Kamis, 05 April 2012

POLITIK HUKUM FUNGSI LEGISLASI PARLEMEN PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Pembaharuan UUD 1945 dipandang sebagai suatu keharusan. Pandangan ini bukan saja karena dinamika sosial, politik dan ekonomi yang menuntut penyesuaian aturan dasar sebagai landasan yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Struktur UUD 1945 yang memberi dasar kuat pada kekuasaan eksekutif (executive heavy) kurangnya dasar checks and balances ditambah dengan materi muatan yang terlalu umum dan kurang lengkap.
Kekuasaan legislatif secara tidak tegas harus berada ditangan DPR. Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD lama dinyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Dan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD lama menyatakan bahwa “Anggota DPR berhak memajukan rancangan undang-undang”. Akan tetapi hanya bersifat tambahan. Dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 presiden diberi hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapkan dan memberlakukan PERPU selama 1 (satu) tahun tanpa memerlukan persetujuan DPR. Dari hal tersebut, terlihat bahwa kedudukan Presiden dalam bidang legislatif jauh lebih besar daripada DPR.
Untuk mencegah berulangnya kecenderungan otoritarian tersebut, maka UUD 1945 harus diperbaharui untuk lebih mengukuhkan dan menjamin pelaksanaan demokrasi dan negara hukum sebagai sarana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penyusunan naskah UUD 1945 yang diubah melalui mekanisme amandemen yang benar-benar dapat dijadikan landasan baru yang sistematis dan utuh dalam rangka mewujudkan hukum dasar yang menampung aspirasi ke arah sistem kenegaraan yang diidealkan di masa depan.
Dalam agenda penyusunan atau perubahan konstitusi dapat ditampung dasar-dasar konseptual mengenai dua agenda, yaitu: agenda pembaruan kelembagaan (structural reform) dan pembaruan sistem peraturan perundang-undangan (instrumental reform). Pokok pemikiran demikian inilah yang membuat jalan pikirian para anggota MPR untuk mengadakan perubahan UUD 1945 yang mempertegas kekuasaan legislatif parlemen.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimanakah politik hukum fungsi legislasi parlemen pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah politik hukum fungsi legislasi parlemen pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945?



BAB II
PEMBAHASAN

Struktur parlemen dikemukakan pada rapat  tanggal 11 Juli 1945 oleh Muhammad Yamin yang menjelaskan lebih lanjut pendapatnya yang dikemukakan pada tanggal 29 Mei 1945 dengan perubahan nama lembaga dan pada saat tersebut istilah MPR dan DPR pertama kali diutarakan oleh Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI.  Dari pendapat Yamin tersebut terlihat bahwa Yamin mengusulkan agar parlemen diberi nama MPR dan terdiri dari dua kamar, yang mewakili daerah dan rakyat secara keseluruhan.
Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD berkaitan dengan struktur dan fungsi legislasi parlemen dalam Rancangan UUD, yang dikemukakan sidang BPUPKI dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    MPR ialah penyelenggara negara yag tertinggi, yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, sehingga seluruh rakyat seluruh daerah dan seluruh golongan mempunyai wakil dalam MPR
2.    Struktur parlemen, adalah bahwa DPR berada di bawah MPR. MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, sedangkan DPR sebagai pembentuk UU bersama presiden
3.    MPR berwenang membuat dan mengubah UUD serta mengangkat presiden dan wakil presiden
4.    Presiden merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat dan bukan DPR
5.    Persetujuan DPR diperlukan dalam pembentukan UU
6.    DPR diminta persetujuannya dalam menetapkan APBN setiap tahun
7.    Tidak diatur dalam hal terjadi perselisihan dalam pembentukan UU, akan tetapi jika hal tersebut terjadi maka dianggap perlu Menteri akan mengajukan pengunduran dirinya sebagai menteri 
Pembahasan dalam Rapat Besar PPKI tanggal 18 Juli 1945 bahkan lebih memperjelas tentang struktur dan fungsi legislasi parlemen yang sudah dibahas oleh BPUPKI, yaitu : Dalam rapat BPUPKI sudah dijelaskan bahwa MPR adalah lembaga perwakilan rakyat. Dalam rapat PPKI terdapat dua pendapat tentang keanggotaan MPR dan DPR. Iwa Koesoema Soemantri berpendapat bahwa MPR dipilih oleh rakyat dan MPR mengangkat DPR, sedangkan Hatta berpendapat bahwa Dewan PerwakilanRakyat dipilih oleh rakyat. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu dengan sendirinya juga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Akan tetapi MPR yang dipilih oleh rakyat. 
MPR adalah perluasan dari pada DPR, maka ketua MPR adalah juga ketua DPR. Membuat jelas struktur parlemen menurut UUD 1945 adalah satu setengah kamar, selain pembahasan bahwa MPR setelah dipilih oleh rakyat lalu mengangkat DPR.
MPR adalah lembaga tertinggi sehingga jika ada perselisihan antara DPR dan Presiden, maka MPR yang memberikan pemecahan persoalan adalah MPR, dalam suatu sidang MPR. Sidang tersebut dapat dilakukan atas permintaan anggota-anggota MPR atau anggota-anggota DPR atau pun Presiden.
Menurut Harun Alrasid, secara institusional, organ-organ negara yang tercantum dalam UUD dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari organ-organ negara kolonial yang tercantum dalam IS (Indische Staatsregelling) dan MPR merupakan pengganti Raja Belanda.
Praktik ketatanegaraan UUD 1945 (sebelum perubahan) menunjukkan bahwa sistem satu setengah kamar yang sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945, hanya berlaku pada masa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Maksud dari pembentuk UUD 1945 berbeda pelaksanaannya dalam praktek ketatanegaraan pada saat berlakunya UUD 1945 sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam hal:
1.    MPR adalah wakil rakyat, sehingga seluruh anggota MPR harus dipilih secara langsung oleh rakyat
2.    MPR mengangkat DPR
3.    Pimpinan MPR juga adalah pimpinan DPR
Pimpinan MPR tidak sama dengan pimpinan DPR, karena di dalam pimpinan MPR terdapat unsur dari Utusan Daerah. Pada masa MPRS dan DPR-GR Orde Baru, bahkan terjadi satu kali perbedaan antara pimpinan MPRS dan DPR-GR akan tetapi parlemen setelah pemilihan umum kembali diatur bahwa pimpinan MPR merangkap pimpinan DPR.
UUD  1945 secara historis dinilai sebagai naskah UUD yang memang dimaksudkan bersifat sementara.  Agenda perubahan UUD 1945 diusahakan untuk menghindarkan penggunaan istilah penggantian UUD. Yang disepakati adalah perubahan bukan penggantian yang berkonotasi total.
Dalam hal melakukan perubahan UUD 1945, Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim mengemukakan enam alasan, yaitu filosofis, sosiologis, historis, yuridis, praktik ketatanegaraan dan materi UUD 1945.  Tidak jauh berbeda pendapat, A. Mukhtie Fadjar dalam pidato pengukuhan  Guru Besarnya “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik” mengemukakan lima alasan, yaitu historis, filosofis, teoritis, yuridis dan politis praktis.
Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD 1945. Secara hukum, kesementaraan itu dituangkan secara normatif dalam UUD 1945. Dalam Ayat (2) Aturan Tambahan UUD 1945 ditegaskan “dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Upaya ke arah itu sudah dilakukan oleh Konstituante pada 1956-1959, tidak jadi selesai karena Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan UUD 1945. Sejak peristiwa itu sampai dengan akhirnya kekuasaan Soeharto, tidak ada lagi upaya untuk mengubah UUD 1945. Padahal melalui Pasal 3 dan 37 UUD 1945, para pendiri negara telah menyediakan ruang untuk mengubah UUD 1945.
Kedua, alasan substantif. Perubahan UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis.  Mahfud mengemukakan bahwa paling tidak ada empat kelemahan elementer UUD 1945, yaitu: Pertama, tidak ada mekanisme checks and balances.  Kedua, terlalu banyak atribusi kewenangan kepada lembaga legislatif untuk membentuk undang-undang.  Ketiga, adanya pasal-pasal multitafsir. Keempat, terlalu percaya kepada semangat penyelenggaran negara.  Dalam praktik, kelemahan itu menjadi pintu masuk otoriterisme.  Secara substansi UUD 1945 sangat executive heavy dan minus checks and balances.
Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas) dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit tercapainya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah.  UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih banyak ke tingkat aturan yang lebih rendah berupa undang-undang.
Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang.  Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar memberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undang-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longgar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang.  Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru.  Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang-undang”.
Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi (konstitusionalisme).  Selain masalah substansi UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada sistem. Padahal semua teori konstitusi (constitutional theory) mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan dalam negara.  Secara substansi Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematika) dalam penyelenggaraan negara. Sejak dari awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kontra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945.  Namun problematika Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya yang tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945.
Ketiga, alasan filisofis. Bagir Manan mengemukakan , secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan. Pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat sempurna.
Keempat, alasan teoritis. Dalam praktik ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi  menampung perkembangan yang terjadi.  Biasanya untuk mengatasi situasi itu, konstitusi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan. Secara teori perubahan konstitusi merupakan kebutuhan praktik ketatanegaraan yang mengiringi perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan.  Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNIP menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Kemudian BP KNIP mengusulkan untuk mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer.
Keenam, alasan yuridis. Para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945.  Dalam hal ini, Pasal 37 UUD 1945 menyatakan, (1) untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Kedudukan MPR
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) mengemukakan bahwa MPR sebagai lembaga permusyawaratan bersama anggota-anggota DPR dengan anggota-anggota DPD. MPR bukan sebagai lembaga negara tertinggi, akan tetapi sebagai lembaga yang memegang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tertinggi di dalam organisasi negara.  Fraksi partai Golkar  pada sidang Panitia Ad Hoc BP MPR 1999 membahas tentang pemimpin dan DPR terkait sumpah yang diucapkan oleh calon presiden dimana diusulkan agar pimpinan DPR dan MPR terpisah dan pengucapan sumpah hanya di depan MPR karena akan dikonstruksikan  bahwa semua lembaga tinggi negara bertanggung jawab kepada lembaga tertinggi negara (MPR).  Akan tetapi pada sidang tahun 2000, sebagaimana fraksi lainnya. Maka Fraksi  PG (Partai Golkar) tidak menempatkan MPR  sebagai lembaga tertinggi negara dan MPR  terdiri dari DPR dan Dewan Utusan Daerah yang ini berubah menjadi DPD.
Dari beberapa kali sidang maka  terdapat perbedaan dalam  mengenai jumlah kamar dalam parlemen dimana jika kewenangan parlemen jika dianalisis dari seluruh fungsinya maka struktur parlemen terdiri dari tiga kamar, yaitu: DPR, DPD dan MPR. Sedangkan dalam parlemen  hanya dianalisis  dari kewenangan membentuk UU (fungsi legislatif dalam arti sempit)  maka struktur parlemen terdiri dari dua kamar, yaitu: DPR dan DPD. Akan tetapi, secara umum para fraksi dalam mengemukakan  pendapatnya mengemukakan  struktur kamar  dianalisis hanya dari fungsi legislasi (dalam arti sempit, yaitu pembentukan UU), sehingga  secara umum mengemukakan bahwa parlemen terdiri dari dua kamar.  Kecuali fraksi PDI-P dan PDU berpendapat bahwa  pembentukan DPD tidak menyebabkan parlemen  menjadi bikamanteral  karena DPD tidak  memiliki hak dan kewenangan seperti yang dimiliki DPR.
Dengan kehadiran DPD, menurut fraksi PG maka sistem perwakilan di parlemen adalah bikameral yang dipilih dengan dasar agar memberikan penggarisan dan jaminan lebih tegas terhadap adanya checks and balances agar kepentingan baik dari masyarakat luas maupun dari daerah-daerah dapat lebih representatif terwakili dalam pengambilan keputusan ditingkat kebijakan publik. Menolak jika penggunaan sistem bikameral dinyatakan tidak sesuai dengan pembukaan UUD 1945, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip musyawarah dan prinsip mufakat serta sistem bikameral hanya digunakan di negara federal.  Dengan adanya DPR dan DPD yang sejajar, maka sejalan dengan pemikiran bahwa parlemen nantinya merupakan bicameral houses .
Parlemen dalam UUD 1945 (sesudah perubahan) menggunakan sistem trikameral.  Parlemen terdiri dari tiga kamar, yaitu: DPR, DPD dan MPR dan hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ernawati Munir.  DPR, DPD dan MPR merupakan lembaga yang berdiri sendiri karena memenuhi kriteria sebagai sebuah kamar, yaitu mewakili pemilih dengan kategori tertentu, memiliki kewenangan sesuai dengan fungsi parlemen, memiliki anggota sendiri dan memiliki struktur kelembagaan tersendiri serta aturan-aturan sendiri tentang prosedur dalam lembaga tersebut.  Pembahasan tentang struktur dan fungsi legislasi parlemen dengan sistem trikameral menurut UUD 1945, dilakukan dengan terlebih dahulu membahas DPR, DPD dan terakhir adalah MPR. Karena MPR bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan bila dilihat dari kewenangan legislasi, maka dari ketiga kamar tersebut, DPR yang diatur dalam UUD 1945 sebagai lembaga yang memegang kekuasaan utama dalam pembentukan UU. Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945: “ DPR memegang kekuasaan membentuk UU”. Malah ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberi hak untuk mengajukan RUU kepada DPR.  Artinya pemegang utama kekuasaan legislatif untuk membentuk UU itu adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder.  Perubahan tersebut membawa implikasi yang berdampak terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang berdampak sangat prinsipil.
Struktur Parlemen
Dewan Perwakilan Rakyat
Kewenangan formal DPR yang diatur dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1.    Mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR
2.    Presiden dan/atau wakil presiden bersumpah dihadapan MPR atau DPR
3.    Memberikan persetujuan terhadap pernyataan perang dan pembuatan perdamaian serta perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh presiden
4.    Memberikan persetujuan terhadap perjanjian internasional tertentu yang dilakukan oleh presiden
5.    Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan duta dan penempatan duta negara lain
6.    Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi
7.    DPR memegang kekuasaan membentuk UU
8.    Membahas dan menyetujui UU bersama dengan presiden
9.    DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan serta hak interplasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat
10.    Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas
11.    Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU
12.    Memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UU
Dewan Perwakilan Daerah
1.    Dapat mengajukan kepada DPR RUU tertentu yang berkaitan dengan kepentingan daerah
2.    Ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan kepentingan daerah dan memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
3.    Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu yang berkaitan dengan kepentingan daerah, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR
4.    Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK
5.    Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK
Majelis Permusyawaratan Rakyat
1.    Mengubah dan menetapkan UUD
2.    Melantik presiden dan/atau wakil presiden
3.    Dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
4.    Presiden dan/atau wakil presiden bersumpah dihadapan MPR atau DPR
5.    Memilih wakil presiden dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden
6.    Memilih Presiden dan/atau wakil presiden jika keduanya mangkat, berhenti atau diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
Diantara akibat pergeseran tersebut antara lain:  semua jabatan pemerintahan dilihat sebagai jabatan pelaksana dan karenanya tidak dapat lagi diberikan wewenang untuk membuat sendiri peraturan perundang-undangan, format UU yang biasanya menggunakan “kepala Presiden Republik Indonesia...menetapkan..” harus disesuaikan menjadi “DPR-RI...menetapkan...”, kekuasaan kehakiman harus dilengkapi dengan wewenang untuk menguji materi UU terhadap UUD, keberadaan DPR dilengkapi dengan segala kelengkapannya yang diperlukan termasuk kebutuhan akan tenaga ahli ataupu badan-badan pengkajian dan perancangan perundang-undangan yang bersifat tetap.

 

BAB III
PENUTUP

UUD  1945 secara historis dinilai sebagai naskah UUD yang memang dimaksudkan bersifat sementara. Dalam hal melakukan perubahan UUD 1945, Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim mengemukakan enam alasan, yaitu filosofis, sosiologis, historis, yuridis, praktik ketatanegaraan dan materi UUD 1945. Tidak jauh berbeda pendapat, A. Mukhtie Fadjar dalam pidato pengukuhan  Guru Besarnya “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik” mengemukakan lima alasan, yaitu historis, filosofis, teoritis, yuridis dan politis praktis.
MPR adalah perluasan dari pada DPR, maka ketua MPR adalah juga ketua DPR. Membuat jelas struktur parlemen menurut UUD 1945 adalah satu setengah kamar, selain pembahasan bahwa MPR setelah dipilih oleh rakyat lalu mengangkat DPR.
Praktik ketatanegaraan UUD 1945 (sebelum perubahan) menunjukkan bahwa sistem satu setengah kamar yang sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945, hanya berlaku pada masa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP).
Parlemen dalam UUD 1945 (sesudah perubahan) menggunakan sistem trikameral. Pembahasan tentang struktur dan fungsi legislasi parlemen dengan sistem trikameral menurut UUD 1945, dilakukan dengan terlebih dahulu membahas DPR, DPD dan terakhir adalah MPR. Karena MPR bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan bila dilihat dari kewenangan legislasi, maka dari ketiga kamar tersebut, DPR yang diatur dalam UUD 1945 sebagai lembaga yang memegang kekuasaan utama dalam pembentukan UU. Perubahan tersebut membawa implikasi yang berdampak terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang berdampak sangat prinsipil





DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku-Buku
Abdul Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Pidato Pengukuhan Guru Besar,  FH Univ. Brawijaya, Malang, 13 Juli 2002.
A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2004.
Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Tata Negara, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2007.
Bagir Manan, Menuju Sistem Dua Kamar, Republika, Kamis 8 Juni 2000.
Ernawati Munir sebagaimana dikutip dalam Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Naskah Akademik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Usulan Komisi Konstitusi, Jakarta, 2004.
Fatmawati, Struktur Dan Fungsi Legislasi Parlemen Dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan Antara Indonesia Dan Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 2010.
Jimly Asshiddiqei&Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung; Sebuah Dokumen Historis, Jakarta: Sekretariat Jenderal&Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
-------------------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Cetakan ketiga, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Hukum Tata Negara, Yogyakarta: UII Press, 1999.
---------------------------, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007.
---------------------------, Politik Hukum Baru Menuju Supremasi Hukum, dalam AS. Hikam, Mulyana W. Kusuma dkk, Wacana Politik Hukum&Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Repbulik Indonesia, Naskah Perubahan UUD Republik Indonesia, Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2000.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Risalah Rapat ke-4 Panitia Ad Hock III BP MPR, 10 Mei 1999.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Risalah Rapat ke-37 Panitia Ad Hock I BP MPR, 30 Mei 2000.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Risalah Rapat ke-38 Panitia Ad Hock I BP MPR, 31 Mei 2000.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Risalah Rapat ke-51 Panitia Ad Hock I BP MPR, 17 Mei 2000.
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, “Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000.
Copyright by Bambang Tri Sutrisno, SH.,



Tidak ada komentar: