Kamis, 05 April 2012

PERANAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DALAM HUKUM INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hukum berasal dari bahasa Arab ‘hukmu’ (mufrad) – ‘ahkam’ (jama') yang diderivasikan dari kata kerja ‘hakama-yahkumu-hukm’ yang berarti al-qadha` bi al-'adl, yakni memutuskan perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk jamaknya adalah al-hukkam.
Filsafat hukum islam merupakan terjemahan bebas terhadap  kajian al-Qawâ'id al-Maqâshidiyyah, oleh sebab itu materi ini mengkaji sama dengan objek kajian al-Qawâ'id al-Maqâshidiyyah. Serta membahas falsafah al-Tasyrî’ dan falsafah al-Syarî’ah. Filsafat hukum islam ini memiliki arti penting dalam kajian hukum islam ketika melakukan proses ijtihad dan ketika memahami hikmah yang termuat dalam setiap hukum syara’, sehingga dengan mengkaji materi ini diharapkan akan memiliki wawasan yang luas tentang masalah-masalah esensial dan substansial dalam kajian ushul-fiqh. Kemudian menguasai nilai-nilai filosofis yang dapat diterapkan dalam proses ijtihad dan mampu menjelaskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan hukum syara’.
Penerapan peraturan-peraturan maupun syari’at islam diperlukan adanya suatu proses yang bertahap. Pemenuhan aqidah merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat sebagi tahap awal dalam pembentukan syari’at islam. Disamping itu pembenahan dan perbaikan moral ini merupakan awal pembentukan hukum islam yang menggunakan Alquran sebagai sumbernya. Karena Alquran merupakan petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupannya. Meskipun Indonesia merupakan negara hukum dalam konstitusinya, tidak berarti bahwa hukum islam tidak memberikan ruh dalam pembentukan hukum positivisme yang berlaku di Indonesia.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum islam telah menga1ami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.
Dengan bertitik tolak pada uraian di atas penyusun terdorong untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam mengenai peranan filsafat hukum islam dalam hukum Indonesia.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peranan filsafat hukum islam dalam hukum Indonesia?















BAB II
PEMBAHASAN
Terdapat beberapa definisi filsafat hukum islam yang ditawarkan oleh para ahlinya, di antaranya:  Filsafat hukum islam adalah upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk memahami rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum Tuhan, dengan tidak meragukan substansi hukum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat hukum pada umumnya. Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Maka, filsafat hukum islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Berpikir menurut logika dengan bebas (lepas dari tradisi dan dogma) dan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke inti persoalan mengenai ketentuan-ketentuan allah dan rasul-nya juga terhadap hasil pemahaman ulama tentang hukum islam.
Dari beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa filsafat hukum islam memiliki beberapa unsur sebagai berikut: Pertama, filsafat hukum islam merupakan hasil pemikiran manusia. Dengan kata lain, ia berangkat dari akal pikiran manusia. Disinilah letak perbedaan mendasar antara filsafat hukum islam dan ilmu-ilmu shari‘ah metodologis seperti usul al-fiqh dan al-qawa‘id al-fiqhiyah. Dimana kedua ilmu yang disebut terakhir ini berangkat dari wahyu.     Kedua, seluruh kajian dalam filsafat hukum islam tidak pernah meragukan substansi hukum yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Secara lebih gamblang, hal ini dibahas dalam salah satu kajian filsafat hukum islam, yaitu mengenai hakekat hukum islam sebagai hukum Tuhan yang sudah tentu memenuhi tujuan-tujuan hukum.
Pertumbuhan filsafat hukum islam diawali oleh adanya doktrin Islam yang memperbolehkan ijtihad. Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam mengambil putusan hukum jika tidak ada dalil yang pasti, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah.
Hal tersebut terjadi pada peristiwa Muadz Ibn Jabal
كيف تقض إذاعرض لك قضاء؟ قال : أقض بكتاب الله قال: فإن لم تجد فى كتاب الله ؟ قال فبسنة رسول الله ص.م. فإن لم تجد فى سنة رسول الله ولا فى كتاب الله ؟ أجتهد برأى ولا الو قال معاد. فضرب رسول الله ص.م. صدره وقال الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.
Al-Qur’a juga mendorong adanya penelaran akal dalam memahami hukum seperti Q.S. A-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوةٌ يُا ولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Umar Bin Khaththab: Memutuskan hukum dengan melihat roh syari’ah.
Muhammad Iqbal (1873-1938) pernah menyatakan “apakah hukum Islam dapat berkembang?” Ia menjawb sendiri, “bisa, asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar.”
Penelitian filsafat hukum islam ditekankan pada maqasid as-Syari’ah.
Al-Juwaini, menyakatakan seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-larangan-Nya.
Maqasid Syari’ah menurut Juwaini dibagi pada lima bagian; daruriyyat, hajjah al-ammah, makramah, hal-hal yang tidak termasuk daruriyah dan hajjiyah, dan hal yang tidak termasuk pada daruri, hajjah al-ammah dan makramat.
Dikembangkan oleh muridnya yaitu Al-Ghazali. Maqasid Syari’ah diletakkan dalam konteks illat dalam qiyas maupun dalam konteks istislah. Masalahat ialah memelihara maksud syari’ (pembuat hukum). Maslahat itu menurut al-Gazali ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan ini diletakkan dalam dlaruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
Izz al-Din Ibnu ‘Abd Salam, dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, masalahat diletakkan dalam konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’ (menghindari mafsadat menarik manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari daruriyah, hajjiyyat, tatimmat atau taklimat. Taklif bermuara pada kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akirat.
Abu Ishaq Al-Syatibi (730-790 H.) dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan bahwa tujuan Alah SWT mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia. Ia membagi peringkat kemaslahatan kepada dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyyat.
Dharuriyyat (musti) bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.    Hajjiyat, (diperlukan) tidak termasuk esensial tapi merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat. Tahsiniyat (pujian), sifatnya emnunjang peningkatn martabat seseorang baik kehidupan di dunia maupun akhirat.
Najmuddin Al-Thufi (657-716 H.) Pemikirannya tentang maslahah bertolak dari hadis لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ (tidak boleh memadaratkan dan tidak boleh pula memadaratkan. (HR. Hakim, Daruqutni, Ibnu Majjah dan Ahmad Bin Hambal).    Inti seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Seluruh kemaslahatan itu disyari’atkan. Setiap maslahat tidak pelu mendapatkan dukungan dari nash.   
Maslahat merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara. Prinsip Masalahat dalam pemikitan al-Thufi meliputi:
Akal bebas menentukan kemasalahat dan kemadaratan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menentukan hukum.
Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah. Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Apabila nash atau ijma bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah dengan cara takhsis dan bayan.
Filsafat hukum islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan ketentuan-ketentuan islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hukum. Seseorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari filsafat hukum islam, akan semakin memahami di mana letak ketinggian dan keindahan ajaran islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada sumber tertinggi hukum yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia, kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup.
Dengan demikian, tujuan mempelajari filsafat hukum islam dapat dirinci sebagai berikut:
 Semakin memantapkan keyakinan umat Islam akan keagungan hukum islam dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk manusia). Dimana hukum islam bisa dibuktikan bukan hanya lebih benar dan unggul, namun juga lebih terhormat dan beradab dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain.  Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa “paksaan”. Umat islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa cinta, karena ia berasal dari Tuhan Maha Adil. Ia taat kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan kepada makhluk-Nya
Terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat dimulai dengan menyerap nilai-nilai hukum universal secara proporsional. Nilai-nilai tersebut mencakup keadilan, kemanfaatan  dan kepastian. Nilai-niali tersebut merupakan tujuan utama diciptakannya syari’ah samawiyyah sebagai manifestasi kehendak Allah untuk menciptakan tatanan ilahiyah yang membawa rahmat bagi umat manusia.
Fiqh yang diartikan sebagi upaya manusiawi yan melibatkan penalaran dalam memahami, menggali dan mengelaborasi hukum dari sumber aslinya sering mengalami penyempitan makna anya sebatas membicarakan hukum-hukum taklifi dan wadl’I secara normative.  Sedangkan dalam tataran pemaknaan sosial dalam kehidupan sehari-hari kurang teraktualisasi. Bahkan dalam batas tertentu fiqh dipahami masyarakat sebagi sesuatu yang identik dengan syari’ah. Sehingga dipandang sebagai bentuk formulasi pemikiran hukum yang resisten terhadap perubahan.  Pemahaman demikian menjadikan fiqh bercorak eksoterik (hitam putih) dan cenderung normatif-formalistik.
Mazhab secara metodologis dalam melakukan ijtihad/istinbat hukum dirasa sebagai sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh klasik sudah tidak lagi comaptible untuk memecahkan problem-problem masa kini, bahkan memahami fiqh secara tekstual merupakan aktifitas yang ahistoris dan paradoks dengan perkembangan zaman. Alasan inilah yang membenarkan bahwa manhajiy (metodologis) adalah merupakan alternatif yang tepat dalam memecahkan berbagai persoalan kontemporer.
Prosedur berijtihad/beristinbath secara manhajiy (metodologis) adalah dengan cara melakukan verifikasi terhadap persoalan-persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan yang termasuk furu’.  Dalam melakukan verifikasi tersebut dilakukan klasifikasi dan identifikasi kebutuhan masyarakat yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dlaruriyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyat (kebutuhan lux). Ketiga kebutuhan tersebut merupakan maqashid al-syari’ahi (tujuan pokok syari’ah). Ketiga kebutuhan ini secara cerdas dan elegan bisa dikembangkan dalam konteks zaman yang menyertainya, sehoingga dalam sejarah panjang bisa menjadi penggerak lajunya peradaban islam . Untuk itu operasionalisai fiqh harus selalu didasarkan atas skala prioritas kebutuhan. Rumusan tujuan syari’ah ini memberikan pemahaman bahwa islam tidak hanya berperan dalam aspek ibadah, namun sebaliknya kepentingan kemanusiaan (muamalah) juga harus diutamakan.
Metodologi qiyas yang oleh asy-Syafi’I dan oleh ulama dahulu dimaksudkan sebagai metode dan cara berfikir (mode of thought) yang produktif dalam menanggapi berbagai kenyataan kemanusiaan dan alam atau sebagai metode berfikir dari yang teosentris ke yang empiris. Pergeseran pola pikir ini akhirnya justru memposisikan qiyas berubah menjadi sumber hukum islam (masdhir al-ahkam) yang kurang kritis dalam membaca realitas sosial dan kealaman serta mengesampingkan aspek mashlahah (kepatutan umum) sehingga qiyas mengalami kemandulan metodologis . Mashlahah adalah sentral tujuan penerapan hukum islam. Bahkan, mashlahah selalu dijadikan acuan syari’ah meskipun tetap berpegang kepada ushul fiqh, tradisi nabi, praktek sahabat dan fuqaha awal. Dalam proses penggalian hukum sikpa proporsional haruslah digunakan, tidak hanya mengikuti arus modernitas liberalis semata, namun juga tetap berada dalam frame kewahyuan. Inilah yang kemudian disitilahkan sebagai fiqh sosial .
Fiqh sosial adalah formulasi kajian ulama tentang persoalan hukum yang bersifat praktis yang diambil dari dalil syari’i yang berorientasi pada persoalan sosial kemasyarakatan. Ini penting dalam rangka upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial melalui pemurnian yang dinamis dalam gerakan tajdid (pembaharuan) menuju terciptanya paradigma baru dalam memahami dan menerapkan hukum islam (fiqh dalam arti sempit) . Lima ciri dari paradigma tersebut yaitu:
1.    Melakukan interprestasi ulang dalam mengkaji teks fiqh untuk ditemukan konteksnya yang baru
2.    Makna bermazhab diubah dari tekstual (mazhab qawliy) ke bermazhab secara metodologis (manhajiy)
3.    Verifikasi mendasar untuk memilah antara ajaran pokok (ushul) dan ajaran cabang (furu’)
4.    Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif negara
5.    Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial dan budaya.
Fiqh tidak boleh terkontaminasi pada penjustifikasian dalam dunia praktis secara lebih jauh, sehingga dalam fiqh tidak harus stagnasi (tawaqquf), fiqh bersifat fleksibel.
Jika terjadi tawaqquf berarti fiqh jatuh ke jurang ketakberdayaan karena fiqh tak mampu memberikan jawaban atas masalah-masalah baru yang terjadi di sosial masyarakat. Dilihat dari segi perannya dalam memahami teks, fiqh sosial merupakan bentuk dekonstruksi teks yang membawa konsekuensi sosiologis yaitu membongkar pola pikir kaum feodal konservatif yang memutlakkan otoritas teks. Dengan demikian fiqh sosial telah membuka peluan demokratisasi penafsiran atas teks-teks fiqh yang kaku. Dengan menjadikan manusia sebagai sumber budaya, fiqh sosial telah membuka kemajemukan tafsir.
Dalam menghadapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, kehadiran fiqh sosial sebagai landasan operasional dalam merespon berbagai masalah dan untuk melakukan terapi sosial. Arti penting fiqh sosial adalah terletak pada keberpihakannya kepada kepentingan sosial dan mashlahah’ammah (kepatutan umum).
Setidaknya masih ada tiga jenis produk lainnya. Pertama, fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus daripada fiqh atau ijtihad secara umum.  Hal ini karena, boleh jadi fatwa yang dikeluarkan seorang mufti sudah dirumuskan dalam fiqh, hanya belum dipahami si peminta fatwa tersebut adalah bagi orang yang meminta fatwa saja. Kedua ,keputusan pengadilan. Produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan al-qadla’ atau al-hukm, yaitu ucapan (dan atau tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu (al-wilayat al-qada). Ketiga adalah Undang-undang. Yaitu peraturan yang dibuat suatu badan legislatif (sultah al-tasyri’iyah) yang mengikat kepada setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan,yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-undang sebagai hasil ijtihad kolektif (jama’iy) dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya, untuk mengubah suatu undang-undang ini, memang tidak setiap negara muslim mempunyainya.
Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa hukum islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan di formulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum: Fiqh, Fatwa, Keputusan pengadilan, dan Undang-undang- yang di pedomani dan di berlakukan bagi ummat islam di Indonesia.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telab dikodifikasikan dalam struktur hukuin nasionaI. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.
Transformasi hukum islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 peranan elite islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga Rancangan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dapat dikodifikasikan.
Gagasan transformasi hukum islam dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.
Rousseau misa1nya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya. Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (valonte generale), di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu.
Konsep pengembangan hukum islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum islam yang secara fonnil maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, hukum islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Hukum Perkawinan No. 1 tahun 1974.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum islam secara yuridis formal.
Sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an Undang-Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal dalam Pasal 10-12 Undang-Undang No.14 tahun 1970 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat islam tidak redup dan kehilangan arah, agar tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.

BAB III
PENUTUP
Filsafat hukum islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan ketentuan-ketentuan islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hokum.
Penerapan peraturan-peraturan maupun syari’at islam diperlukan adanya suatu proses yang bertahap. Pemenuhan aqidah merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat sebagi tahap awal dalam pembentukan syari’at islam.
Terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat dimulai dengan menyerap nilai-nilai hukum universal secara proporsional. Nilai-nilai tersebut mencakup keadilan, kemanfaatan  dan kepastian. Hukum islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan di formulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum: Fiqh, Fatwa, Keputusan pengadilan, dan Undang-undang- yang di pedomani dan di berlakukan bagi ummat islam di Indonesia.
Transformasi hukum islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara.
Konsep pengembangan hukum islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Sampai saat ini, kedudukan hukum islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum.
 
DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku-Buku
Abdullah, Abdul Ghani. Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia. Dalam Mimbar Hukum  No. 1 tahun V. Al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 4.
Abdullah, Amin et al. Rekonstruksi Metodologi Islamic Studies Madzhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Amak F.Z. Proses Undang-undang Perkawinan. Bandung: Al-Ma’arif, 1976.
Khallaf, Abdul wahab. Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1978.
Maftukhin. Logika al-Risalah al-Syafi’I (Analisis Jacques Derrida). Yogyakarta: UIN, 2007.
Mahfudh, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Qurthuby, Sumanto al-. Era Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Cermin, 1999.
Soehino. llmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1980.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 1998. 
Yafie, Ali. Menggagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan, 1994.
B.    Jurnal
Mahfudz, Mahsun dan Baedhowi. Mencermati Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia”, Edisi 7 Vol. IV, 2008, hlm. 61.
C.    Makalah
Rohidin. Filsafat Hukum Islam. Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Hukum di Magister Hukum Fakultas Hukum UII. Yogyakarta, Maret 2012.
Kusnadi, Didi. Hukum Islam Di Indonesia. Makalah. Kuningan, 2010.
D.    Data Elektronik
http:// www.google.com/filsafat hukum/preview.html, Akses 21 Maret 2012.
http://www.google.com/filsafat hukum/index.php.htm, Akses 21 Maret 2012.
http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/130, Akses 21 Maret 2012.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,



Tidak ada komentar: