Kamis, 05 April 2012

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI HUKUM TIPOLOGI SOSIOLOGIS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu hukum tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka dasar umum habitat ilmu hukum . Hukum tumbuh berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van Apeldroon, hlm. 417).
Dalam menentukan apa yang harus menjadi peraturan hukum pertama-tama harus diperhatikan konteks social, yakni seluruh situasi sosial ekonomi masyarakat dalam zaman tertentu.  Situasi konkret suatu masyarakat terjalin erat dengan sejarah dan jiwa bangsa tertentu. Dalam perkembangan kehidupan suatu bangsa dengan sendirinya timbullah suatu rasa hukum tertentu.  Itu berarti bahwa dalam kehidupan bersama beberapa prinsip akan diberikan tekanan, sedangkan prinsip-prinsip lain kurang ditonjolkan.
Dengan demikian maka hukum yang dibentuk dalam suatu masyarakat tertentu akan memperlihatkan ciri-ciri khas, sesuai dengan situasi sosial ekonomi dan jiwa bangsa. Pada zaman sekarang ini timbul keyakinan bahwa salah satu syarat dalam pembentukan suatu perundang-undangan menjadi sah apabila ada persetujuan dari semua warga negara. Kalau persetujuan itu tidak ada, maka  pembentukan hukum tidak berlainan dari tindakan kekuasaan.
Hukum yang diperkaitkan dengan masyarakat luas yang menjadi latar belakangnya dapat pula dilihat sebagai suatu pernyataan kehendak dari para anggota masyarakat.  Hukum itu tidak akan terlepas dari gagasan-gagasan pendapat-pendapat serta kemauan-kemauan yang hidup dikalangan anggota masyarakat. Menurut Savigny bahwa antara hukum dan keaslian serta watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis. Tali yang mempersatukan kedua sehingga menjadi satu kesatuan adalah adanya kepercayaan yang sama dari seluruh rakyat serta sentiment yang sama pula tentang apa yang merupakan keharusan yang kesemuanya itu menolak adanya gagasan yang bersifat aksidental dan arbiter.
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengetahui perkembangan perkembangan pemikiran teori hukum tipologi sosiologis

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perkembangan pemikiran teori hukum tipologi sosiologis?


BAB II
PEMBAHASAN


Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat.
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang.  Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi.  Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidak sesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Jika dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum . Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis.  Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
 Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual.
Sebenarnya tak lain dari pada pertelahaan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup. Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perubahan dan stabilitas.
Mempelajari sejarah hukum memang bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly bahwa dengan mempelajari sejarah sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang jauh. Ia meluaskan penglihatan dan memperbesar pandangan hidup kita dengan membuat perjalanan di negeri-negeri asing. Sejarah mengenalkan kita dengan keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada yang biasa kita kenal dan dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini terdapat pada kita bukanlah satu satunya yang mungkin. (Sudarsono, hal. 254).
Penyelidikan sejarah membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai hal yang demikian melainkan menghadapinya secara kritis. Sebagai ilmu sosial dan ilmu budaya, sejarah menelaah aktivitas manusia dan peristiwa-peristiwanya yang terjadi pada masa lalu dalam kaitannya dengan masa kini. Sebagai ahli sejarah, tidak harus puas dengan deskripsi saja dan harus berusaha untuk memakainya serta bagaimana prosesnya yang pusat perhatiannya adalah uniknya dan khasnya peristiwa-peristiwa tersebut.
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Masuk dan tumbuhnya kekuasaan barat di Indonesia menyebabkan masuk pula perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika kepada orang-orang indonesia diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa. Orang-orang Indonesia mulai berkenalan dengan elemen-elemen ideologi aufklarung sebagai ideologi sekuler yang terkait erat pertumbuhannya dengan perkembangan rasionalisme.  Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi, kemerdekaan, persaman, demokrasi, republik, konstitusi, hukum negara dan masyarakat. Pemikir pemikir seperti John lock, Thomashobbes, Rousseau, diketahui serta individulisme, liberlisme, kapitalisme, sosilisme dan marxisme didalaminya. Pada awal abad ke 20 pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan fasilitas pendidikan bagi orang Indonesia secara terbatas sehingga lambat laun berkembang cikal bakal kelas menengah yang berpendidikan sekalipun masih sangat kecil. Sejumlah kecil mahasiswa Indonesia yang berhasil belajar di Belanda sangat dipengaruhi oleh kondisi politis maupun ide-ide politis yang mereka temukan disana. Kebebasan-kebebasan sipil dan pemerintahan demokratis yang mereka lihat di Belanda sangat berlawanan dengan kondisi- kondisi di Indonesia, sehingga hal ini membuat para mahasiswa Indonesia sangat terkesan. Selain itu juga awal dekade 1960 an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab dengan teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negeri barat maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh. Perkembangan pemikiran para ahli hukum Indonesia menjadi satu  pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Munculnya sebuah teori pemikiran hukum juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang solusinya.
Tipologi pemikiran hukum disini adalah satu kajian tentang tipe-tipe pemikiran para ahli hukum Indonesia pasca kemerdekaan sampai masa orde baru khususnya dekade 1990-an. Pemikiran yang dikemukakan oleh para ahli hukum merupakan pemikiran yang tidak dipisahkan dari realitas budaya hukum di Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena pemikiran hukum mereka bukannya semata-mata membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aspek normatif-doktriner, tetapi juga berhubungan dengan analisis, respon dan refleksi mereka terhadap permasalahan hukum dan konseptualisasi hukum dalam perspekti sosiologis. Sementara itu, penting dikemukakan bahwa tipologi yang diuraikan lebih merupakan peta yang didasarkan pada kecenderungan umum pemikiran hukum di Indonesia. Dari peta tersebut diharapkan sosok dan profil pemikiran para ahli hukum Indonesia akan tampak lebih jelas, selain itu dalam diskripsinya, tipologi tidak semata-mata mendasarkan diri pada aliran pemikiran yang dianut oleh masing-masing ahli hukum, tetapi juga mengamati kerangka teoritis atau pendekatan yang digunakan.
Tipologi pemikiran ahli hukum periode pasca kemerdekaan menunjukkan suatu model pemikiran yang mengutamakan komitmen pada hukum adat, dalam kontek politik hukum pemikiran formalistik memperlihatkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang sebuah tatanan hukum yang dibayangkan, seperti terwujudnya suatu sistem hukum nasional, ekspresi simbolis dan idiom-idiom hukum yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karateristik hukum nasional, oleh karena itu pemikir-pemikir hukum saat itu yangdipresentasikan oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo dan Prof. Dr. Mr Soekanto sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme hukum adat (Khudzaifah Dimyati, 2004: 239).  Dalam perkembangannya pemikiran hukum dengan tipologi formalistik pada dekade 1960 sampai 1970 mulai memperlihatkan suatu karateristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat hukum pada pemikiran hukum pada periode ini. Salah satunya direpresentasikan oleh Prof. Djoko Soetono, Beliau mengatakan bahwa dalam pikiran seorang ahli tidak berdiri sendiri dan tidak otonom, tetapi dipengruhi oleh suasana sekitarnya.
Oleh karena itu, selayaknya kita menyesuaikan diri dengan masalah pembentukan konstituante dan konstitusi. Pada masa ini hukum adat masih menjadi dasar pembentukan hukum, karena hukum adat dianggap sebagai hukum yang universal dan nilainya melebihi hukum-hukum manapun serta melampui batas kewilayahan (pemikiran djoyodigoeno).
Sosiologi hukum pada saat ini tengah berkembang pesat dan ilmu ini terarah untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku. Artinya, isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan.  Pemikiran sosiologi hukum lebih terfokus pada keberlakuan empirik atau faktual dari hukum. Sosiologi hukum tidak secara langsung diarahkanpada hukum sebagai sistem konseptual, melainkan pada kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya hukum memainkan peranan. Objek sosiologi hukum pada tingkat pertama adalah kenyataan kemasyarakatan dan pada tingkat kedua adalah kaidah-kaidah hukum dengan salah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan itu.
Menurut J.J.H. Bruggink, sosiologi hukum dapat dibedakan ke dalam dua aliran. Dua aliran sosiologi hukum antara lain: 
1.    Sosiologi Hukum Empirik
Aliran ini mengumpulkan bahan-bahannya dari suatu titik berdiri pengamat yang mengobservasi. Dengan menggunakan metode kuantitatif mencoba sambil meregistrasi menata material dan dari dalamnya menarik simpulan-simpulan tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan.
2.    Sosiologi Hukum Kontemplatif
Menempatkan diri pada suatu perspektif yang lain. Suatu perspektif eksternal tidak dapat diterima sehubungan dengan objek yang dipelajarinya. Para sosiolog kontemplatif lebih jauh mempersoalkan kemurnian hasil-hasil penelitian empirik. Peneliti empirik harus akrab dengan material yang hendak diteliti yang sudah membawa dirinya pada keberpihakan tertentu.  Hal ini menyebabkan hasil penelitian mereka juga tidak benar-benar murni dan objektif. Latar belakang sosiologi kontemplatif adalah bukan positivistik karena perspektifnya terletak dengan perspektif filsafat.
Penelitian sosiologi hukum kontemplatif, misalnya studi tentang gejala yuridisasi, menemukan bahwa melimpahnya aturan-aturan hukum memiliki dampak sebaliknya daripada yang dituju ketimbang mengatur kehidupan kemasyarakatan dengan cara yang lebih baik. Aturan-aturan hukum itu justru mencekik kehidupan masyarakat dengan terlalu membelenggu kreativitas dan spontanitas. Suatu studi sosiologi hukum yang hanya bekerja secara empirik tidak akan terlalu banyak membawa kemajuan tentang objek ini.
Sosiologi hukum empirik perspektifnya berorientasi pada pandangan eksternal dalam mengamati perilaku masyarakat. Sementara teori kebenaran yang berlaku lebih terfokus pada teori korespondensi dan proposisi-proposisi hanya memberikan informasi. Sedangkan sosiologi hukum kontemplatif menekankan pada perspektif internal, yakni perspektif partisipan. Teori kebenaran yang dijadikan sebagai acuan adalah teori pragmatik. Dalam teorinya juga memunculkan proposisi-proposisi normatif dan evaluatif.
Pada mulanya sangat sulit dipahami bahwa sosiologi dan hukum dapat disatukan. Hal ini karena para ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah quid juris, sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk menguraikan quid facti dalam arti mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan.
Ahli hukum dan ahli filsafat hukum menanyakan apakah sosiologi hukum tidak bermaksud menghancurkan semua hukum sebagai norma, sebagai suatu asas untuk mengatur fakta-fakta sebagai suatu penilaian. Kekhawatiran tersebut muncul apabila melalui sosiologi hukum akan dihidupkan kembali penilaian baik buruk dalam penyelidikan fakta-fakta sosial. Akan tetapi alternatif sikap mengisolir baik dari sosiologi maupun hukum dan pemisahan secara tegas masing-masing ruang lingkup dapat diatasi berkat perkembangan sosiologi hukum. Maurice Hauriou menerangkan bahwa hanya sedikit sosiologi menjauh dari hukum, tetapi banyak bidang-bidang sosiologi membawanya kembali kepada hukum. Roscoe Pound menegaskan bahwa besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum modern adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional menuntut supaya hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat ada hubungan antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup dan tetap memperhatikan hukum yang hidup dan bergerak. Serta mencoba mengkonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus dipahami.
Pemikiran ahli tentang hukum dalam realitasnya sangat dipengaruhi oleh suasana yang melingkupinya. Artinya percikan pemikiran yang muncul tidak terlepas dari keadaan masyarakatnya sebagai hasil dari konstruksi sosial. Di dalam sejarah pemikiran tentang hukum dapat dilihat manifestasi dari keterikatan pemikiran hukum itu pada latar belakang kemasyarakatan yang ada.
Dunia hukum bukanlah kawasan esoterik. Artinya tidak dapat dilepaskan dengan dunia sollen. Sebaliknya campur tangan hukum juga semakin meluas ke dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat yang menyebabkan keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial menjadi semakin intensif. Keadaan ini menyebabkan bahwa studi terhadap hukum harus memperhatikan pula hubungan antara tertib hukum dengan tertib sosial yang lebih luas. Penetrasi yang semakin meluas mengundang timbulnya pertanyaan mengenai efektivitas pengaturan oleh hukum itu serta efek-efek yang ditimbulkannya terhadap tingkah laku manusia dan terhadap organisasi-organisasi di masyarakat. 
Hukum berkepentingan dengan hasil yang akan diperolehnya melalui pengaturan itu dan oleh karenanya harus paham tentang seluk beluk masalah yang diaturnya. Sedangkan dilain pihak juga harus disadari bahwa faktor-faktor dan kekuatan-kekuatan diluar hukum akan memberikan beban pengaruhnya pula terhadap hukum serta proses bekerjanya.
Diluar ilmu hukum, ilmu-ilmu sosial telah pula mengarahkan perhatiannya kepada hukum sebagai sasaran penyelidikannya.  Pertumbuhan studi tentang konteks sosial hukum telah mempengaruhi banyaknya hasil kerja teoritis yang memberikan sumbangan praktis yang demikian membantah asumsi umum bahwa hanya studi teoritis empiris saja yang mampu memberikan hasil demikian.  Bredemeir menganilisis bagaimana hukum saling berinteraksi dengan pattern variabels lain yang ada di dalam suatu sistem sosial yang berasal dari economy, science and technology, goal pursuance dan pattern maintenance atau pemeliharaan eksistensi sistem dan sebaliknya hukum pun merupakan output dari solidaritas sosial dan dari hasil interpretasi terhadap keadilan.  Hukum dapat mengkonkritisasikan bentuk struktur-struktur peran, tugas dan kewajiban. Tetapi, efisiensi dari proses tersebut tergantung kepada goal structure yang dimiliki masyarakat tersebut serta kepada kemampuan dari masyarakat untuk mendayagunakan seluruh potensi di dalam hukum yang dimilikinya.
Menurut teori sibenertika Talcoot Parson suatu sistem sosial pada hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan satu dengan yang lain. Hukum dalam kehidupan sistem sosial  hukum menjadi hal yang berpengaruh salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supermasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti. Kaidah sosial dan kaidah hukum sulit dibedakan dikarenakan keduanya teroperasi secara bersama dalam masyarakat. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol, terjadi saling tarik di antara kedua-duanya. Kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.  Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara universal. Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.


BAB III
PENUTUP

Dunia hukum bukanlah kawasan esoterik. Artinya tidak dapat dilepaskan dengan dunia sollen. Sebaliknya campur tangan hukum juga semakin meluas ke dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat yang menyebabkan keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial menjadi semakin intensif. Keadaan ini menyebabkan bahwa studi terhadap hukum harus memperhatikan pula hubungan antara tertib hukum dengan tertib sosial yang lebih luas.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial.
Sosiologi hukum pada saat ini tengah berkembang pesat dan ilmu ini terarah untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku. Artinya, isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan
Hukum dapat mengkonkritisasikan bentuk struktur-struktur peran, tugas dan kewajiban. Tetapi, efisiensi dari proses tersebut tergantung kepada goal structure yang dimiliki masyarakat tersebut serta kepada kemampuan dari masyarakat untuk mendayagunakan seluruh potensi di dalam hukum yang dimilikinya.







DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-Buku
Bruggink, J.J.H. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Gijssels, Jan and Mark van Hoecke. What is Rechtsteorie?. Kluwer: Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982.
Johnson, Alvin S. Sociology of Law. dialihbahasakan oleh Rinaldi Simamora. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Kusumah, Mulyana W. Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum. Jakarta: Rajawali, 1986.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta:  Kencana, Tanpa Tahun.
Nonet, Philippe&Philip Selznick. Law and Society in Transition, Toward Responsive Law. New York: Harper Colophon Books, 1978.
Podgorecki, Adam&Christoper J. Whelan (ed). Socilogical Approaches to Law. diterjemahkan Rnc. Widyaningsih. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Pound, Cf. Rescoe. law finding through experience and reason, lectures. Athens: University of Georgia Press,  1960.

B.    Jurnal
D.H.M. Meuwissen. Pengembanan Hukum. dalam Jurnal PRO JUSTITIA. Tahun XII Nomor 1 Januari 1994.
C.    Data-Data Elektronik
http://google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/PENDAHULUAN.htm, Akses 20 Maret 2012.
http://www.google.com/repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1554/1/perdata-rabiatul.pdf, Akses 20 Maret 2012.
www.google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/259-ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern.html, Akses 20 Maret 2012.
www.google.com/domba-bunting.blogspot.com/2009/12/sejarah-perkembangan-hukum.html, Akses 20 Maret 2012.
http://www.google.com/repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1554/1/perdata-rabiatul.pdf, Akses 20 Maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia, Akses 20 Maret 2012.
http://google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/PENDAHULUAN.htm, Akses 20 Maret 2012.
http://google.com/perkembangan ilmu hukum doktriner/PENDAHULUAN.htm, Akses 20 Maret 2012.

Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,

Tidak ada komentar: