tahap penegakan hukum in concrito pada pelaksanaan pidana berupa pidana penjara oleh petugas pelaksana pidana atau pidana penjara yang disebut dengan kebijakan eksekutif sebagai tahap administrasi eksekusi hukum.
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat””law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan”. Kebutuhan pembaruan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis. Dogma-dogma, ajaran-ajaran, prinsip atau asas dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara eksplisit di dalam KUHP maupun terkandung secara implisit pada pemikiran atau konsep atau paham yang melatarbelakangi terbentuknya KUHP tersebut.
Pemahaman bersama tentang kebutuhan KUHP baru dalam suasana Indonesia yang telah berubah ini, perlu memperhatikan pada karateristik hukum pidana dengan ciri khas kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Aktivitas ini dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Ketentuan hukum pidana akan selalu mendapat pengaruh modernisasi. Menurut Muladi, penggunaan hukum pidana perlu memperhatikan lima masalah, yaitu (1) hukum pidana harus dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan di antara pihak kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; (2) penggunaan huku pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan lain yang bersifat non penal; (3) perumusan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogen; (4) perbuatan tindak pidana harus tepat dan teliti dalam menggambarkan suatu perbuatan yang dilarang; dan (5) prinsip diferensiasi pada kepentingan yang dirusak, perbuatan yang dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas.
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
-------------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford University Press, 1968.
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: CV. Mandar Maju, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Penerbit Bina Cipta, tanpa tahun.
-------------------------------, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Binacipta, 1995.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Muladi, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, London: Allen Lane, The Penguin Press, 1969.
Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Bandung: Alumni, 2002.
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983.
----------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Teguh Sulistia&Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
B. Jurnal
Didik Endro Purwoleksono, Sekilas Tentang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal, Justitia et Pax, No. 5, Vol. XVI, Yogyakarta: FH Unika Atmajaya, 2002.
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi dalam Reformasi Hukum Pidana, Jurnal, Hukum, No. 11, Vol. 6, Yogyakarta: FH UII, 1999.
C. Makalah
Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi di Indonesia, Bahan Ajar Kuliah Hukum dan Pembangunan, Yogyakarta, 2012
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, Tanpa Tahun
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.
Moeljatno, Atas Dasar atau Azas-azas Apakah Hendaknya Hukum Pidana Kita Dibangun Prasaran, Kongres II Persahi, Surabaya, 25 Juli 1964.
Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Makalah, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, FH Undip-BPHN, (Jakarta: Binacipta, 1980),
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar