Kamis, 05 April 2012

KASUS KONFLIK HORIZONTAL SAMPANG TELAAH SOSIOLOGI HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Konflik dua kelompok berbeda keyakinan di Sampang, Madura, merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara. Namun, fakta ketegangan antar kelompok beragama semakin rumit di masa datang. Apalagi konflik juga bercampur etnis tertentu. Akibatnya, pola kekerasan dapat meluas pada isu-isu lain yang berkaitan di antara agama etnis tersebut . Terjadi pembakaran tiga rumah dan musala pengikut Syiah di Karanggayam, Sampang, Madura, Jawa Timur, kamis (26/12), yang dilakukan oleh ratusan warga di sekitar perkampungan aliran Syiah. Kejadian ini dipicu persoalan perbedaan pemahaman Islam antara dua warga yang bersitegang.
Menurut warga setempat, insiden pembakaran itu diprovokasi oleh penyebaran sekte Syi’ah yang dilakukan kepada umat Islam. “ Dianggap ajaran yang disebarkan oleh Kiai Tajul Muluk menyimpang dari ajaran Islam dengan mengajarkan door to door. Makanya, warga semakin geram,” terang Juhaidi (45), salah satu tokoh masyarakat setempat yang berada di lokasi kejadian .
Beberapa masalah yang selama ini menjadi jurang pemisah dengan Islam, menurut KH Abdusshomad, karena ajaran Syi’ah itu tidak mau menerima riwayat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Usman bin Affan. Sekte Syi’ah melainkan hanya mengakui Ali bin Abi Thalib . Akibat tidak diakuinya hadist dari tiga shahabat, yaitu Abu Bakar, Umar, dan Usman, setidaknya membuat beberapa cara beribadah dari Syiah sangat berbeda dengan Sunni. Perbedaan itu, misalnya, Syiah menggabungkan dua shalat antara zuhur dan asar digabung di waktu zuhur, lantas magrib dan isya digabung pada waktu magrib.
Tak hanya itu, sekte Sy'iah juga tidak mewajibkan shalat Jumat. Azan salat aliran Syiah juga berbeda dengan Sunni. Dan perbedaan yang tajam adalah doktrin kawin kontrak yang dipraktikkan Syi'ah. “Mereka juga tidak mewajibkan untuk shalat Jumat dan membolehkan nikah mut’ah (kawin kontrak, red),” imbuhnya.
Minimnya sikap toleransi keagamaan plus pendapatan menjadi pangkal kekerasan dengan melegalkan segala cara atas nama agama. Kondisi ini memang tidak murni terjadi di wilayah agama saja. Kekerasan dalam berbagai penampakannya dipicu oleh banyak faktor. Realitas tumbuhnya pluralitas agama dan paham keagamaan itu merupakan fakta yang tak dapat diingkari. Pluralitas agama dan paham keagamaan berjalan bersamaan dengan perkembangan masyarakatnya.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menjelaskan,’’Jadi jangan pernah berpikir menghentikan laju itu. Karena secara nyata sulit sekali distop,’’ terang dia . Langkah yang diperlukan, kata cendekiawan muslim ini, perlu dibangun struktur sosial yang lebih baik. Dengan mengedepankan etika sosial di masing-masing kelompok. Tidak membiarkan hilangnya dialog dalam etika sosial tersebut. Menurutnya, paham-paham eksklusif yang tumbuh dalam lingkup beragama hanya dikembangkan bagi kelompoknya. Tidaklah selalu tepat menyampaikan paham itu pada wilayah publik. Inilah yang dinamakan etika sosial beragama. ’’Kita perlukan kedewasaan umat beragama dan penegakan etika publik serta hukum,’’ tandas tokoh pluralisme ini. Komaruddin mengemukakan, butuh kearifan dan kebijaksanaan yang sangat fundamental dalam memahami persoalan ini. Indonesia mesti benar-benar mengantisipasi problem tersebut. Apalagi, beberapa tahun terakhir kekerasan itu terus mengemuka.
Bahkan terkesan penyelesaian konflik agama etnis ini hanya bermodelkan kekerasan. Hampir semua ketegangan itu bermuara pada kekerasan antar kelompok. ’’Pemerintah harus mengambil sikap tegas. Aparat polisi harus bertindak terhadap pelaku kekerasan tersebut. Tak bisa dibiarkan tanpa penindakan’’. Penegakan hukum positif dan mediasi sosial menjadi kunci penuntasan konflik. Tidak lah pantas mengabaikan penegakan hukum dengan dalih agama, karena pelanggaran hukum merupakan bentuk pelanggaran etika sosial.
B.    Rumusan Masalah
1.    Peranan sosiologi hukum dalam penuntasan konflik horizontal?



BAB II
PEMBAHASAN

Konflik sosial yang terjadi di Sampang merupakan bukti lemahnya ruang dialog yang dibangun pemerintah. Hingga kekerasan antara dua kelompok itu tak terhindarkan. Lemahnya ruang dialog itu, diperparah dengan ketidakmampuan aparat kepolisian setempat melakukan cegah-tangkal terkait kerusuhan tersebut. Akibatnya perusakan dan pembakaran musala dan pesantren itu terjadi. ’’Ada dua titik yang perlu diketahui dalam persoalan ini, yakni membangun budaya dialog dan ketegasan penegakan hukum’’.
Menurut Hendardi, berdasarkan catatan Setara Institute sejak 2009-2011, kekerasan yang dipicu isu-isu agama terus meningkat . Meski dengan pola dan tindakan berbeda-beda, namun tetap mengemas perbedaan paham agama. Kenaikan angka kekerasan tersebut, lanjut Hendardi, membuktikan tidak optimalnya pemerintah membangun dialog antar kelompok-kelompok beragama itu. Bahkan terkesan tidak ada upaya signifikan terhadap pembangunan dialog antara kelompok agama.
Hukum yang mengatur masyarakat tidak mengalir secara langsung dari hukum dasar normative. Prinsip-prinsip abstrak itu harus diwujudkan dalam suatu tata hukum tertentu supaya berlaku.  Untuk itu dibutuhkan pengolahan hukum oleh pembuat hukum (yuris), dan penetapan hukum oleh orang-orang yang berwenang.
Dalam menentukan apa yang harus menjadi peraturan hukum pertama-tama harus diperhatikan konteks social, yakni seluruh situasi sosial ekonomi masyarakat dalam zaman tertentu.  Situasi konkret suatu masyarakat terjalin erat dengan sejarah dan jiwa bangsa tertentu. Dalam perkembangan kehidupan suatu bangsa dengan sendirinya timbullah suatu rasa hukum tertentu.  Itu berarti bahwa dalam kehidupan bersama beberapa prinsip akan diberikan tekanan, sedangkan prinsip-prinsip lain kurang ditonjolkan.[1]
Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.
Sosiologi hukum penting untuk dipahami mengingat hukum terkonstruksi ke dalam norma-norma yang dipatuhi masyarakat tidak sekedar merupakan peristiwa kosong atau tunggal, melainkan berada dalam berbagai situasi dan kondisi sosiologis atau relijius yang mustahil dapat dihindarkan keberadaannya. Upaya memberikan penafsiran hukum tidak saja berdasarkan pada teks (law in book) tetapi pada konteks (law in action) . Menurut Satjipto Rahrdjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1.    Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum ;
2.    Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum ;
3.    Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai tetsachenwssenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.
Hobbes memandang hubungan moralitas dengan peran pribadi masyarakat tidak terlepas dari peran negara . Moralitas dipandang sebagai sifat atau karakter pribadi dari seseorang, maka isinya tidak lain yang muncul dalam keseharian adalah kejujuran, kebaikan, kesetiaan dan damai pengorbanan. Tampaknya merupakan hal yang melekat dan wajah utama dari hukum negara. Dengan institusi kepolisian kekuasaan negara melekatkan kelangsungan hubungan sosial. Namun jika hukum dipandang sebagai memformalkan dan membuat kerangka hubungan antara paksaan dan ketergantungan maka kesesuaian antara hubungan solidaritas dengan adanya ketergantungan satu sama lain menimbulkan keraguan .
Seharusnya pada era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudotoleransi, yaitu toleransi yang rentan konflik-konflik komunal . Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi harus terkait baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil. Disamping itu nilai dasar setiap agama adalah toleransi, terutama agama Islam tidak kurang dari 300 ayat menyebut mutiara toleransi secara eksplisit. Sehubungan dengan kedua hal tersebut, dipandang penting adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat plural yang demokratis untuk memperkuat ketahanan sosial. Permasalahannya sekarang bahwa toleransi dalam kehidupan bersama semakin lemah dan anti toleransi serta anti pluralisme semakin menguat.
Secara umum dan prinsip antara penganut Sunni dan Syiah tidak ada yang berbeda. Perbedaan ada pada penafsiran cabang-cabang dalam pemahaman masing-masing. Pokok ajaran yang harus diikuti penganut Syiah adalah mengikuti Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad SAW dan bersandar pada Al Quran dan Hadis. Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad SAW terdiri dari putri Nabi, Siti Fatimah Az-Zahra, Hasan dan Husein anak mereka. Ali dalam lingkaran Ahlul Bait masuk jalur paling utama sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Sedang penganut Sunni mengakui khalifah yang empat seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Dalam mengambil keputusan merujuk pada Al-Quran dan Hadis, Qias, Ijma, pendapat sahabat, mengadopsi empat mazhab. Tentunya penganut Sunni juga sangat menghormati Ahlul Bait .
Adanya hubungan yang saling berkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.  Apabila hukum itu semakin digarap atau diperlakukan sebagai suatu bidang tersendiri di dalam masyarakat sebagaimana halnya di dalam masyarakat yang kompleks dengan sistem yang logis konsisten, dengan istilah-istilah serta pengertian-pengertian yang bersifat sangat teknis dan sebagainya, maka justru semakin dirasakan perlunya untuk mencari perkaitan antara sistim hukum yang ada dengan anggota-anggota masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan hukum itu. Perbedaan ini sudah menjadi fitrah Allah, maka amat naif jika kita tidak melihat dan menerima apa adanya .
Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial . Sesuai dengan topik diskusi konflik yang dibahas hanya yang bersifat masal yang untuk tujuan analisis dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horizontal dan vertikal dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerinth/penguasa dengan warga masyarakat. Bentrok beraroma agama yang melibatkan penganut Sunni vs Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur merupakan salah satu dari perwujudan konflik horizonal.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konfik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring menggeloranya era reformasi yang dampaknya tidak hanya mengganggu ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup mengkhawatirkan bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Di sisi lain hal yang perlu juga diperhitungkan yang mungkin juga dapat menimbulkan potensi konflik atau paling tidak menambah peluang terjadinya konflik dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan pemerintah, misalnya :
1.    Kebijakan atau keputusan pemerintah yang kurang tegas, mengambang atau ragu-ragu sehingga menimbulan multitafsir dan menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat mengundang konflik
2.    Kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif atau dinilai kurang memperhatikan kepentingan rakyat banyak atau kebijakan yang menimbulkan kritik sehingga menimbulkan polarisasi pendapat dan ketegangan dikalangan masyarakat.
Hukum yang diperkaitkan dengan masyarakat luas yang menjadi latar belakangnya dapat pula dilihat sebagai suatu pernyataan kehendak dari para anggota masyarakat.  Hukum itu tidak akan terlepas dari gagasan-gagasan pendapat-pendapat serta kemauan-kemauan yang hidup di kalangan anggota masyarakat .
Beroperasinya hukum di masyarakat (ius operatum) atau law in ation dan pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat; dari segi statiknya (struktur), kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosal, dari segi dinamiknya (proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (sosial institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan sosial yang manifest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normatif tetapi secara konstektual sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika sosial dalam rangka seaching for the meaning . Diharapkan dapat menjelaskan fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normatif, disparitas hukum, terjadinya dieviani behavior, anomaly hukum, ketidak patuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah melalui pendekatan ini. Sebaiknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-olah hukum tertulis menjadi tidak diperlukan, tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum, bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum yang membawa masyarakat kearah kekerasan. Perwujudan dari masyarakat yang tidak percaya dengan hukum.
Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role accupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seseorang itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan  yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap  peraturan hukum merupakan fungsi perturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan. Disinilah ketegasan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum sebagai upaya dalam memerankan tugas dan fungsinya untuk melindungi masyarakat. Bagaimana para pembuat  undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial menjadi hal yang berpengaruh salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supermasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti. Kaidah sosial dan kaidah hukum sulit dibedakan: dikarenakan karena keduanya teroperasi secara bersama dalam masyarakat. keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol, terjadi saling tark di antara kedua-duanya. Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi: kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.  Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara universal. Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
Ada empat fungsi bekerjanya hukum (four law jobs) : Fungsi pertama, memandang hukum sebagai suatu persetujuan untuk dapat menyelesaikan masalah akibat suatu persengketaan secara tertib dan luar biasa. Kedua, sebagai saluran pencegahan dan suatu penuntun dan harapan untuk mencegah konflik. Ketiga, mengalokasikan suatu kewenangan dalam suatu kelompok. Keempat, batas pengarah suatu organisasi dan harmonisasi dari berbagai aktifitas antara kelompok yang menyediakan arah dan insenktif bagi setiap anggota masyarakat.
Parson mengakui akan adanya sistem sosial yang harus dikendalikan oleh hukum, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi kajian bagaimana sistem sosial tersebut berfungsi untuk melayani suatu masyarakat . Pertama, pencapaian tujuan (goal attaintment) dengan mengharuskan sistem selalu bergerak secara berkelanjutan mencapai tujuan. Kedua, pola pemeliharaan sistem sosial, menciptakan, memelihara dan mengembalikan energi, motif dan sistem nilai dari anggota masyarakat sehingga seluruh pola dan sistem nilai dan energi dalam suatu masyarakat selalu menghasilkan suatu produk. Ketiga, adaptasi bahwa sistem dalam suatu arena lebih luas dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan termasuk di dalam lingkungan fisiknya.
Hukum memiliki tugas yang khusus untuk mempromosikan keterpaduan dari berbagai perbedaan elemen dari kehidupan bersama. Sebab di negara-negara barat modern, otonomi hukum diperoleh dari implikasi fungsi khusus suatu badan/organisasi. Sejauh ini keteraturan hukum dan hubungan-hubungan kekuasaan yang dalam berbagai cara memberikan kontribusi terhadap stabilitas sosial . Stabilitas sosial tersebut timbul dan untuk selanjutnya menimbulkan bentuk-bentuk perlindungan terhadap solidaritas sosial yang ada dan bahkan dalam keadaan komplek sekalipun, berbeda-beda dan membuat masyarakat kontemporer bersebrangan. Karena itu sejauh solidaritas tersebut masih ada dalam masyarakat yang komplek, maka adanya koordinasi merupakan keniscayaan. Sebagaimana dipahami Durkheim, aturan sosial diperlukan untuk menyediakan suatu koordinasi dan mengkomunikasikan pertanggungjawaban umum dan khusus terkait dengan individu dan kelompok yang berbeda diantara solidaritas masyarakat. Dengan kata lain, komunikasi dan koordinasi merupakan dua elemen penting dalam kohesi sosial melalui solidaritas organik.
Terdapat tiga tingkat untuk memahami adanya perubahan sosial yang membawa dampak luar biasa : Pertama, perubahan dapat membawa dampak terhadap perubahan pola tingkah laku dan perbuatan seseorang. Kedua, secara fundamental perubahan terjadi karena berimbas pada perubahan norma-norma kelompok atau merubah pola normatif hubungan individual dan kelompok (perubahan pada bidang ekonomi, politik dan sistem sosial). Ketiga, perubahan juga terjadi karena timbulnya imbas perubahan pada kebiasaan dan nilai-nilai dasar.


BAB III
PENUTUP


Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Sesuai dengan topik diskusi konflik yang dibahas hanya yang bersifat masal yang untuk tujuan analisis dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horizontal dan vertikal dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerinth/penguasa dengan warga masyarakat. Bentrok beraroma agama yang melibatkan penganut Sunni vs Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur merupakan salah satu dari perwujudan konflik horizonal.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konfik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial menjadi hal yang berpengaruh salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supermasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti. Kaidah sosial dan kaidah hukum sulit dibedakan : dikarenakan karena keduanya teroperasi secara bersama dalam masyarakat. keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol, terjadi saling tark di antara kedua-duanya. Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi: kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.  Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara universal. Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
Hukum memiliki tugas yang khusus untuk mempromosikan keterpaduan dari berbagai perbedaan elemen dari kehidupan bersama.



DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku-buku
Jawahir Thontowi, “Hukum Sebagai Sarana Penciptaan Ketertiban dan Keadilan Masyarakat”, Makalah disampaikan Sebagai Bahan Ajar Mata Kuliah sosisologi Hukum di Magister Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 12 September  2011.
Jawahir Thontowi, “Sosiologi Hukum Kontemporer”, Makalah disampaikan Sebagai Bahan Ajar Mata Kuliah sosisologi Hukum di Magister Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Juni 2011.
“Policing dan Kamtibmas Dalam Rangka Pemeliharaan Kedamaian Pasca Konflik Di Indonesia”, Disampaikan Dalam FGD ProPatria Institute Suistainable Peace in Post Conflict Indonesia, Di Hotel Ambhara, Jakarta, Tanggal 11 Maret 2009.
Satjipto Rahardjo, “Hukum dan Masyarakat”, Penerbit Angkasa Bandung, tahun 1980.

B.    Data Elektronik
http://www.setara-institute.org/id/content/konflik-agama-makin-rumit, “Konflik Agama Makin Rumit”, Akses 24 Januari 2012.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/12/29/17232/provokatif-tak-tahu-diri-pusat-sekte-syiah-sampang-dibakar-oreng-madure/, “Sekte Syi’ah Provokatif dan Tak Tahu Diri”, Akses 24 Januari 2012.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/12/29/17232/provokatif-tak-tahu-diri-pusat-sekte-syiah-sampang-dibakar-oreng-madure/, “Sekte Syi’ah Provokatif dan Tak Tahu Diri”, Akses 24 Januari 2012.
http://www.depsos.go.id/unduh/Abu_Hanifah.pdf, “Toleransi Dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial”, Akses 26 Jauari 2012.
http://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/features/2389/menelisik-konflik-yang-disebut-antara-sunni-dan-syiah-di-sampang-awalnya-konflik-keluarga-aparat-telat-menangani.html, Akses 25 Januari 2012.
http://www.indopos.co.id/index.php/berita-indo-rewiew/19689-sda-bentuk-tim-khusus-investigasi-kasus-sampang.html, Akses 24 Januari 2012.
http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2011/04/11/, “Teori Hukum Positivistik dan Teori Hukum Sosiologis Dalam Percaturan Perkembangan Teori Hukum”, Akses 25 Januari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,


Tidak ada komentar: