BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum di Indonesia dalam kenyataan tampak tersendat-sendat dan bahkan sering terjadi stagnasi, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya. Pendekatan legalistik yang berorientasi repressif hanya merupakan pengobatan simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang ampuh, sehingga diperlukan pendekatan dan kebijakan komprehensif baik keilmuan hukum maupun pendekatan di luar keilmuan hukum seperti pendekatan sosiologi, kultural, keagamaan, ekonomi, manajemen dalam penyelenggaraan negara . Dengan pendekatan yang bersifat komprehensif diharapkan ditemukan solusi dalam pencegahan pelanggaran hukum dan penegakan hukum yang lebih optimal dan efektif.
Pandangan tentang perbedaan yang besar antara teori dan praktik mengandung kebenaran namun bersifat relatif dan terkadang bersifat subyektif, namun demikian adanya pandangan tersebut tidak berarti bahwa perbedaan tidak dapat diatasi atau didekatkan karena pengalaman yang benar sering memerlukan juga perubahan-perubahan terhadap teori-teori yang telah dibangun sebelumnya. Bersikukuh kepada teori tanpa mempertimbangkan pengalaman yang benar juga bukanlah merupakan suatu pendirian atau langkah bijaksana. Dalam konteks tersebut di atas, sering dihadapkan kepada kendala, baik kendala hukum materil maupun hukum formil, kendala birokrasi, maupun kendala sosial dan psikologis. Teori-teori hukum pidana yang telah dikembangkan selama ini sering kurang mendukung langkah-langkah konkrit aparat penegak hukum, bahkan teori pembuktian dalam hukum pidana sering kurang relevan lagi dengan perkembangan sosial masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan politik hukum pidana dalam pembentukan aturan hukum pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
Politik hukum ialah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum .
Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rakngkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto , istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:
1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;.
2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.
Hubungan antara politik dan hukum bahwa hukum merupakan produk politik . Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dapat dirumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disni hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakkannya.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling tidak, untuk dua hal : Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.
Dua hal ini penting karena keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan ‘jembatan’ antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Politik hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau basic policy) Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Pemberlakuan” atau enactment policy).
Suatu ketentuan, khususnya dalam bentuk undang-undang yang akan dibentuk selalu diletakkan lebih dulu politik hukumnya (legal policy) atas suatu pembentukan undang-undang, maka dalam hal ini menyangkut apakah perlu dilakukan pembentukan atau perubahan atas suatu undang-undang yang sudah ada, seberapa jauh perubahan harus dilakukan dan bentuk-bentuk perubahan yang diperlukan dalam rangka untuk merespon dan mengakomodir kepentingan pihakpihak yang akan diatur. Dengan demikian, bahwa payung politik hukum (legal policy) yang utama dalam setiap ketentuan perundang-undangan harus selalu bermuara pada tujuan negara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 .
Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan .
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Paul Scholten menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logikal bahan-bahan positif, yakni undang-undang dan vonis . Bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati . Melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka . Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen.
Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas :
1. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
2. Dalam arti yang lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy) . Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Karena bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya satu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah mengenai dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science disamping criminology dan criminal law .
Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Dalam kaitan ini kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan . Sedangkan pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodiputro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat . Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial.
Jika demikian politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan benar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya .
Pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya dalam pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut .
Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana .
Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan ada habisnya mengingat justru aspek pidana inilah bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana . Masalah pidana sering dijadikan tolok ukur sampai seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan .
Dalam menghadapi masalah sentral yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakanperbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejumlah mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat .
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif . Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan .
Upaya pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Tidak efektifnya hukum dalam memainkan fungsi dan perannya di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh tidak layaknya Pancasila sebagai paradigma tetapi sebaliknya disebabkan oleh penyimpangan dari paradigma Pancasila itu .
Beberapa pakar sosiolog sering mengatakan bahwa bagaimanapun baik suatu peraturan perundang-undangan, namun kalau substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu merupakan huruf-huruf mati. Oleh karena itu, hendaknya kalau membuat peraturan hendaknya memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu : (1) Undang-undang yang dibuat harus jauh berlaku ke depan (predictability), (tidak mudah merubah karena alasan-alasan tertentu); (2) Dapat diimplementasikan (applicable); (3) Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di dalamnya kepastian hukum (certainty). Di samping itu menurut Ion Fuller ada 8 (delapan) asas yang harus diperhatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu :
1. Harus mengandung peraturan;
2. Peraturan yang telah diatur harus diumumkan;
3. Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4. Peraturan harus dirumuskan sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti;
5. Suatu susunan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya;
6. Peraturan tidak boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan;
7. Tidak boleh terlalu cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum kehilangan orientasinya;
8. Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan peraturan pelaksanaanya.
Untuk itu, maka diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai penegakannya (enforceability) yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria yaitu :
1. necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis dan terencana;
2. adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi,
3. legal certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;,
4. actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;
5. feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya;
6. verifiability, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji secara objektif;
7. enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar diaati dan dihormati; dan
8. provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.
Salah satu kelemahan dalam pembangunan hukum kita saat ini adalah dalam tataran implementasinya bukan dalam tataran pembentukan hukumnya (penciptaan hukum positif, karena soal penciptaan hukum normative Indonesia luar biasa hebatnya), karena begitu suatu undang-undang disahkan atau diberlakukan, maka dengan berbagai macam kendala akan timbul, karena persoalan hukum bukan sekedar hanya persoalan susunan norma-norma atau untaian kata-kata manis, tetapi menjadi persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya dll .
Belum lagi kalau kita berbicara mengenai kelemahan dalam berbagai substansi peraturan perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk diimplementasikan, overlapping substansi antara satu undang-undang dengan undang-undangan lainnya, saling rebutan kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya phenomena tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena sesama pejabat publik atau civil servant tidak perlu rebutan kewenangan, karena tujuan keberadaan civil servant adalah melakukan tugas sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh negara. Namun karena kewenangan atau kekuasaan sering dijadikan sebagai sarana untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan (abuse of power), maka ada kecenderungan untuk selalu meminta kekuasaan yang lebih melalui suatu UU.
BAB III
PENUTUP
Politik hukum ialah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. Melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional.
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum di Indonesia, Makalah Slide 2005, Disampaikan Pada Mata Kuliah Hukum dan Pembangunan di FH UII, 15 Januari 2012.
Laporan Simposium, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Semarang, 1980.
A. Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, Nw Haven and London, 1969.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge&Kegan Paul, London, 1965.
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan), dalam Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1994
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Mudzakkir, Sistem Pengancaman Pidana Dalam Hukum Pidana, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993.
Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.
Panggabean, Tanggapan Atas Ruu Tentang Sistem Peradilan Anak, Disampaikan Dalam Acara Sosialisasi RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Medan, Tanggal 18 Juni 2010.
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Dalam Seri Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbitan Tak Berkala No. 1, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997.
Sahetapy, Hukum Dalam Konteks Politik dan Budaya, Dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari), XXII), No. 1, 1993.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983.
Teguh Prasetyo&Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban Perbuatan Pemerintah (bestuurshandeling): Suatu Kajian dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, (Jurnal Magister Hukum UMS “Jurisprudence”, Vo. 2 Thn. 2004.
B. Data Elektronik
“Politik Hukum Pidana Dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, http://pa-tilamuta.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:politik-hukum-pidana-dalam-perspektif-penegakan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia&catid=39:artikel&Itemid=60, 21 Januari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar