Kamis, 05 April 2012

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Peraturan daerah (perda) adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan perda sebagai salah satu instrumen yuridisnya.
Kedudukan dan fungsi perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar atau Konstitusi dan Undang-Undang Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah daerah .
Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang tentang Perundang-undangan, peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda.
Politik hukum nasional diarahkan terciptanya hukum yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya .
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem , asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat .
Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar pemerintah pusat dan daerah berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan . Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah sautu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat .
Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara .
Dengan bertitik tolak pada uraian tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH. Dengan rumusan masalah bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah?




BAB II
PEMBAHASAN


Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.  Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol pemerintah pusat. Kedudukan daerah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat.  Hubungan yang terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat.  Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan kepada daerah.  Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi.
Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004 yaitu:” Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lain.  Kewenangan di bidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Sebagai salah satu sumber hukum dalam hierarki perundang-undangan Indonesia  Pasal 136 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa suatu perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah.  Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.  Kewenangan membuat perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah  dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat.
 Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, ditentukan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Untuk mengurus dan mengatur urusannya sendiri, pemerintahan daerah berhak untuk membuat peraturan daerah sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi daerahnya. Peraturan daerah dapat berfungsi sebagai alat untuk memperlancar jalannya pemerintahan di daerah dan juga dapat memberi petunjuk terhadap hal-hal yang telah diatur dan dilaksanakan.
Dalam pasal 136 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaskud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya dalam penjelasan umum UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa “Kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Mahkamah Agung juga berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Pembentukan peraturan daerah berlangsung dalam proses perundang-undangan.  Tentang proses perundang-undangan M. Solly Lubis menyebutkan sebagai proses pembuatan negara.  Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan. proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya.  Maka peraturan perundang-undangan berupa UU, Perpu, PP, Peraturan Daerah dan sebagainya adalah produk atau hasil kegiatan pembuatan perundang-undangan itu. peraturan  perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari kegiatan perundang-undangan.
Pasal 1 angka 1 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan “Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”.
Dalam penyusunan perda perlu diprogramkan yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) , agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas. Oleh karena itu, instrumen prolegda sebagai bagian dari tahap perencanaan pembentukan perda sangat diperlukan.
Terdapat beberapa alasan pentingnya prolegda dalam pembentukan perda, yaitu: 
1.    Untuk memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan perda
2.    Untuk menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan perda untuk jangka waktu panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama DPRD dan pemerintah daerah dalam pembentukan perda
3.    Untuk menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah
4.    Untuk mempercepat proses pembentukan perda dengan memfokuskan kegiatan penyusunan rancangan perda menurut skala prioritas yang ditetapkan
5.    Menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan perda.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, prosedur penyusunan peraturan daerah    dapat diuraikan sebagai berikut:   
1.    Perencanaan
Penyusunan Prolegda dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Disusun berdasarkan atas: (a) perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi; (b) rencana pembangunan daerah; (c) penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan (d) aspirasi masyarakat daerah.
Kepala daerah memerintahkan pimpinan SKPD menyusun Prolegda di lingkungan pemerintah daerah. Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda. Penyusunan dan penetapan Prolegda dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Perda tentang APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Penyusunan Prolegda di lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota dengan mengikutsertakan instansi vertikal terkait apabila sesuai dengan kewenangan; materi muatan; atau kebutuhan dalam pengaturan. Hasil penyusunan Prolegda diajukan biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Kepala daerah menyampaikan hasil penyusunan Prolegda di lingkungan pemerintah daerah kepada Balegda melalui pimpinan DPRD.
2.    Penyusunan
Kepala daerah memerintahkan kepada pimpinan SKPD menyusun Rancangan Perda berdasarkan Prolegda. Pimpinan SKPD menyusun Rancangan Perda disertai naskah akademik dan/atau penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Rancangan Perda diajukan kepada biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota.  Dalam hal Rancangan Perda mengenai: APBD; pencabutan Perda; atau perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah beberapa materi; hanya disertai dengan penjelasan atau keterangan.
Rancangan Perda yang disertai naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah melalui pengkajian dan penyelarasan, yang terdiri atas: latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang akan diwujudkan; pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan dan arah pengaturan.
Rancangan Perda yang berasal dari kepala daerah dikoordinasikan oleh biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.  Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Rancangan Perda Provinsi yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi dari kepala biro hukum dan pimpinan SKPD terkait. Rancangan Perda kabupaten/kota yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi dari kepala bagian hukum dan pimpinan SKPD terkait. Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Rancangan Perda yang telah mendapat paraf koordinasi kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap Rancangan Perda yang telah diparaf koordinasi.  Sekretaris daerah menyampaikan Rancangan Perda kepada kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan Rancangan Perda kepada pimpinan DPRD untuk dilakukan pembahasan.
3.    Pembahasan
Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah dibahas oleh DPRD dan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.  Pembahasan dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.  Pembicaraan tingkat I Dalam hal Rancangan Perda berasal dari kepala daerah dilakukan dengan:  penjelasan kepala daerah dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Perda; pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perda; dan tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi. Pembicaraan tingkat II meliputi: (a) pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan: penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf; dan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna. (b) pendapat akhir kepala daerah.
4.    Pengundangan
Perda yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran daerah. Lembaran daerah merupakan penerbitan resmi pemerintah daerah. Pengundangan merupakan pemberitahuan secara formal suatu Perda, sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat. Perda yang telah diundangkan disampaikan kepada Menteri dan/atau gubernur untuk dilakukan klarifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan Perda dicantumkan nomor tambahan lembaran daerah ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda.
5.    Penyebarluasan
Penyebarluasan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan pemerintah daerah. Naskah produk hukum daerah yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diautentifikasi dan diundangkan dalam Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.
Unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah dituntut kemampuannya untuk dapat menetapkan kebijakan-kebijakan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya masing-masing dan selanjutnya menterjemahkannya ke dalam peraturan-peraturan daerah yang memenuhi unsur-unsur filosofis, yuridis dan sosiologis.  Serta memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta dasar filosofis bangsa dan negara, konstitusi, asas-asas peraturan perundang-undangan serta teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Peraturan daerah harus sesuai dengan keadaan masyarakat di mana peraturan daerah tersebut diberlakukan. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dituntut untuk memahami dukungan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakatnya, tetapi kenyataannya sering terjadi bahwa setelah diberlakukannya suatu peraturan daerah, timbul ketidakpuasan warga masyarakat karena substansi dari peraturan daerah dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat. Ketidakpuasan ini terjadi karena aspirasi warga masyarakat sebagai elemen lingkungan dari sistem pembentukan peraturan daerah kurang diperhatikan.
Berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan seksama dalam proses pembentukan undang-undang agar semua ketentuan yang diatur benar, tepat dan dapat dilaksanakan.  Merancang peraturan perundang-undangan juga menyangkut perancangan materi hukum yang merupakan sarana untuk menggerakkan perubahan sosial secara tertib.
Untuk merancang sebuah perda, perancang pada dasarnya harus menyiapkan diri secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut:  (1) analisa data tentang persoalan sosial yang akan diatur, (2) kemampuan teknis perundang-undangan, (3) pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan, (4)  hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus tentang perda.



BAB III
PENUTUP   

Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004 yaitu:” Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan di bidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Kewenangan membuat perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat.
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Pembentukan peraturan daerah berlangsung dalam proses perundang-undangan. Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), penyusunan, pembahasan, pengundangan dan penyebarluasan.



DAFTAR PUSTAKA

A.    Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.
Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

B.    Buku-buku
A. A Oka Mahendra. Reformasi Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI. 2006.
Bambang Yudoyono. Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD.  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001.
Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: CV. Trio Rimba Persada. 2003.
Faried Ali.  Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.
Flora Nainggolan. Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Medan: USU. 2009.
Iman Sudarwo. Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang Tentang Protokol. Surabaya: Penerbit Indah. 1988.
M. Solly Lubis. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung: Alumni. 1983.
------------------. Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni. 1978.
Rozali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Desa Secara Langsung. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
Sri Soemantri Martosoewignjo. Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali. 1981.
C.    Jurnal
I Wayan Suandi. Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Kertha Patrika. Edisi No. 1. Vol. 33. Januari 2008.

D.    Makalah
A. A Oka Mahendra. Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah. Makalah. BPHN Departemen Hukum dan HAM. Bali. 13-15 September 2005.
Himawan Estu Bagijo. Pembentukan Peraturan Daerah. Makalah. Surabay. FH Unair. Tanpa Tahun.
M. Solly Lubis. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.  Makalah. Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Medan. 02 Mei 2007.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,


Tidak ada komentar: