BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban dan kedamaian bagi kehidupan mereka. Adat menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi. Kembali kepada tradisi yang disebut juga tradisionalisme kemudian menjadi pengganti dari sentralisme, yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.
Dapat dinyatakan bahwa, politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal, dimana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, kawitan, komunitas dan lokalitas. Pada wujudnya yang lain, adat mempertegas ekslusivitasnya dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis yang akhirnya menimbulkan konflik-konflik horizontal yang mengerikan. Sejumlah konflik etnis menunjukkan bahwa adat dapat digunakan sebagai alat etnopolitis yang turut berkontribusi pada kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit, Poso, Maluku Utara, ataupun di Bali.
Bentrok massal antar warga desa adat di Bali hingga kini masih sering kali muncul ke permukaan, bahkan sampai merenggut korban jiwa, meskipun awalnya konflik itu hanya dipicu masalah sepele. Konflik adat selama tahun 2011 terjadi di sejumlah tempat di Bali, antara lain melibatkan ratusan warga Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, menyerang warga Banjar Kawan di Kota Bangli, 45 kilometer timur Denpasar.
Ketenangan Bali sebagai pulau yang dikenal penuh kedamaian, tiba-tiba terusik ketika 17 September 2011, bentrokan massa "meletus" melibatkan warga Kemoning dan Budaga di Kabupaten Klungkung. Tiba-tiba ratusan warga saling menyerang dengan membawa berbagai jenis senjata tajam. Polisi yang mengamankan kejadian tersebut pun harus menembakkan peluru karet guna mengendalikan keadaan. Bahkan satu warga tewas dalam kejadian konflik yang dikatakan bernuansa adat itu.
Beberapa hari berselang setelah peristiwa Kemoning-Budaga, di Desa Pangkung Karung, Kabupaten Tabanan juga terjadi penghadangan terhadap penguburan jenazah salah satu warga. Kelompok masyarakat di desa itu bahkan melarang pihak keluarga untuk membawa ke luar jenazah menuju rumah sakit. Beruntung pihak kepolisian, pemkab setempat dan tokoh-tokoh masyarakat berhasil sedikit menenangkan suasana sehingga jenazah akhirnya dapat dikremasi di sebuah krematorium milik warga Pasek di Denpasar. Latar belakang permasalahan ditengarai karena persoalan keinginan pemekaran desa adat (desa pakraman). Di Kabupaten Bangli, juga sempat terjadi perseteruan adat yang melibatkan warga Desa Songan dengan Banjar Kawan. Pemicu bentrok karena perkelahian melibatkan salah seorang warga dari dua kawasan tersebut. Pada 2011, masih ada beberapa kasus bernuansa adat lainnya mulai dari masalah tapal batas hingga sengketa pura yang dapat dikatakan sedikit memberi noda bagi Pulau Bali yang terkenal dengan kedamaiannya.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai benturan antara realitas dan dinamika masyarakat dengan hukum yang berlaku. Mempertahankan hukum, berarti mengambil risiko menghentikan dinamika masyarakat; sementara mengikuti realitas dan dinamika, berarti melawan status quo yang ingin dipertahankan oleh kepastian hukum.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang penegakan hukum terhadap konflik adat masyarakat bali dari perspektif sosiologi hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penegakan hukum terhadap konflik adat masyarakat bali dari perspektif sosiologi hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat.
Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbul keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan. Sementara berbagai konflik yang muncul pada komunitas lainnya, dianggap biasa dan tidak perlu dihiraukan. Konflik adat yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat dan norma agama. Kejadian ini menyebabkan keseimbangan dalam suatu komunitas adat terganggu. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat Bali dan norma agama Hindu, sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan alam nyata (sekala) dan alam gaib (niskala).
Masyarakat Bali menilai komunitas adat dianggap sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat. Konflik ini diyakini bisa mengganggu alam sekala dan niskala. Maka penyelesaiannya juga lewat jalan sekala dan niskala. Cara yang paling murah menyelesaikan konflik adat yakni menyelesaikan sendiri konflik tersebut .
Konsep antropologis memberikan tawaran dengan membagi sebuah proses perselisihan menjadi empat tahap. Potensi konflik, prakonflik, konflik dan sengketa. Potensi konflik tampak ketika suatu masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang keberadaannya semakin menegas. Prakonflik sebagai tahapan berikutnya akan tampak apabila salah satu pihak kelompok dimaksud dalam praktik hubungan sosialnya merasa dirugikan oleh kelompok lain. Konflik adalah suatu keadaan yang menunjukkan bahwa seseorang atau sekelompok orang merasa tidak adil. Perasaan tidak adil tersebut digunakannya sebagai latar belakang munculnya kemarahan atau kedendamannya sedemikian rupa sehingga mereka mengeluh. Keluhan yang belum ditanggapi oleh pihak lain ini disebut tahap konflik monadic dan apabila keluhan tersebut telah ditanggapi oleh pihak lain, maka konflik sampai pada tahap dyadic. Sedang jika peningkatan konflik menjadi pengetahuan umum yang pihak ketiga, baik perorangan maupun kelompok telah terlibat secara aktif ke dalam ketidakadilan atau ketidaksesuaian disebut sengketa, tahapan ini disebut triadic. Pada tahap ini pihak ketiga terlibat karena prakarsa oleh salah satu atau kedua belah pihak utama atau pendukungnya atau atas permintaan pihak ketiga itu sendiri.
Pendekatan antropologi layak dipinjam untuk dapat menangkap suatu nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini mengingat pendekatan tersebut merekomendasikan penggali nilai hukum hidup dalam masyarakat setempat yang kasus hukum konkret tersebut terjadi untuk beberapa waktu lamanya.
Kehadiran hukum yang secara agresif mengintervensi kehidupan (alami) masyarakat, kekuatan tersebut akhirnya harus tenggelam, dari sesuatu yang semula ada dan bekerja efektif (manifest) berubah menjadi kekuatan yang tenggelam (latent). Cukup banyak pusat-pusat kekuatan dalam masyarakat yang tidak bisa diambil alih oleh hukum, sekalipun hukum itu didukung oleh kewenangan, fasilitas dan pembiayaan. Kekuatan dan dinamika masyarakat tersebut tetap bergerak kendati mengalami peminggiran oleh hukum. Peminggiran ini dilakukan dalam bentuk monopoli kekuasaan, seperti perpolisian menjadi polisi negara, forum pengadilan menjadi pengadilan negeri, pendidikan menjadi sekolah-sekolah formal, pelayanan publik oleh pegawai negeri, perekonomian diatur oleh negara dan seterusnya.
Hukum tidak bisa meminggirkan secara total bentuk-bentuk tatanan atau penataan sosial di seluruh wilayah negeri ini. Kehadiran hukum modern yang sebagai tipe khas (distinct type), kemudian diadopsi oleh hukum nasional adalah relatif baru, jauh sesudah kehadiran tatanan asli Indonesia yang sudah bekerja sejak ratusan tahun sebelumnya.
Negara Republik Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945 tidak mulai dengan lembaran tatanan ketertiban yang kosong dan harus diisi oleh negara baru tersebut. Sejak kelahirannya, Negara Republik Indonesia sudah diikat oleh suatu sistem ketertiban, baik berupa hukum Hindia-Belanda, maupun banyak bentuk-bentuk tatanan lokal yang biasa disebut hukum adat. Dengan demikian, hukum nasional didirikan di atas puing-puing ketertiban atau tatanan (asli) yang selama itu telah menunjukkan jasa dan karyanya yang mampu bekerja efektif selama ratusan tahun. Kehidupan pada aras lokal itu tidak bisa berhenti dengan kelahiran negara baru pada tahun 1945 itu, melainkan tetap bertahan, kendatipun harus tenggelam di bawah permukaan. Keberadaan komunitas lokal dengan sekalian aktivitasnya akan muncul ke permukaan pada saat negara mengalami kemunduran.
Hukum sebagai beban bagi masyarakat lokal akan sangat terasa, apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh perubahan sosial yang besar, seperti industrialisasi dan penetrasi kehidupan modern.
Hukum adat memiliki struktur yang sangat berbeda dengan hukum nasional yang nota bene adalah tipe hukum modern. Hukum nasional ini memiliki sekalian kelengkapan untuk bisa dijalankan secara efektif, mulai dari teks tertulis, aparat penegak hukum, dukungan finansial dan kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh negeri dan dipaksakan keberlakuannya. Rakyat harus mematuhi hukum nasional tersebut. Bahkan politik hukum masih menempatkan hukum adat di bawah hukum nasional, oleh karena keberlakuannya didasarkan pada legitimasi atau pengakuan keberadaannya oleh hukum nasional.
Dalam konteks pembangunan nasional diperlukan undang-undang hak ulayat yang mengatur lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak yang dipersamakan dengan badan hukum adat. Sebaliknya, juga perlu dilakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang tidak jelas kepemilikannya agat tidak menjadi tanah terlantar sehingga menyulitkan investasi masuk. Menurut Permenneg/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 baru mengakomodasi tanah-tanah yang sudah dilepas oleh masyarakat hukum adat dapat dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum untuk didaftar, sedangkan bagi tanah ulayat yang masih dikuasai oleh masyarakat hukum adat belum ada aturannya yang jelas. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah pusat untuk menerbitkan peraturan/undang-undang tanah ulayat dan mengenai status lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak.
Apabila politik hukum yang menjadikan hukum adat sebagai landasan hukum nasional ingin dijalankan dengan sungguh-sungguh maka hukum negara harus turut menjaga kelestarian hukum adat. Apa yang terjadi adalah berseberangan dengan hal tersebut, karena hukum adat malah dibunuh secara perlahan-lahan. Pembunuhan tersebut terjadi karena negara membiarkan hukum adat bersaing dengan hukum nasional atau hukum negara yang penuh dengan kekuatan jauh di atas hukum adat. Mengetahui kelemahan hukum adat berhadapan dengan hukum nasional, maka negara dan pemerintah semestinya cepat-cepat mengeluarkan peraturan yang menjaga agar hukum adat tetap ada.
Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan, bahwa aktivitas dan dinamika di bawah dominasi negara itu tidak pernah bisa diam atau berhenti melainkan tetap bekerja. Dengan demikian bukan hanya negara yang sibuk mengurus bangsanya, melainkan secara otonom masyarakat itu juga sibuk mengatur dirinya sendiri, kendatipun tidak memiliki surat ijin resmi.
Tampaknya kehidupan masyarakat, rakyat, manusia, itu perlu terus mengalir dan dibiarkan mengalir. Tindakan, langkah, kebijaksanaan, yang akan menyebabkan aliran kehidupan itu berhenti adalah sungguh bertentangan dengan kemanusiaan. Negara dan hukum menyimpan potensi untuk menghambat aliran kehidupan itu dan oleh karena itu negara perlu bertindak hati-hati .
Hukum itu tentu hanya bisa berlaku apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka. Maka komunikasi hukum melakukan masalah besar tersendiri, sebelum hukum itu dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat setempat, sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh hukum.
Gustav Radbruch berpendapat, bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu: kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kendatipun ketiganya mendasari kehidupan hukum, tetapi tidak berarti, bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan dan hubungan yang harmonis. Ketiganya lebih sering berada dalam suasana hubungan yang tegang satu sama lain.
Sampford mengatakan kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya. Orang ingin melihat bahwa kepastian hukum itu ada, sehingga sesungguhnya ia lebih merupakan suatu imajinasi daripada kenyataan.
Kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian. Merupakan beban berlebihan yang diletakkan di pundak hukum. Lebih dari pada itu, pemahaman dan keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi ideologi dalam hukum.
Kepastian hukum tidak otomatis lahir dari suatu produk legislasi. Peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian hukum, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan perilaku. Kepastian itu menjadi ada karena orang menghendaki bahwa ia ada.
Hubungan antara hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.
Kepastian hukum bergandengan erat dengan keinginan mempertahankan situasi yang ada atau status quo. Situasi ini menghendaki agar semua terpaku pada tempat atau kotak masing-masing, tanpa hampir sama sekali memberi kelonggaran untuk keluar dari kotak-kotak tersebut.
Karl Renner mengatakan, bahwa sekarang perubahan hukum tidak dapat hanya dikaitkan pada perubahan peraturan atau teks formal. Perubahan hukum dapat terjadi pada saat substansi yang diaturnya mengalami perubahan dan hukum berusaha untuk mengakomodasikannya. Secara tegas memasukkan kemanfaatan sosial sebagai faktor yang turut mengubah hukum dan dengan demikian meninggalkan peran kepastian hukum. Apabila hukum memang tidak berubah dan diubah, kendati substansi sudah mengalami perubahan maka faktor kemanfaatan sosial mengambil alih peranan legislasi.
Kesulitan hakim sebagai salah satu penegak hukum dalam menjatuhkan putusan dimaksud adalah mempertemukan tiga asas berikut, asas kepastian hukum sebagaimana telah diurai diatas, keadilan juga asas kemanfaatan. Hanya saja dalam pelaksanaan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Penggalian hukum harus dilakukan oleh hakim dengan landasan Pasal 27 UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman sebagaimana diperbaiki oleh Pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Secara normatif, penggalian nilai hukum adat dimulai dari pemahaman yang merujuk pada Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”. Prinsip ini dikenal dengan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum). Jadi, hakim niscaya meninggalkan perkara yang diajukan kepadanya, sekalipun hakim dimaksud betul-betul belum tahu hukum preskriptifnya atau hukum yang akan diterapkan belum ada ataupun kasus hukum konkret dimaksud belum diatur dalam undang-undang. Dalam konteks demikian, prinsip bagi hakim mengadili perkara-perkara hukum konkret dimaksud mencakup tiga pendekatan, sebagai berikut:
1. Pendekatan legalistik (Formal)
Model yang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus hukum konkret yang hukum (baca: undang-undang) nya telah mengatur secara jelas sehingga hakim mencari, memilah, dan memilih unsur-unsur hukum dalam kasus hukum konkret dimaksud dan kemudian dipertemukan dengan pasal-pasal relevan dalam undang-undang dimaksud. Kepastian hukum ini diharapkan dapat menyelesaikan kasus hukum konkret secara tegas dengan tujuan melindungi terhadap tindakan sewenang-wenang. Sebuah asas yang mendorong hukum harus dilaksanakan ialah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
2. Pendekatan Interpretatif
Hakim harus menemukan hukumnya dengan cara menginterpretasikan hukum atau undang-undang yang masih samar-samar dimaksud melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam kajian ilmu hukum. Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
3. Pendekatan Antropologis
Terhadap kasus hukum konkret yang belum diatur undang-undang maka hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti dan menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Teknik yang sesuai menggali dikenal dalam antropologi hukum , yaitu bukan saja melakukan dept interview terhadap saksi-saksi kunci, tokoh-tokoh adat masyarakat yang kasus hukum konkret dimaksud terjadi, tetapi juga amat dianjurkan hidup bersama beberapa bulan di tengah-tengah masyarakat dimaksud dengan tujuan mampu menggali, menghayati dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat setempat.
Dalam kehidupan masyarakat selalu ada perselisihan, konflik, sengketa dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar tatanan susila, tatanan sosial dan tatanan sejenis lainnya. Bahkan perbuatan sejenis lainnya yang dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Kualitas perselisihan hampir selalu menyesuaikan perkembangan masyarakat itu sendiri, sebuah perkembangan yang dapat digolongkan ke dalam tiga tahapan: pertama, tahapan masyarakat sederhana; kedua, masyarakat kompleks dan ketiga masyarakat multi kompleks. Namun pengelolaan persoalan perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat satu dengan yang lain berbeda tingkat dan corak cara penyelesaiannya.
Meskipun infrastruktur ditingkatkan, bahkan suprastruktur, seperti lembaga ekstra yuridisial diterbitkan, persoalan-persoalan hukum pun tetap bermunculan. Dalam kasus sengketa yang diselesaikan melalui peradilan formal, ternyata perkara semakin hari semakin menumpuk di atas meja pengadilan, penyelesaiannya pun membutuhkan waktu lama, birokrasi berkepanjangan dan sebagian keputusan akhir tidak memuaskan banyak pihak. Dalam proses peradilan formal umumnya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah; pertama, proses peradilan berlangsung atas dasar permusuhan atau pertikaian antar pihak yang bersengketa mengingat pihak satu diposisikan secara berseberangan dengan pihak lain. Proses peradilan demikian tentu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan antara pihak satu dan yang lain secara tersubordinasi, yang pihak satu sebagai pemenang dan sebaliknya pihak lain sebagai pihak yang kalah; kedua, proses peradilan berjalan atas dasar rel hukum formal, statis, kaku dan baku, sehingga menyebabkan persoalan inti menjadi terabaikan atau setidak-tidaknya tertunda akibat melarutkan diri dalam persoalan prosedural formal; ketiga, proses peradilan sering tidak mampu menangkap niali-nilai sosial budaya yang muncul dalam kasus sengketa akibat para hakim merujuk pada aturan-aturan formal baku; keempat, proses peradilan berjenjang-jenjang dari institusi pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan kasasi.
Sebagai alternatifnya penyelesaian konflik atau sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung untuk mengatur proses dan menemukan keputusannya sendiri dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini merupakan penyelesaian perselisihan yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal. Penyelesaian demikian ini dapat ditemukan dalam masyarakat guyub (gemeinschaft) serta belum mempunyai peradilan negara yang merata dan melembaga dan masyarakat gessellschaft, potensi lokal banyak digunakan karena dipandang efisien, cukup memuaskan pihak-pihak yang berselisih. Para pihak umumnya merasa puas terhadap keputusan yang dihasilkan dengan cara ini karena perselisihan tidak menjadi konflik terbuka. Dalam hal ini para pihak disarankan untuk lebih menekankan pada musyawarah, konsensus menuju keharmonisan sedemikian rupa sehingga cara-cara demikian dapat mempersingkat durasi waktu, menekan jumlah biaya, serta dapat langsung dilaksanakan. Latar belakang ini mungkin untuk mendasari banyak orang mengharapkan agar pihak-pihak yang sedang berselisih menyelesaikan sengketa kembali ke jalur budaya masyarakat setempat.
Dikemukakan teori hukum normatif dari Roscoe Pound yang menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Teori ini muncul berdasarkan atas asumsi bahwa hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat sangat peka akan datangnya kontrol sosial. Sudah tentu yang dimaksud manusia ini adalah orang yang menggunakan perangkat hukum formal sebagai alat untuk mengontrol.
Pendekatan sosiologis dari teori Cochrane bahwa yang mengontrol hubungan-hubungan sosial dimaksud adalah masyarakat sendiri. Artinya, bahwa pada dasarnya masyarakat itu sendiri aktif menemukan, memilih dan menentukan hukum sendiri.
Franz von Benda-Beckmann bahwa hukum merupakan suatu konsep yang mencakup aturan-aturan rumit yang terdiri atas konsepsi-konsepsi normatif atau kognitif, dasar-dasar tindakan, aturan-aturan, serta prinsip-prinsip dasar yang ada pada setiap masyarakat. Oleh karena itu tindakan individu atau kelompok yang terlibat dalam suatu sengketa menjadi penting jikalau dalam penulisan masalah penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal ini digunakan model studi kasus, yaitu mempelajari suatu kasus konflik atau sengketa yang terjadi secara nyata dalam masyarakat dan diselesaikan di luar forum pengadilan. Penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dimaksud biasa dilakukan dengan cara negoisasi, mediasi dan arbitrasi. Negoisasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang menekankan suatu komunikasi verbal yang pihak-pihak terlibat suatu sengketa menyelesaikan sendiri tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menekankan suatu komunikasi verbal antara pihak-pihak yang terlibat sengketa dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral dan tidak mempunyai kewenangan memutuskan. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa yang menekankan komunikasi antar pihak yang terlibat suatu sengketa dengan kehadiran pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan.
Apabila substansi penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal adalah upaya konkret para pihak yang berselisih untuk menemukan hukumnya sendiri, maka upaya penyelesaian perselisihan tersebut telah lama dikenal bangsa Indonesia, bahkan upaya tersebut telah melembaga kedalam apa yang disebut peradilan desa (doorpsjustice). Namun, penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal pada peradilan desa tersebut pada asasnya menjalankan pendidikan hukum yang didasarkan kepada suatu prinsip bahwa hukum diciptakan tidak untuk dilanggar tetapi untuk dihormati dan ditaati agar tercapai perdamaian. Pada saat itu, orang yang melanggar hukum dipandang sebagai melanggar ketertiban umum. Peradilan desa sebagai pengadilan ketertiban yang diselenggarakan bukan untuk membalas dendam atau membalas kesalahan, melainkan untuk membangun perdamaian.
Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal di atas menunjukkan bahwa jika terjadi sengketa di antara anggota masyarakat, mereka cenderung menyerahkan kepada pihak adat untuk menyelesaikan berdasarkan hukum adat secara kekeluargaan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa berdasrakan potensi lokal di luar pengadilan formal telah lama ada dan hingga kini masih hidup dalam masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
PEMBAHASAN
Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat.
Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbul keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan. Sementara berbagai konflik yang muncul pada komunitas lainnya, dianggap biasa dan tidak perlu dihiraukan. Konflik adat yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat dan norma agama. Kejadian ini menyebabkan keseimbangan dalam suatu komunitas adat terganggu. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat Bali dan norma agama Hindu, sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan alam nyata (sekala) dan alam gaib (niskala).
Masyarakat Bali menilai komunitas adat dianggap sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat. Konflik ini diyakini bisa mengganggu alam sekala dan niskala. Maka penyelesaiannya juga lewat jalan sekala dan niskala. Cara yang paling murah menyelesaikan konflik adat yakni menyelesaikan sendiri konflik tersebut .
Konsep antropologis memberikan tawaran dengan membagi sebuah proses perselisihan menjadi empat tahap. Potensi konflik, prakonflik, konflik dan sengketa. Potensi konflik tampak ketika suatu masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang keberadaannya semakin menegas. Prakonflik sebagai tahapan berikutnya akan tampak apabila salah satu pihak kelompok dimaksud dalam praktik hubungan sosialnya merasa dirugikan oleh kelompok lain. Konflik adalah suatu keadaan yang menunjukkan bahwa seseorang atau sekelompok orang merasa tidak adil. Perasaan tidak adil tersebut digunakannya sebagai latar belakang munculnya kemarahan atau kedendamannya sedemikian rupa sehingga mereka mengeluh. Keluhan yang belum ditanggapi oleh pihak lain ini disebut tahap konflik monadic dan apabila keluhan tersebut telah ditanggapi oleh pihak lain, maka konflik sampai pada tahap dyadic. Sedang jika peningkatan konflik menjadi pengetahuan umum yang pihak ketiga, baik perorangan maupun kelompok telah terlibat secara aktif ke dalam ketidakadilan atau ketidaksesuaian disebut sengketa, tahapan ini disebut triadic. Pada tahap ini pihak ketiga terlibat karena prakarsa oleh salah satu atau kedua belah pihak utama atau pendukungnya atau atas permintaan pihak ketiga itu sendiri.
Pendekatan antropologi layak dipinjam untuk dapat menangkap suatu nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini mengingat pendekatan tersebut merekomendasikan penggali nilai hukum hidup dalam masyarakat setempat yang kasus hukum konkret tersebut terjadi untuk beberapa waktu lamanya.
Kehadiran hukum yang secara agresif mengintervensi kehidupan (alami) masyarakat, kekuatan tersebut akhirnya harus tenggelam, dari sesuatu yang semula ada dan bekerja efektif (manifest) berubah menjadi kekuatan yang tenggelam (latent). Cukup banyak pusat-pusat kekuatan dalam masyarakat yang tidak bisa diambil alih oleh hukum, sekalipun hukum itu didukung oleh kewenangan, fasilitas dan pembiayaan. Kekuatan dan dinamika masyarakat tersebut tetap bergerak kendati mengalami peminggiran oleh hukum. Peminggiran ini dilakukan dalam bentuk monopoli kekuasaan, seperti perpolisian menjadi polisi negara, forum pengadilan menjadi pengadilan negeri, pendidikan menjadi sekolah-sekolah formal, pelayanan publik oleh pegawai negeri, perekonomian diatur oleh negara dan seterusnya.
Hukum tidak bisa meminggirkan secara total bentuk-bentuk tatanan atau penataan sosial di seluruh wilayah negeri ini. Kehadiran hukum modern yang sebagai tipe khas (distinct type), kemudian diadopsi oleh hukum nasional adalah relatif baru, jauh sesudah kehadiran tatanan asli Indonesia yang sudah bekerja sejak ratusan tahun sebelumnya.
Negara Republik Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945 tidak mulai dengan lembaran tatanan ketertiban yang kosong dan harus diisi oleh negara baru tersebut. Sejak kelahirannya, Negara Republik Indonesia sudah diikat oleh suatu sistem ketertiban, baik berupa hukum Hindia-Belanda, maupun banyak bentuk-bentuk tatanan lokal yang biasa disebut hukum adat. Dengan demikian, hukum nasional didirikan di atas puing-puing ketertiban atau tatanan (asli) yang selama itu telah menunjukkan jasa dan karyanya yang mampu bekerja efektif selama ratusan tahun. Kehidupan pada aras lokal itu tidak bisa berhenti dengan kelahiran negara baru pada tahun 1945 itu, melainkan tetap bertahan, kendatipun harus tenggelam di bawah permukaan. Keberadaan komunitas lokal dengan sekalian aktivitasnya akan muncul ke permukaan pada saat negara mengalami kemunduran.
Hukum sebagai beban bagi masyarakat lokal akan sangat terasa, apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh perubahan sosial yang besar, seperti industrialisasi dan penetrasi kehidupan modern.
Hukum adat memiliki struktur yang sangat berbeda dengan hukum nasional yang nota bene adalah tipe hukum modern. Hukum nasional ini memiliki sekalian kelengkapan untuk bisa dijalankan secara efektif, mulai dari teks tertulis, aparat penegak hukum, dukungan finansial dan kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh negeri dan dipaksakan keberlakuannya. Rakyat harus mematuhi hukum nasional tersebut. Bahkan politik hukum masih menempatkan hukum adat di bawah hukum nasional, oleh karena keberlakuannya didasarkan pada legitimasi atau pengakuan keberadaannya oleh hukum nasional.
Dalam konteks pembangunan nasional diperlukan undang-undang hak ulayat yang mengatur lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak yang dipersamakan dengan badan hukum adat. Sebaliknya, juga perlu dilakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang tidak jelas kepemilikannya agat tidak menjadi tanah terlantar sehingga menyulitkan investasi masuk. Menurut Permenneg/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 baru mengakomodasi tanah-tanah yang sudah dilepas oleh masyarakat hukum adat dapat dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum untuk didaftar, sedangkan bagi tanah ulayat yang masih dikuasai oleh masyarakat hukum adat belum ada aturannya yang jelas. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah pusat untuk menerbitkan peraturan/undang-undang tanah ulayat dan mengenai status lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak.
Apabila politik hukum yang menjadikan hukum adat sebagai landasan hukum nasional ingin dijalankan dengan sungguh-sungguh maka hukum negara harus turut menjaga kelestarian hukum adat. Apa yang terjadi adalah berseberangan dengan hal tersebut, karena hukum adat malah dibunuh secara perlahan-lahan. Pembunuhan tersebut terjadi karena negara membiarkan hukum adat bersaing dengan hukum nasional atau hukum negara yang penuh dengan kekuatan jauh di atas hukum adat. Mengetahui kelemahan hukum adat berhadapan dengan hukum nasional, maka negara dan pemerintah semestinya cepat-cepat mengeluarkan peraturan yang menjaga agar hukum adat tetap ada.
Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan, bahwa aktivitas dan dinamika di bawah dominasi negara itu tidak pernah bisa diam atau berhenti melainkan tetap bekerja. Dengan demikian bukan hanya negara yang sibuk mengurus bangsanya, melainkan secara otonom masyarakat itu juga sibuk mengatur dirinya sendiri, kendatipun tidak memiliki surat ijin resmi.
Tampaknya kehidupan masyarakat, rakyat, manusia, itu perlu terus mengalir dan dibiarkan mengalir. Tindakan, langkah, kebijaksanaan, yang akan menyebabkan aliran kehidupan itu berhenti adalah sungguh bertentangan dengan kemanusiaan. Negara dan hukum menyimpan potensi untuk menghambat aliran kehidupan itu dan oleh karena itu negara perlu bertindak hati-hati .
Hukum itu tentu hanya bisa berlaku apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka. Maka komunikasi hukum melakukan masalah besar tersendiri, sebelum hukum itu dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat setempat, sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh hukum.
Gustav Radbruch berpendapat, bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu: kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kendatipun ketiganya mendasari kehidupan hukum, tetapi tidak berarti, bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan dan hubungan yang harmonis. Ketiganya lebih sering berada dalam suasana hubungan yang tegang satu sama lain.
Sampford mengatakan kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya. Orang ingin melihat bahwa kepastian hukum itu ada, sehingga sesungguhnya ia lebih merupakan suatu imajinasi daripada kenyataan.
Kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian. Merupakan beban berlebihan yang diletakkan di pundak hukum. Lebih dari pada itu, pemahaman dan keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi ideologi dalam hukum.
Kepastian hukum tidak otomatis lahir dari suatu produk legislasi. Peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian hukum, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan perilaku. Kepastian itu menjadi ada karena orang menghendaki bahwa ia ada.
Hubungan antara hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.
Kepastian hukum bergandengan erat dengan keinginan mempertahankan situasi yang ada atau status quo. Situasi ini menghendaki agar semua terpaku pada tempat atau kotak masing-masing, tanpa hampir sama sekali memberi kelonggaran untuk keluar dari kotak-kotak tersebut.
Karl Renner mengatakan, bahwa sekarang perubahan hukum tidak dapat hanya dikaitkan pada perubahan peraturan atau teks formal. Perubahan hukum dapat terjadi pada saat substansi yang diaturnya mengalami perubahan dan hukum berusaha untuk mengakomodasikannya. Secara tegas memasukkan kemanfaatan sosial sebagai faktor yang turut mengubah hukum dan dengan demikian meninggalkan peran kepastian hukum. Apabila hukum memang tidak berubah dan diubah, kendati substansi sudah mengalami perubahan maka faktor kemanfaatan sosial mengambil alih peranan legislasi.
Kesulitan hakim sebagai salah satu penegak hukum dalam menjatuhkan putusan dimaksud adalah mempertemukan tiga asas berikut, asas kepastian hukum sebagaimana telah diurai diatas, keadilan juga asas kemanfaatan. Hanya saja dalam pelaksanaan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Penggalian hukum harus dilakukan oleh hakim dengan landasan Pasal 27 UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman sebagaimana diperbaiki oleh Pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Secara normatif, penggalian nilai hukum adat dimulai dari pemahaman yang merujuk pada Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”. Prinsip ini dikenal dengan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum). Jadi, hakim niscaya meninggalkan perkara yang diajukan kepadanya, sekalipun hakim dimaksud betul-betul belum tahu hukum preskriptifnya atau hukum yang akan diterapkan belum ada ataupun kasus hukum konkret dimaksud belum diatur dalam undang-undang. Dalam konteks demikian, prinsip bagi hakim mengadili perkara-perkara hukum konkret dimaksud mencakup tiga pendekatan, sebagai berikut:
1. Pendekatan legalistik (Formal)
Model yang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus hukum konkret yang hukum (baca: undang-undang) nya telah mengatur secara jelas sehingga hakim mencari, memilah, dan memilih unsur-unsur hukum dalam kasus hukum konkret dimaksud dan kemudian dipertemukan dengan pasal-pasal relevan dalam undang-undang dimaksud. Kepastian hukum ini diharapkan dapat menyelesaikan kasus hukum konkret secara tegas dengan tujuan melindungi terhadap tindakan sewenang-wenang. Sebuah asas yang mendorong hukum harus dilaksanakan ialah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
2. Pendekatan Interpretatif
Hakim harus menemukan hukumnya dengan cara menginterpretasikan hukum atau undang-undang yang masih samar-samar dimaksud melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam kajian ilmu hukum. Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
3. Pendekatan Antropologis
Terhadap kasus hukum konkret yang belum diatur undang-undang maka hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti dan menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Teknik yang sesuai menggali dikenal dalam antropologi hukum , yaitu bukan saja melakukan dept interview terhadap saksi-saksi kunci, tokoh-tokoh adat masyarakat yang kasus hukum konkret dimaksud terjadi, tetapi juga amat dianjurkan hidup bersama beberapa bulan di tengah-tengah masyarakat dimaksud dengan tujuan mampu menggali, menghayati dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat setempat.
Dalam kehidupan masyarakat selalu ada perselisihan, konflik, sengketa dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar tatanan susila, tatanan sosial dan tatanan sejenis lainnya. Bahkan perbuatan sejenis lainnya yang dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Kualitas perselisihan hampir selalu menyesuaikan perkembangan masyarakat itu sendiri, sebuah perkembangan yang dapat digolongkan ke dalam tiga tahapan: pertama, tahapan masyarakat sederhana; kedua, masyarakat kompleks dan ketiga masyarakat multi kompleks. Namun pengelolaan persoalan perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat satu dengan yang lain berbeda tingkat dan corak cara penyelesaiannya.
Meskipun infrastruktur ditingkatkan, bahkan suprastruktur, seperti lembaga ekstra yuridisial diterbitkan, persoalan-persoalan hukum pun tetap bermunculan. Dalam kasus sengketa yang diselesaikan melalui peradilan formal, ternyata perkara semakin hari semakin menumpuk di atas meja pengadilan, penyelesaiannya pun membutuhkan waktu lama, birokrasi berkepanjangan dan sebagian keputusan akhir tidak memuaskan banyak pihak. Dalam proses peradilan formal umumnya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah; pertama, proses peradilan berlangsung atas dasar permusuhan atau pertikaian antar pihak yang bersengketa mengingat pihak satu diposisikan secara berseberangan dengan pihak lain. Proses peradilan demikian tentu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan antara pihak satu dan yang lain secara tersubordinasi, yang pihak satu sebagai pemenang dan sebaliknya pihak lain sebagai pihak yang kalah; kedua, proses peradilan berjalan atas dasar rel hukum formal, statis, kaku dan baku, sehingga menyebabkan persoalan inti menjadi terabaikan atau setidak-tidaknya tertunda akibat melarutkan diri dalam persoalan prosedural formal; ketiga, proses peradilan sering tidak mampu menangkap niali-nilai sosial budaya yang muncul dalam kasus sengketa akibat para hakim merujuk pada aturan-aturan formal baku; keempat, proses peradilan berjenjang-jenjang dari institusi pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan kasasi.
Sebagai alternatifnya penyelesaian konflik atau sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung untuk mengatur proses dan menemukan keputusannya sendiri dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini merupakan penyelesaian perselisihan yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal. Penyelesaian demikian ini dapat ditemukan dalam masyarakat guyub (gemeinschaft) serta belum mempunyai peradilan negara yang merata dan melembaga dan masyarakat gessellschaft, potensi lokal banyak digunakan karena dipandang efisien, cukup memuaskan pihak-pihak yang berselisih. Para pihak umumnya merasa puas terhadap keputusan yang dihasilkan dengan cara ini karena perselisihan tidak menjadi konflik terbuka. Dalam hal ini para pihak disarankan untuk lebih menekankan pada musyawarah, konsensus menuju keharmonisan sedemikian rupa sehingga cara-cara demikian dapat mempersingkat durasi waktu, menekan jumlah biaya, serta dapat langsung dilaksanakan. Latar belakang ini mungkin untuk mendasari banyak orang mengharapkan agar pihak-pihak yang sedang berselisih menyelesaikan sengketa kembali ke jalur budaya masyarakat setempat.
Dikemukakan teori hukum normatif dari Roscoe Pound yang menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Teori ini muncul berdasarkan atas asumsi bahwa hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat sangat peka akan datangnya kontrol sosial. Sudah tentu yang dimaksud manusia ini adalah orang yang menggunakan perangkat hukum formal sebagai alat untuk mengontrol.
Pendekatan sosiologis dari teori Cochrane bahwa yang mengontrol hubungan-hubungan sosial dimaksud adalah masyarakat sendiri. Artinya, bahwa pada dasarnya masyarakat itu sendiri aktif menemukan, memilih dan menentukan hukum sendiri.
Franz von Benda-Beckmann bahwa hukum merupakan suatu konsep yang mencakup aturan-aturan rumit yang terdiri atas konsepsi-konsepsi normatif atau kognitif, dasar-dasar tindakan, aturan-aturan, serta prinsip-prinsip dasar yang ada pada setiap masyarakat. Oleh karena itu tindakan individu atau kelompok yang terlibat dalam suatu sengketa menjadi penting jikalau dalam penulisan masalah penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal ini digunakan model studi kasus, yaitu mempelajari suatu kasus konflik atau sengketa yang terjadi secara nyata dalam masyarakat dan diselesaikan di luar forum pengadilan. Penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dimaksud biasa dilakukan dengan cara negoisasi, mediasi dan arbitrasi. Negoisasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang menekankan suatu komunikasi verbal yang pihak-pihak terlibat suatu sengketa menyelesaikan sendiri tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menekankan suatu komunikasi verbal antara pihak-pihak yang terlibat sengketa dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral dan tidak mempunyai kewenangan memutuskan. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa yang menekankan komunikasi antar pihak yang terlibat suatu sengketa dengan kehadiran pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan.
Apabila substansi penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal adalah upaya konkret para pihak yang berselisih untuk menemukan hukumnya sendiri, maka upaya penyelesaian perselisihan tersebut telah lama dikenal bangsa Indonesia, bahkan upaya tersebut telah melembaga kedalam apa yang disebut peradilan desa (doorpsjustice). Namun, penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal pada peradilan desa tersebut pada asasnya menjalankan pendidikan hukum yang didasarkan kepada suatu prinsip bahwa hukum diciptakan tidak untuk dilanggar tetapi untuk dihormati dan ditaati agar tercapai perdamaian. Pada saat itu, orang yang melanggar hukum dipandang sebagai melanggar ketertiban umum. Peradilan desa sebagai pengadilan ketertiban yang diselenggarakan bukan untuk membalas dendam atau membalas kesalahan, melainkan untuk membangun perdamaian.
Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal di atas menunjukkan bahwa jika terjadi sengketa di antara anggota masyarakat, mereka cenderung menyerahkan kepada pihak adat untuk menyelesaikan berdasarkan hukum adat secara kekeluargaan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa berdasrakan potensi lokal di luar pengadilan formal telah lama ada dan hingga kini masih hidup dalam masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Dapat dinyatakan bahwa, politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal, dimana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, kawitan, komunitas dan lokalitas.
Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbul keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan.
Pendekatan antropologi layak dipinjam untuk dapat menangkap suatu nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kehadiran hukum yang secara agresif mengintervensi kehidupan (alami) masyarakat, kekuatan tersebut akhirnya harus tenggelam, dari sesuatu yang semula ada dan bekerja efektif (manifest) berubah menjadi kekuatan yang tenggelam (latent).
Dalam konteks pembangunan nasional diperlukan undang-undang hak ulayat yang mengatur lembaga-lembaga adat sebagai subjek hak yang dipersamakan dengan badan hukum adat. Disinilah hakim sebagai aparat penegak hukum memainkan perannya. Dimana Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Secara normatif, penggalian nilai hukum adat dimulai dari pemahaman yang merujuk pada Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”
Meskipun infrastruktur ditingkatkan, bahkan suprastruktur, seperti lembaga ekstra yuridisial diterbitkan, persoalan-persoalan hukum pun tetap bermunculan. Sebagai alternatifnya penyelesaian konflik atau sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung untuk mengatur proses dan menemukan keputusannya sendiri dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini merupakan penyelesaian perselisihan yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Mertokusumo, Sudikno&Plito. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993.
Nader dan Todd. The Disputing Process: Law in The Societies. New York: Colombia Press. 1978.
Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2007.
Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta: PT Grasindo. 2010.
B. Makalah
Policing dan Kamtibmas Dalam Rangka Pemeliharaan Kedamaian Pasca Konflik Di Indonesia. Disampaikan Dalam FGD ProPatria Institute Suistainable Peace in Post Conflict Indonesia. Di Hotel Ambhara. Jakarta. Tanggal 11 Maret 2009.
C. Surat Kabar
Suhadibroto. Menang Tanpo Ngasorake. Jakarta: Kompas. 1993.
D. Data Elektronik
http://beritabali.com/index.php/page/opini/detail/Konflik-Horizontal-dan-Adat-, Akses 22 Februari 2012.
http://oase.kompas.com/read/2011/12/15/19221098/Konflik.Adat.yang.Tak.Pernah.Tuntas, Akses 22 Februari 2012.
http://bali.antaranews.com/berita/17471/keterlenaan-masyarakat-bali-pengaruhi-konflik-adat, Akses 22 Februari 2012.
http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=1129, Akses 22 Februari 2012.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar